KIsah Retno Dumilah, Bupati Perempuan Pertama di Jawa.
- vstory
VIVA – Jejak berdirinya Madiun tercatat bersamaan dengan kebangkitan Mataram atau di zaman akhir kejayaan Majapahit, pada sekitar 1500 Masehi. Kala itu, Surya Pati Unus yang merupakan putra Sultan Demak Raden Patah atau Jin Bun menikahi Raden Ayu Retno Lembah.
Nama perempuan terakhir itu adalah putri Adipati Guntur, penguasa Kadipaten Ngurawan. Sisa wilayah kadipaten yang dulu juga disebut gelang-gelang atau gegelang itu ditemukan di Desa Glonggong Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun.
Ikatan perkawinan Surya Pati Unus dengan Raden Ayu Retno Lemba disebut sebagai pernikahan politik. Koordinator Kompas Madya, Bernardi S Dangin menyebut Surya Pati Unus akhirnya menggantikan posisi ayahnya memimpin Kesultanan Demak.
Wilayah Ngurawan dan sekitarnya sengaja dititipkan ke Ki Rekso Gati. Ketika itu, pusat pemerintahan Ngurawan dipindahkan ke dekat pelabuhan sungai yang dikenal sebagai wilayah Purabaya.
“Surya Pati Unus terbunuh saat melakukan perluasaan kekuasaan kerajaan sampai ke Maluku. Dia meninggal dunia dengan gelar anumerta sebagai Pangeran Sabrang Lor” papar Bernadi.
Bagaimana nasib Kadipaten Ngurawan? Tampuk kekuasaan tetap dipegang Ki Ageng Panembahan Ronggo Djoemono atau Pangeran Timur yang dilantik sebagai wedana dari seluruh bupati di wilayah sebelah timur Pajang atau disebut Mancanegara Timur.
Di antara wilayah kekuasaannya meliputi Surabaya, Pasuruan, Nganjuk, Brebek, Ngawi, Tuban, Ponorogo, Magetan, Kertosono, Ngrawa Tulungagung, Kalangbret Tulungagung, Caruban, Jipang Bojonegoro dan Pacitan. Saat itu juga pecah pergolakan antara Bupati Purabaya Pangeran Timur dengan Panembahan Senopati Danang Sutawijaya.
Perluasan wilayah Mataram yang berhasil menguasai Kerajaan Pasai membuat posisi Kadipaten harus tunduk di bawah kekuasaan penguasa baru. Namun, Pangeran Timur yang memimpin Purabaya pada 1568-1586 menolak tunduk kepada Danang Sutawijaya lantaran merasa masih memiliki trah Pajang.
“Pergolakan kekuasaan itu ditandai dengan penyerangan Kadipaten Purabaya oleh Mataram. Serangan pertama terjadi 1568 dan serangan kedua 1587. Namun dua kali serangan itu berhasil dipatahkan karena Kadipaten mendapat sokongan pasukan dari 15 bupati Mancanegara Timur,” ungkap Bernardi.
Dua kali penyerangan selalu gagal, Mataram akhirnya menyusun strategi perang lebih matang. Ahli strategi Ki Juru Mertani menyarankan agar Mataram pura-pura menyerah dengan mengirimkan utusan. Dipilih seorang perempuan cantik yang datang ke Kadipaten Purabaya dengan membawa bokor wadah air untuk membasih kaki Pangeran Timur.
Air bekas cucian itu akan dibawa ke Mataram dan hendak diminum Danang Sutawijaya sebagai tanda kekalahan Mataran atas Kadipaten Madiun. “Mengetahui lawan sudah menyerah, pasukan sekutu dari Mancanegara Timur ditarik mundur,” ujar Bernardi.
Mataram ternyata menelikung. Di kala Kabupaten Purabaya lengah, sepasukan prajurit dipimpin langsung Danang Sutawijaya datang menyerang. Serangan Mataram yang terjadi 1590 Masehi itu sengaja dilakukan di pagi buta. Peperangan sengit pecah di Istana Wonorejo. “Bekas lokasi istana itu terletak di sendang belakang makam Pangeran Timur di Kuncen,”.
Sebelumnya penyerangan terjadi sejatinya Pangeran Timur sudah mewriskan kekuasaannya ke putrinya, Retno Dumilah. Pusat Purabaya juga ikut berpindah dari Kuncen ke Wonosari atau Kota Miring yang sekarang di kawasan Kelurahan Demangan Kota Madiun.
“Retno Dumilah itu bupati perempuan pertama di Jawa. Atau boleh disebut gubernur perempuan pertama karena wilayah kekuasaan Purabaya saat itu membawahi 15 kabupaten di sekitarnya,” tegas Bernardi.
Danang Sutwijaya berada di atas angin akhirnya megubah Purabaya menjadi Bediyun. Bedi berarti sendang dan Ayun berart perang atau diartikan sebuah perang yang terjadi di dekat sedang. “Pada perkembangan Bediyun menjadi kata Madiun yang lebih karena faktor pelafalan saja. Sebab orang Jawa itu cenderung memilih kata yang mudah diucapkan,” tuturnya.
Retno Dumilah kemudian diboyong ke Mataram sebagai sebuah rampasan perang. Mantan bupati perempuan itu ditempatkan di wilayah Pleret Bantul hingga meninggal dunia dan disemayamkan bersama raja di pemakaman Imogiri.
“Danang Sutawijaya sudah memiliki garwa prameswari atau permaisuri, tetapi tidak mungkin juga kalau Retno Dumilah sebagai Bupati Purabaya hanya dijadikan selir. Menjadi sebuah kemungkinan kalau Danang Sutawijaya sebenarnya memiliki dua permaisuri untuk meneruskan tahta di Mataram,” katanya.
Sayang seribu sayang, silsilah seputar Retno Dumilah terputus. Upaya penelusuran untuk diupayakan Kompas Madya seakan terhalang tembok tinggi.” Pintu sejarah masih tertutup rapat. Yang jelas, keberadaan Danang Sutawijaya selaku pendiri Mataram di kisaran tahun 1500. Sedang era Hamengkubowono pada 1755, jadi terpaut waktu yang jauh sebenarnya,” tegas Bernardi.
Soal penggantian nama Purabaya menjadi Bediyun dicatat Kompas Madya sebagai kesengajaan Mataram menyematkan simbol kekuasaan. Selain itu, memboyong Retno Dumilah ke Pleret Bantul menjadi tanda kekalahan Purabaya. “Kami masih penasaran menulusuri jejak sejarah Retno Dumilah,” tandas Bernardi.