Asal Mula Nama Yogyakarta

Pembagian Wilayah Setelah Perjanjian Giyanti
Sumber :
  • vstory

VIVA – Kata Yogyakarta (sekarang sering ditulis Jogjakarta) yang menunjuk nama suatu wilayah di Tanah Air kita (juga tempat saya dilahirkan dan dibesarkan) pada awalnya bernama Ngayogyakarto Hadiningrat.

BCA Syariah Gelar Workshop, Dorong Kecakapan Literasi Keuangan Syariah

Banyak pihak yakin bahwa Ngayogyakarto Hadiningrat adalah nama yang diberikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I untuk menyebut wilayah kerajaan yang didirikannya.

Untuk mempersingkat kata, maka banyak orang kemudian hanya mengucapkan kata Ngayogyakarto untuk menyebutnya. Berhubung lidah orang Belanda sebagai bangsa asing yang menjajah sukar menyebutkan kata,"Nga" diawal kata, maka pengucapan Ngayogyakarto saat itu sering hanya diucapkan Yogyakarto oleh orang-orang Belanda.

KIA Hadirkan Mobil Listrik EV3 di GJAW 2024, tapi Belum Dijual

Penyebutan nama Yogyakarto tersebut kemudian sering diikuti oleh orang pribumi. Sejalan dengan perjalanan bangsa kita yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan maka pengucapan Yogyakarto (bahasa Jawa) akhirnya berubah dan selalu diucapkan Yogyakarta.

Secara etimologis Ngayogyakarto berasal dari kata Nga - Yogya - Karto. Kata Nga pada Ngayogyakarto merupakan sinonim A yang berarti tidak. Berhubung orang Jawa lebih suka menggunakan kata Nga daripada A untuk diawal kata maka kemudian A berubah menjadi Nga.

Nissa Sabyan Resmi Dinikahi Ayus, Ingkari Sumpah ke Ayahnya untuk Tak Jadi Selingkuhan

Perubahan A menjadi Nga ini biasanya terjadi hanya dalam percakapan lisan, merupakan simufiks bukan prefiks (awalan) yaitu suatu jenis imbuhan yang diwujudkan dengan penyengauan bunyi pertama suatu bentuk dasar dan berfungsi membentuk verba (memverbalkan nomina), adjektiva atau kelas kata lain.

Kata Yogya merupakan pergeseran lafal dari Yudha yang berarti perang, sehingga kata Ngayogya dapat diartikan sebagai tidak ada perang. Sedang kata Karto berasal dari kata Kerto yang berarti makmur sehingga kata Ngayogyakarta bisa diartikan sebagai makmur setelah tidak ada perang. 

Hadiningrat berasal dari perpaduan kata Hadi - Ning - Rat, kata Hadi berarti indah atau asri, sedang Ning berarti Hening atau aman tenteram dan Rat artinya jagad/bumi atau negeri/wilayah.

Dengan demikian secara keseluruhan Ngayogyakarto Hadiningrat bisa diartikan sebagai Negeri atau wilayah yang aman tenteram makmur dan indah setelah tidak ada (atau berakhirnya) perang.

Penggunaan kata Ngayogya yang berarti setelah tidak ada perang ini dilatarbelakangi terjadinya perang berkepanjangan yang berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti.

Sebagai akibat pembantaian warga Tionghoa di Batavia oleh VOC pada tahun 1740, maka terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa di Jawa terhadap VOC yang dikenal dengan nama Geger Pacinan.

Pemimpin pemberontakan saat itu yaitu Tan Sin Ko alias Sing Seh dan Liem Thian Joe atau Raden Mas Garendi melarikan diri ke Jawa Tengah. Kerajaan Mataram yang saat itu berada di bawah Susuhunan Pakubuwono II sebagai rajanya, mendukung VOC dalam meredam pemberontakan tersebut.

Raden Mas Said ((anak dari Pangeran Mangkunegoro yang adalah kakak dari Pakubuwono II) ikut serta dalam pemberontakan tersebut bersekutu dengan Liem Thian Joe dan kemudian malah memimpin dan mengarahkan menjadi pemberontakan terhadap Raja Pakubuwono II yang tidak lain adalah pamannya sendiri.

