Layanan Telefarmasi Menjawab Tantangan Revolusi Industri 4.0

Ilustrasi beli obat bisa lewat layanan telefarmasi.
Sumber :
  • vstory

VIVA – Kondisi pandemi Covid-19 mendorong aplikasi telemedika lebih banyak digunakan oleh masyarakat. Menurut WHO, telemedika diartikan sebagai penyaluran pelayanan kesehatan yang digunakan oleh tenaga profesional kesehatan untuk bertukar informasi dalam diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit, serta penelitian dan evaluasi pelayanan kesehatan. 

Disaksikan OJK, Privy Bersama AFTECH dan AFPI Sepakat Tingkatkan Keamanan Fintech Nasional

Telemedika memanfaatkan kecanggihan teknologi dan mulai banyak digunakan di Indonesia misalnya pada aplikasi halodoc, sehatQ, alodokter, dll.

Selain telemedika, dikenal juga istilah telefarmasi yang merupakan suatu penggunaan informasi elektronik dan teknologi komunikasi untuk penyediaan pelayanan farmasi yang komprehensif antar penggunanya.

Teknologi Ini Mengandung Karbon Aktif untuk Melindungi Rumah

Telefarmasi juga yang diaplikasikan untuk memberikan pelayanan farmasi kepada pasien berupa konsultasi dan informasi obat, konseling pasien, pemantauan terapi obat, serta monitoring efek samping obat dengan pemanfaatan teknologi telekomunikasi.

Layanan telefarmasi dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu traditional-full service yang merupakan pelayanan kefarmasian secara langsung oleh apoteker, remote consultation services merupakan pelayanan kefarmasian yang dilakukan untuk menjangkau daerah terpencil, hospital telepharmacy merupakan pelayanan telefarmasi yang dilakukan di rumah sakit dalam melakukan pemantauan dan evaluasi pengobatan dengan panggilan video (video call),  dan automated dispensing machine yang merupakan pelayanan kefarmasian berupa pemeriksaan resep secara elektronik, kemudian peracikan obat (dispensing) oleh mesin, dan diakhiri dengan konseling pasien melalui panggilan suara maupun video.

Privy Jalin Kerja Sama Penyediaan Tanda Tangan Elektronik pada Platform Kredit Online

Pada awalnya telefarmasi berkembang pada tahun 1940-an di Australia. Telefarmasi kemudian digunakan kembali pada tahun 2006 di wilayah North Dakota, Amerika Serikat.

Sejak saat itulah, telefarmasi mulai menjadi berkembang pesat. Pada saat ini beberapa negara juga aktif menggunakan telefarmasi, seperti Spanyol, Denmark, Perancis, dan Kanada.

Dalam pelaksanaannya, telefarmasi memiliki beberapa keuntungan, yaitu dapat meningkatkan pelayanan secara lebih menyeluruh, meningkatkan kenyamanan pasien, meningkatkan kerjasama antar apoteker, dapat membuat pasien bertanggung jawab terhadap pengobatan yang diterima, serta dapat menghemat biaya.

Selain keuntungan, bukan berarti telefarmasi tidak memiliki keterbatasan. Dalam melakukan komunikasi jarak jauh, tantangan yang akan dialami oleh apoteker adalah harus dapat memastikan pemahaman pasien secara verbal maupun visual.

Pemanfaatan telefarmasi di Indonesia hingga saat ini belum dilandaskan regulasi yang cukup kuat. Regulasi telefarmasi tertuang pada Surat Edaran Menteri Kesehatan HK.02.01/MENKES/303/2020 Tahun 2020 Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi dan Komunikasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19.

Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa kegiatan layanan jarak jauh diperbolehkan untuk pengantaran resep dan sediaan farmasi secara elektronik dengan mengacu pada standar pelayanan kefarmasian di Indonesia.

Untuk mendukung pelaksanaan telefarmasi di Indonesia, beberapa parameter penting harus disiapkan untuk mendukung implementasi telefarmasi.

Pertama, jaminan keamanan data pasien khususnya pada panggilan melalui video (video call).

Selanjutnya, pemanfaatan artificial intelligence (AI), sebagai contoh pasien memberikan beberapa pertanyaan, kemudian akan muncul respon otomatis dari AI yang berhubungan dengan jawaban pasien.

Beberapa contoh pemanfaatan AI yang dapat diterapkan dalam telefarmasi yaitu pembuatan keputusan pengobatan (perlu konsultasi dokter kembali atau obat dihentikan sementara), prediksi efek samping yang berhubungan dengan obat, pelayanan chat-bot untuk melayani pertanyaan yang sering ditanyakan oleh pasien, dan upaya penilaian kejujuran dari ungkapan pasien.

Kesiapan penting selanjutnya adalah pemanfaatan Internet of Things (IOT) dan interoperable EMR (Electronic Medical Records).

Apabila telefarmasi ingin dikembangkan secara masif di Indonesia, diperlukan beberapa perhatian khusus yang harus dilakukan perbaikan berkelanjutan, yaitu keterjangkauan internet ke seluruh daerah di Indonesia, regulasi yang kuat untuk melaksanakan telefarmasi, kepastian keamanan data, pengembangan layanan telefarmasi dalam hal monitoring penyakit, layanan rekonsiliasi obat pasien, dan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) apoteker dan tenaga teknik kefarmasian (TTK) yang kompeten. (apt. Cindra Tri Yuniar, M.Si, Dosen Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung, Alumni Bakrie Graduate Fellowship Tahun 2011)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.