Sayyid Qutb, Ahli Tafsir yang Syahid di Tali Gantungan
- U-Report
VIVA – Nama lengkap beliau adalah Sayyid Ibn Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Lahir pada 6 Oktober 1906 di Kampung Musyah, daerah Asyut, Mesir dalam satu keluarga yang kuat mematuhi ajaran agama dan mempunyai kedudukan yang terhormat di kampung itu.
Ayahnya adalah Haji Quthb Ibrahim, seorang anggota Partai Nasionalis Mushtafa Kamil sekaligus pengelola majalah Al-Liwa. Sedangkan ibunya seorang yang bertakwa dan mencintai Alquran. Ia dibesarkan di dalam sebuah keluarga yang menitik beratkan pada ajaran Islam dan mencintai Alquran.
Ia telah bergelar hafiz sebelum berumur sepuluh tahun. Menyadari bakat anaknya, orang tuanya memindahkan keluarganya ke Halwan, daerah pinggiran Kairo. Ia memperoleh kesempatan masuk Tajhiziah Darul-‘Ulum.
Tahun 1929, ia kuliah di Darul-‘Ulum (nama lama Universitas Kairo, sebuah universitas yang terkemuka di dalam bidang pengkajian ilmu Islam dan sastra Arab, dan juga tempat al-Imam Hasan al-Banna belajar sebelumnya). Ia memperoleh gelar sarjana muda pendidikan pada tahun 1933.
Pada usia 13 tahun, Sayyid Qutb berangkat ke Kairo untuk meneruskan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah dan setelah selesai, baru melanjutkan ke Darul-‘Ulum. Pada masa ini Sayyid banyak mendapat pengaruh dari Abbas Mahmud Al-‘Aqqod, seorang penulis Mesir terkenal yang cenderung pada pemikiran Barat.
Ayahnya meninggal ketika Sayyid Qutb sedang kuliah. Tak lama kemudian (1941), ibunya menyusul kepergian suaminya. Sejak lulus dari kuliahnya hingga tahun 1951, kehidupanya tampak biasa-biasa saja. Sedangkan karya tulisnya menampakkan nilai sastra yang begitu tinggi dan bersih. Tidak bergelimang dalam kebejatan moral seperti kebanyakan sastrawan pada masa itu.
Pada akhirnya, tulisan-tulisannya lebih condong kepada Islam. Pada tahun yang sama, sewaktu bekerja sebagai pengawas sekolah di Departemen Sekolah, ia mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat untuk memperdalam pengetahuanya di bidang pendidikan selama dua tahun.
Ia membagi waktu studinya antara Wilsons's Teacher's College di Washington, Greeley College di Colorado, dan Stanford University di California. Ia juga mengunjungi banyak kota besar di Amerika Serikat serta berkunjung ke Inggris, Swiss, dan Italia.
Tidak seperti rekan-rekan seperjalanannya, keberangkatannya ke Amerika itu ternyata memberikan saham yang besar pada dirinya dalam menumbuhkan kesadaran dan semangat Islami. Terutama sesudah melihat bangsa Amerika berpesta pora atas meninggalnya Al Imam Hasan Al Bana pada awal tahun 1949.
Hasil studi dan pengalamannya selama di Amerika Serikat itu meluaskan wawasan pemikirannya mengenai problem-problem sosial kemasyarakatan yang ditimbulkan oleh paham materialisme yang gersang akan paham ketuhanan. Ketika kembali ke Mesir, ia semakin yakin bahwa Islamlah yang sanggup menyelamatkan umat manusia dari paham materialisme sehingga terlepas dari cengkeraman materi yang tak pernah terpuaskan.
Ini yang membuat Sayyid Qutb berubah dan menoleh pada Islam serta menjadikannya sebagai Ideologi. Pada 1951, setelah pulang dari Amerika, ia masuk organisasi Al-Ikhwan. Setelah Sayyid Qutb bergabung dengan Gerakan Islam Ikhwanul Muslimin, ia  menjadi salah satu seorang tokohnya yang sangat berpengaruh, di samping Hasan Al-Hudaibi dan Abdul Qadir Audah.
Sewaktu larangan terhadap Ikhwanul Muslimin dicabut pada 1951, ia terpilih sebagai anggota panitia pelaksana dan memimpin bagian dakwah. Selama tahun 1953, ia menghadiri konferensi di Suriah dan Yordania. Dan sering memberikan ceramah tentang pentingnya akhlak sebagai prasyarat kebangkitan umat.
Juli1954, ia menjadi pemimpin redaksi harian Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, baru dua bulan usianya, harian ditutup atas perintah Presiden Mesir, Kolonel Gamal Abdul Naser karena mengecam perjanjian Mesir-Inggris 7 juli 1954. Karena itu, Sayyid Qutb dianggap oleh pemerintah sedang membuat makar. Maka pemerintah tersebut menjegal dan menutup redaksi harian Ikhwanul Muslimin.
Sekitar mei 1955, Sayyid Qutb termasuk salah satu pemimpin Ikhwanul Muslimin yang ditahan. Setelah organisasi itu dilarang oleh Presiden Nasser dengan tuduhan berkomplot untuk menjatuhkan pemerintah. Pada 13 juli 1955, pengadilan rakyat menjatuhkan hukuman lima belas tahun kerja berat. Ia ditahan di beberapa penjara di Mesir hingga pertengahan tahun 1964.
Ia dibebaskan pada tahun itu atas permintaan Presiden Irak, Abdul Salam Arif yang mengadakan kunjungan muhibah ke Mesir. Baru setahun ia menikmati kebebasan, ia kembali ditangkap bersama tiga saudaranya Muhammad Qutb, Hamidah, dan Aminah. Juga ikut ditahan kira-kira 20.000 orang lainnya, di antaranya 700 orang wanita.
Pada13 Jumadil Awal 1386 atau 29 Agustus 1966, ia dan dua orang temannya (Abdul Fatah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy) menyambut panggilan Rabb-nya dan syahid di tali tiang gantungan.