Mengukur Kebebasan Mengisi Ruang
- vstory
VIVA.co.id – Nashar adalah seorang pelukis, sudah lama Almarhum. Menurutnya, sebidang kanvas adalah sebidang ruang kosong dan harus diisi dengan apa-apa yang ada dalam kepala.
Tapi tidak semua yang ada di dalam kepala bisa ditumpahkan ke atas ruang itu. Kalau semuanya ditumpahkan ke atasnya, hasilnya bukan lagi sebuah lukisan, bisa jadi sampah ide-ide.
Karena itu banyak pelukis pemula, menumpahkan seluruh yang ada di dalam kepalanya ke sebidang kanvas dan kemudian memujinya sebagai sebuah lukisan ekspresif, bebas aliran, dan merasa sukses melawan kemapanan pelukis-pelukis tua.
Padahal, bebas berbuat apa saja, bukan berarti bebas menumpahkan semua yang ada di dalam kepala ke suatu bidang ruang. Karena setiap ruang ada fungsinya.
Setiap ruang ada manfaatnya. Setiap ruang mengundang tempo dan irama. Setiap ruang ada warna. Setiap ruang memiliki estetika. Setiap ruang punya garis imajiner yang tidak boleh dilangkahi.
Karena itu, tidak semua ruang bisa diisi dengan apa saja, meski ruang itu bebas untuk diisi. Sebagai contoh, Anda tidak boleh berak di ruang resepsi pernikahan, dan -- tentu saja -- tidak mungkin juga menggelar resepsi pernikahan di kakus.
Tidak ada aturan tertulis hitam di atas putih, tapi ada etika dan estetika yang menuntut untuk menghormati ruang dan bidang yang ada. Tidak melangkahi garis imajiner, tidak melanggar batas yang sudah dimaklumi. Itulah, kebebasan memiliki estetika, ada aturan, dan etikanya.
Tentang kebebasan ini, saya ingat pada suatu peristiwa dalam Dialog Budaya di Studio Mini IKJ awal 1980-an.
Ada dua budayawan besar yang hadir di depan. Yaitu Goenawan Mohamad (pasti sampai kini masih banyak wartawan dan penulis muda yang mengidolakannya) dan Mochtar Loebis (sekarang sudah Almarhum).
Mereka bicara soal kebebasan menulis dan berkreasi. Setiap halaman di majalah Horison boleh ditulis apa saja dan oleh siapa saja. Tidak harus puisi, cerpen, esai, masalah politik juga boleh.
Tapi dialog soal kebebasan itu berakhir ribut. Keduanya saling memaki. Pasalnya, yang satu menilai bebas itu bebas berbuat apa saja. Yang satu lagi mengatakan, Amerika Serikat yang membebaskan rakyatnya berbuat apa saja ternyata juga tidak bisa bebas seenaknya.
Bebas untuk Indonesia tidak sama dengan bebas di Amerika Serikat. Halaman yang bebas diisi apa saja tidak harus bebas seperti tidak terarah. Harus ada batasan-batasan. Harus ada etika dan estetika.
Kedua budayawan itu pada akhirnya menunjukkan, keduanya tidak berbudaya dalam mendiskusikan soal kebebasan menulis.
Nah, bagaimana bila tiba-tiba kebebasan diberikan kepada masyarakat yang pernah lama hidup dalam ketidakbebasan?
Puisi saya tentang itu pernah diterbitkan Sinar Harapan tahun 1977, ketika saya dan teman-teman eks Malari diburu-buru Laksus;
DI GUA INI TIDAK ADA NYANYIAN
KARENA PENGHUNINYA DILARANG MENYANYI
KETIKA DARI LUAR TERDENGAR SUARA NYANYIAN/ PENDUDUK GUA INI JUGA INGIN MENYANYI
SEWAKTU MEREKA MENCOBA UNTUK MENYANYI
TIBA-TIBA DINDING-DINDING GUA RUNTUH
KARENA MEREKA SUDAH LUPA BAGAIMANA CARA BERNYANYI
Kembali pada ruang (space) dan kebebasan (freedom). Sebuah ruang yang digelar untuk diisi, bukan berarti ada kebebasan untuk mengisinya dengan apa saja.