Pemberontakan R.M. Said ini merupakan tindakan balas dendam mengingat ayahnya (Pangeran Mangkunegoro) diasingkan ke Sri Langka oleh Pakubuwono II dengan bantuan VOC sebagai akibat intrik-intrik dalam kraton/istana ketika R.M. Said masih berusia 2 tahun.

Pemberontakan makin lama makin besar sehingga sulit dipadamkan dan untuk mengatasinya Susuhunan Pakubuwono II membuat sayembara, barangsiapa bisa memadamkan pemberontakan maka akan diberi hadiah tanah yang luas.

Adik Pakubuwono II yaitu Pangeran Mangkubumi (yang kelak menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono I) berminat mengikuti sayembara tersebut dan berhasil memadamkan pemberontakan serta mengusir R.M. Said dari tanah Sukowati yang dikuasainya pada tahun 1746.

Akan tetapi Patih Pringgoloyo menghasut Pakubuwono II agar membatalkan pemberian hadiah tanah yang telah dijanjikan tersebut.

Hal ini membuat Pangeran Mangkubumi sakit hati dan meninggalkan istana pada bulan Mei 1746 untuk bergabung dengan R.M. Said yang juga dijuluki Pangeran Sambernyowo (Pangeran Pencabut Nyawa karena kepiawainnya membunuh musuh dalam peperangan) untuk melakukan pemberontakan terhadap Pakubuwono II.

Ketika pemberontakan masih bergejolak, Pakubuwono II sakit keras dan merasa ajalnya sudah dekat sehingga menyerahkan kerajaannya kepada VOC pada tanggal 11 Desember 1749.

Mengetahui hal ini maka sehari kemudian di markas pemberontakan yaitu di Desa Kebanaran, Pangeran mangkubumi diangkat oleh pengikutnya sebagain Raja Mataram dengan gelar Susuhunan Pakubuwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidin Panotogamo.

Sedangkan putra Pakubuwono II baru diangkat sebagai Pakubuwono III oleh VOC pada tanggal 15 Desember 1749. Dengan demikian pada saat yang sama ada dua raja di kerajaan Mataram yaitu Pakubuwono III yang disebut Susuhunan Surakarta dan Pangeran Mangkubumi yang disebut Susuhunan Kebanaran.

Sementara R.M. Said yang telah dijadikan menantu oleh Pangeran Mangkubumi, diangkat sebagai Perdana Menteri Susuhunan Kebanaran.

Setelah memenangkan beberapa pertempuran melawan Pakubuwono III dan VOC, pada tahun 1752 Pangeran Mangkubumi berselisih paham dengan R.M. Said yang bermula dari rivalitas keduanya dalam memimpin Kerajaan Mataram di pengasingan.

Akhirnya Pangeran Mangkubumi berbalik arah melakukan perundingan dengan VOC dan Pakubuwono III serta memerangi R.M. Said. 

Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 ditandatangani Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua bagian. Separo bagian di sebelah barat diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dan sisanya di sebelah timur yaitu wilayah Surakarta diberikan kepada Pakubuwono III.

Sejak saat itu Pangeran Mangkubumi menjadi raja di wilayah yang telah dikuasainya dan bergelar Sampeyan Ingkang Ndalem Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidin Panotogo Khalifatullah Yudonegoro.

Setelah menjadi raja Sultan Hamengku Buwono mendirikan istana raja yang sekarang istana tersebut dikenal dengan nama Keraton Yogyakarta.

Sedangkan R.M. Said kelak mendirikan Kadipaten Mangkunegaran dan bergelar Mangkunegoro I serta menurunkan para adipati yang bergelar Mangunegoro di Puro Mangkunegaran.

Demikian yang pernah diceritakan ke penulis dan juga disadur dari berbagai sumber, Mohon maaf bila ada yang salah, silahkan mengoreksi atau menambahi bila mengetahui ada yang kurang. (Penulis adalah Pemerhati Budaya Jawa)

Direktur Utama BRI, Sunarso

Direktur Utama BRI Dinobatkan Sebagai ”The Best CEO” untuk Most Expansive Sustainable Financing Activities

Direktur Utama BRI Sunarso mendapatkan penghargaan The Best CEO untuk Most Expansive Sustainable Financing Activities di ajang TOP CEO Indonesia Awards 2024 yang digelar.

img_title
VIVA.co.id
23 November 2024
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.