Wiji Thukul, antara Arena Sastra dan Arena Politik

Wiji Thukul
Sumber :
  • vstory

VIVA – Pada tanggal 22 Juli 1996 di Jakarta. Tepatnya di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jalan Diponegoro, Wiji Thukul tampil ke panggung membacakan puisinya pada acara deklarasi berdirinya Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Ahmad Tohari, Esther Haluk dan Murdiono Mokoginta Dianugerahi Penghargaan Penulis 2024

Dengan lantang dan suara pelo Wiji Thukul membacakan puisinya Sajak Suara dan Peringatan. Hingga muncul sebuah puisi yang kemudian menjadi sangat terkenal, yaitu  Peringatan. Puisi ini menjadi bacaan wajib para demonstran. Baris terakhirnya: hanya ada satu kata: Lawan! menjadi sebuah ikon

Pada deklarasi berdirinya PRD, tanggal 22 Juli 1996 di atas,  pembacaan puisi Peringatan oleh Wiji Thukul menjadi penampilan terakhirnya  di depan publik.  Sepekan kemudian Wiji Thukul menjadi buron dan hilang sejak 1998. Hingga sampai sekarang Wiji Thukul terkenal sebagai, penyair dan aktivis politik yang dihilangkan paksa oleh negara.

Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahunan Puisi Esai

Dari hal ini bisa kita simpulkan Wiji Thukul, adalah seorang penyair yang berjuang di arena politik praktis, Wiji Thukul berjuang di dua arena yaitu arena sastra dan arena politik.

Di arena sastra Wiji Thukul berjuang melalui puisi-puisi kritik sosialnya melawan hegemoni puisi-puisi romantik, sedang di arena politik Wiji Thukul berjuang melawan rezim kekuasaan Orde Baru yang anti kritik, menghubungkan kedua arena ini adalah puisi-puisinya.

Didukung Menpora, Komunitas Lereng Medini Hidupkan Pecinta Sastra di Kendal

Di dalam arena sastra saat itu berlangsung kuasa simbolik melalui doksa sastra universal.  Sastra universal  menurut  Ariel Heryanto adalah sastra yang berasal dari batin, dan bukan dari  kehidupan sosial.

Menurut Pierre Bourdieu doksa adalah seperangkat kepercayaan fundamental yang bahkan dirasa tidak perlu dieksplisitkan, seakan suatu dogma. Dengan kata lain doksa adalah pandangan penguasa atau yang dominan yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat.

Pada saat itu doksa yang berlaku adalah seseorang penulis belum dianggap sebagai sastrawan apabila belum mampu mendapat pengakuan dari lembaga, festival, dan penulis senior.

Pada saat doksa sastra universal sedang berlangsung dengan sangat kuat, masuklah Wiji Thukul. Seorang penyair yang dilahirkan di kampung  Sorogenen Solo, 26 Agustus 1963. Wiji Thukul mulai menulis puisi sejak sekolah dasar.

Pada awal-awal menulis puisi Wiji Thukul menulis puisi dengan subgenre romantis religius. Puisi telah menjadi bagian dari setiap tarikan napas Wiji Thukul. Selain di tempel  di majalah dinding Teater Jagat sebagian puisinya dikirim ke Radio PTPN Rasitania Surakarta untuk diapresiasi dan dibacakan pada acara ruang puisi.

Acara itu diasuh oleh Hanindawan (saat ini pengasuh Teater Gidag-Gidig Solo) dan Tinuk Rosalia (saat itu mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta).

Keduanya mengasuh acara tersebut pada tahun 1981 – 1982. Wiji Thukul termasuk penulis yang rajin mengirim puisi. Bagi Wiji Thukul pada waktu itu, menulis puisi seperti pergi ke gereja atau ke masjid dalam rangka mendekati Tuhannya. Wiji Thukul menegaskan lagi bahwa menulis puisi adalah sebuah pengalaman religi, seperti sedang berdoa.

Kemudian puisi-puisi Wiji Thukul berubah baik tema maupun gaya berpuisinya menjadi puisi-puisi kritik sosial. Wiji Thukul pertama kali menerbitkan kumpulan puisinya melalui Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) di Solo, sekarang Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta (TBS) pada sekitar tahun 1985.

Kumpulan puisinya itu berjudul Puisi Pelo, dicetak 100 eksemplar. Puisi Pelo sudah mengangkat tema kritik sosial, tetapi belum ada unsur politik praktisnya. Pada tahun 1994, Thukul menerbitkan kumpulan puisinya sendiri, dengan nama penerbit Manus Amci berjudul Mencari Tanah Lapang setebal 45 halaman.  Judul puisi itu diambil Thukul dari sebuah sajak milik Pardi berjudul Mencari Tanah Lapang.

Sejak mengamen puisi keliling Jawa, nama Thukul mulai berkibar. Wiji Thukul memiliki jaringan dan publik sendiri. Wiji Thukul, bersama perupa Moelyono dan pelukis Semsar Siahaan mendirikan Jaker (Jaringan Kesenian Rakyat) pada tahun awal tahun 1994 yang tujuan awalnya adalah semacam pemberdayaan kesenian atau gerakan kesenian di daerah-daerah yang berbasis pada komunitas-komunitas kesenian di daerah. 

Jaker tak hanya beranggotakan seniman, tetapi juga beranggotakan orang-orang dari Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) yang di kemudian hari menjadi Partai Rakyat Demokratik.

Menurut Linda Christanty (aktivis PRD) salah satu fungsi Jaker adalah menjadikan seniman pengorganisasi rakyat yang secara tak resmi menjadi onderbouw PRD.

Dari sini Wiji Thukul mulai membawa puisi-puisinya ke dalam ranah politik praktis, puisi-puisi kritik sosial yang merupakan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru. Dengan demikian Wiji Thukul harus berhadapan dengan kekuasaan pemerintah orde baru.

Kondisi sosial politik pada masa Orde Baru yang tidak memihak pada masyarakat kelas bawah menjadi tema-tema yang dipilih Wiji Thukul.  Puisi-puisi: Suara dari Rumah Miring, Ucapkan Kata-katamu, Ceritakanlah Ini Kepada Siapapun, Apa Yang Berharga dari Puisiku, Puisi Menolak Patuh, Para Jenderal Marah-marah, Istirahatlah Kata-kata, Edan, Tikus, Hukum, Catatan, Puisi di Kamar, Sajak Suara.

Puisi lainnya: Peringatan, Nyanyian Akar Rumput dan lain-lainnya, menjadi puisi-puisi kontekstual yang ditakuti oleh rezim Orde Baru, karena puisi-puisi tersebut menuliskan realitas saat itu, puisi kritik sosial yang merupakan bagian dari sastra yang dilarang pemerintah.

Dari paparan di atas terlihat bahwa Wiji Thukul adalah seorang pejuang kemanusiaan yang berjuang di dua arena, yang pertama Wiji Thukul harus melawan dominasi kuasa simbolik sastra universal, dan yang kedua adalah melawan hegemoni rezim Orde Baru.

Lewat puisi-puisinya Wiji Thukul melawan dua ranah dominasi ini, hingga Wiji Thukul harus dihilangkan paksa oleh negara. Sampai sekarang masyarakat masih menunggu janji dan harapan dari pemerintahan yang baru, untuk mengusut  tuntas kejahatan kemanusiaan penghilangan paksa Wiji Thukul. (Arif Gumantia, Ketua Majelis Sastra Madiun)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.