Ruang kelas ya untuk belajar, bukan untuk jualan. Ruang di panggung sandiwara pun dibagi atas sembilan bidang dan setiap bidang memiliki arti tertentu.
Untuk memahami makna sebuah ruang, seseorang yang pernah mengikuti pelajaran Nirmana Ruang (Sense of Space), akan diminta berjalan bebas di suatu tempat imajiner; seperti pasar, galeri lukisan, hingga padang pasir.
Peserta bebas melangkah, tapi setiap langkah disesuaikan dengan ruang yang dilalui. Jika berjalan di pasar tentu berbeda dengan berjalan di galeri lukisan.
Tentu akan berbeda pula jika ia melangkah di padang pasir yang panas. Dan untuk mengerti makna ruang itu, tidak diperlukan seorang moderator. Yang dibutuhkan hanya “rasa”.
Dengan menguasai rasa, seseorang pun menjadi paham di mana ia berjalan, dan bagaimana mengisi sebidang ruang.
Seekor kodok yang ada di bawah batok kelapa, tentu akan lebih banyak mengetahui ruang yang ada di sekitar batok kelapa. Dan ia tentu saja hanya tahu dan sangat memahami setiap sisi ruangan di bawah batok kelapa itu.
Tapi bagi bebek yang sering berjalan ke berbagai tempat, tentu menilai alam yang ditempati kodok adalah ruang yang sempit. Bebek menilai kodok sebagai makhluk yang hanya tahu dunia di bawah batok kelapa. Apa bebek betul-betul tahu dunia yang ditempati kodok?
Padahal, ruang yang sudah dan pernah diisi sang bebek di setiap perjalanannya, masih ruangan terbatas dalam pandangan mata telanjang seekor elang.
Bagi elang, ruang yang diisi bebek jauh lebih sempit dibanding ruang yang telah diterbanginya. Sebetulnya, ruang yang diisi kodok maupun bebek sama; berada dalam satu bidang tapi keduanya tidak mau melihatnya sebagai bidang yang sama.
Dan sebetulnya lagi, baik kodok, bebek, maupun elang, sama-sama merupakan unsur yang mendukung eksistensi isian ruang. Semuanya bisa dan dapat bergerak bebas di setiap ruang.
Untuk mengisi ruang itu tidak diperlukan moderator. Karena setiap unsur sudah paham bagaimana mengisi ruang secara bebas tanpa merusak kandungan ruang.
Kotak sepatu untuk sepatu, kotak cerutu untuk cerutu, lemari pakaian untuk baju. Sekali-sekali boleh berimprovisasi, kotak sepatu diisi kelereng, kotak cerutu untuk menyimpan surat-surat pacar, dan lemari pakaian diisi uang.
Kebebasan mengisi sebidang ruang, tidak sama dengan memenuhi bidang ruangan itu dengan apa saja asal ruang berisi.
Sebuah gelas di atas meja, tetap merupakan gelas bagi peminum. Tapi bagi seorang pematung, gelas di atas meja adalah isi ruang dan harus dihargai sebagai patung.
Namun, ketika gelas itu diangkat dari tempatnya, maka meja itulah yang harus dinilai sebagai sebuah patung. Komunikasi yang terbentuk saat itu, gelas dan meja sama-sama mengisi ruang dan sama-sama berkohesi terhadap ruang.
Artinya, setiap ruang ada peruntukannya dan setiap isi ruang ada maksudnya. Karena itu sangat tidak bijak bila membiarkan ruang yang sudah terbentuk menjadi ruang yang tidak berbentuk. Apalagi menjadikan ruang yang tersedia ke bentuk yang bukan untuk peruntukannya. (Afrizal Anoda, Penulis tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan)