Kuliah Kerja Nyakitin (KKN)

Ilustrasi KKN di Desa Penari
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Malam pukul delapan
Ku baring di teras depan
Tak sendiri, ditemani
Lelah, Lesu, dan Letih
Kuingat punggung sakit tertatih

Didukung Menpora, Komunitas Lereng Medini Hidupkan Pecinta Sastra di Kendal

Malam pukul delapan
Ku baring diteras depan
Kelam mata terpejam
Visual terbayang
Umpama burung seharusnya terbang

Sesak dadaku
Perih punggungku
Patah hatiku
Basah pipiku

Denny JA Raih Lifetime Achievement Award Atas Dedikasinya di Dunia Konsultan Politik dan Sastra

KKN
Kuliah Kerja Ngelihat
Ngelihat padi semakin menunduk
Seperti petani kian tertunduk

KKN
Kuliah Kerja Ngedenger
Ngedenger kaum proletar mengeluh
Berbicara setiap tetes peluh

Kemendikbudristek Lanjutkan Program Bantuan Pemerintah Bidang Kebahasaan dan Kesastraan

KKN
Kuliah Kerja Nyakitin
Nyakitin diri bersama
Dengan setiap perih yang diterima

Sidomulyo, Purworejo 31 Januari 2018

 

Puisi atau sajak di atas aku tulis saat menjalani Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai syarat lulus kuliah. Motif dalam pembuatan puisi tersebut setelah aku melihat satu kejadian yang bisa dikatakan menghentak batin. Hentakan tersebut sampai menimbulkan sisi melankolis dan membuatku terjebak dalam romantisme kehidupan masyarakat setempat.

Sewaktu KKN kami mahasiswa didatangi oleh petugas sosial masyarakat dari Kecamatan setempat. Semua berjalan apa adanya tidak ada yang spesial dan berkesan serta memang hanyalah sebagai prosedur formalitas dalam menjalankan program KKN. Sampai akhirnya, aku heran dengan kesibukan balai yang seperti mempersiapkan diri menyambut beberapa orang yang hanya berpakaian seadanya.

Pembagian beras subsidi. Iya, ternyata ada pembagian beras subsidi terhadap beberapa orang yang telah di data oleh perangkat desa. Pembaca mungkin heran dengan motif yang saya jelaskan tadi.

Sekadar cerita, lokasi KKN tersebut adalah Desa Sidomulyo Kec. Butuh Kab. Purworejo, Prov. Jawa Tengah. Desa kecil tapi sangat indah, masyarakat yang ramah, pepohonan yang cukup rindang, riuh suara anak-anak yang bermain dan dikelilingi sawah yang tertata rapih.

Sawah….

Mungkin pembaca sudah bisa mengerti hentakan melankolis yang aku rasakan.

Sebuah desa yang dikelilingi sawah yang tertata rapi ternyata pada kenyataannya masih harus menerima beras subsidi.

Pertanyaannya, pemerintah ke mana atau sedang melakukan apa hingga ada kejadian seperti ini. Kejadian tersebut mengingatkan saya dengan satu scene  Film “Tjokroaminoto” di mana sang guru bangsa tersebut mengingatkan kita bahwa Indonesia sangatlah kaya raya dengan deretan sumber alam yang melimpah. Iya, pikiranku ini umpama dalam zaman penjajah yang dilakukan oleh orang mengatakan kita sudah merdeka.

            Kemerdekaan itu nasi

            Kemerdekaan itu nasi

            Dimakan jadi taik

Sajak itu dibuat oleh Wiji Thukul sewaktu masa pelariannya. Buat apa kita merdeka kalau masih banyak kejadian seperti itu. Aku lebih memilih kita tertinggal dari Revolusi Industri sekarang ketimbang ketidakadilan masih tidak ditenggakkan. Karena sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang berguna bagi orang lain.

Sidomulyo, terima kasih sudah mengajari aku keganasan akselerasi zaman sekarang. Semoga Tuhan meridhoi’mu.

 

Denny JA

Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahunan Puisi Esai

Dengan dana abadi itu, Festival Puisi Esai dapat berlangsung hingga 50 tahun mendatang, dan seterusnya.

img_title
VIVA.co.id
20 November 2024
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.