Rantai Pasok Hijau: Antara Beban dan Investasi

foto penulis
Sumber :
  • vstory

VIVA – Menjaga bumi memang tidak pernah mudah. Data Copernicus Climate Change Service (C3S), pada 15 Maret 2025, menunjukkan suhu rata-rata global sebesar 14,08 derajat celcius. Angka itu setara 0,7 derajat celcius di atas rata-rata suhu bumi selama 30 tahun, pada kurun 1991-2021, dan 1,6 derajat celcius di atas masa pra-industri. Perjanjian Paris mengharuskan dunia menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat celsius dari masa pra industri. Ini bertujuan untuk guna membatasi dampak bencana iklim yang sangat dahsyat.

Trump Teken Perintah Eksekutif Penutupan Departemen Pendidikan AS

Sulitnya menjaga pemanasan global itu disebabkan emisi karbon dioksida yang terus meningkat.  Padahal, dunia sudah berkomitmen agar emisi ini turun 45% pada 2030 untuk menjaga target pemanasan global 1,5 derajat Celsius itu tadi.

Di Indonesia, laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa sektor logistik berkontribusi terhadap 36?ri total emisi industri nasional. Itu artinya, supply chain management (SCM) yang berkelanjutan menjadi sangat penting di tengah meningkatnya tekanan global untuk mengurangi emisi karbon dan menciptakan rantai pasok yang lebih efisien.

Puma PHK 500 Karyawan, Penjualan Lesu dan Persaingan Brutal Jadi Biang Kerok?

Isu SCM atau manajemen rantai pasok menjadi semakin krusial mengingat ketergantungan industri pada sistem logistik konvensional yang tidak hanya boros energi, tetapi juga menyumbang emisi tinggi. Masalahnya lagi, penelitian dari Bank Dunia menunjukkan bahwa 40% perusahaan manufaktur di Indonesia masih enggan beralih ke praktik rantai pasok yang lebih hijau karena anggapan bahwa biaya implementasinya terlalu tinggi.

Namun, apakah penerapan SCM berkelanjutan benar-benar lebih hemat dalam jangka panjang atau hanya menjadi beban tambahan bagi industri? Di banyak negara, regulasi lingkungan telah memaksa perusahaan untuk memperbaiki rantai pasok mereka atau menghadapi pajak karbon yang semakin besar.

Adopsi Inovasi untuk Efisiensi

Uni Eropa, misalnya, mulai menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang akan membebankan tarif lebih tinggi bagi produk yang tidak memenuhi standar keberlanjutan. Hal ini menjadi ancaman nyata bagi Indonesia, terutama bagi sektor-sektor ekspor utama seperti minyak sawit, tekstil, dan makanan olahan. Laporan dari Kementerian Perdagangan menyebutkan bahwa ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan sebesar 8,7% pada kuartal pertama 2024 akibat tidak terpenuhinya standar ESG di Eropa.

Di sisi lain, pergeseran pola konsumsi global juga semakin menekan industri untuk beradaptasi dengan rantai pasok yang lebih hijau. Studi dari McKinsey tahun 2023 menunjukkan bahwa 74% konsumen global bersedia membayar lebih mahal untuk produk yang memiliki rantai pasok berkelanjutan. Selain itu, investor juga mulai mengalihkan dananya ke perusahaan yang menerapkan prinsip environmental, social, and governance (ESG), dengan lebih dari 40 miliar dolar AS dana investasi berpindah ke perusahaan yang memiliki sertifikasi keberlanjutan dalam tiga tahun terakhir.

Penerapan SCM hijau memang memerlukan investasi awal yang lebih besar. Studi yang diterbitkan oleh IOP Conference Series tahun 2025 menunjukkan bahwa biaya awal implementasi rantai pasok hijau bisa mencapai 20 hingga 30 persen lebih tinggi dibandingkan rantai pasok konvensional. Namun, dalam jangka panjang, penghematan yang bisa didapat dari efisiensi energi dan pengurangan limbah operasional bisa mencapai 15 hingga 25 persen per tahun.

Studi kasus dari di Jawa Barat menunjukkan bahwa perusahaan yang beralih ke logistik hijau mampu menghemat Rp2,1 miliar per tahun dalam biaya bahan bakar dan operasional gudang. Hal ini karena SCM berkelanjutan memungkinkan pengelolaan sumber daya yang lebih efisien, mengurangi ketergantungan pada energi fosil, serta mempercepat proses distribusi dengan memanfaatkan teknologi digital.

Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk menerapkan SCM berkelanjutan di Indonesia. Salah satunya adalah regulasi yang masih belum mendukung penuh transisi ini. Berbeda dengan Uni Eropa atau Singapura yang telah memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang menerapkan SCM hijau, Indonesia masih tertinggal dalam memberikan dukungan finansial kepada industri yang ingin beralih ke rantai pasok yang lebih ramah lingkungan.

Data dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menunjukkan bahwa 63% perusahaan masih belum mendapatkan insentif pajak yang jelas dalam menerapkan rantai pasok berkelanjutan. Selain itu, keterbatasan infrastruktur menjadi kendala utama. Gudang berbasis energi hijau di Indonesia hanya mencakup 5 persen dari total kapasitas penyimpanan nasional, membuat rantai pasok produk segar masih sangat bergantung pada sistem berbasis energi fosil.

Sementara itu, tingkat adopsi manajemen operasional berbasis Enviroment, Social, and Governance (ESG) dalam rantai pasok manufaktur Indonesia masih sangat rendah. ESG-based operations management menekankan aspek keberlanjutan dalam pengelolaan rantai pasok, mulai dari pemilihan bahan baku yang lebih ramah lingkungan, efisiensi energi di pabrik, hingga kebijakan pengurangan limbah dalam seluruh rantai distribusi. Model operasional ini telah diterapkan di beberapa perusahaan multinasional dan terbukti mampu mengurangi jejak karbon industri hingga 30 persen dalam satu dekade.

Pendekatan lain yang juga mulai diterapkan adalah sistem Lean and Green Supply Chain, yang mengombinasikan efisiensi biaya dengan kebijakan hijau. Pendekatan ini mengutamakan pengurangan limbah operasional, efisiensi penggunaan energi, serta optimalisasi transportasi barang guna mengurangi emisi karbon.

Beberapa perusahaan otomotif di Jepang telah menerapkan sistem ini dan berhasil memangkas biaya logistik sebesar 25 persen dengan memanfaatkan jalur distribusi yang lebih singkat dan penggunaan bahan bakar yang lebih efisien. Jika diterapkan di Indonesia, pendekatan ini dapat membantu perusahaan meningkatkan daya saing di pasar internasional sekaligus menekan biaya operasional dalam jangka panjang.

Langkah lain yang bisa dilakukan adalah meningkatkan transportasi logistik ramah lingkungan. Saat ini, Indonesia baru memiliki 1.200 unit truk listrik untuk rantai pasok industri, jauh tertinggal dibandingkan China yang sudah mengadopsi lebih dari 50.000 unit truk listrik. Penggunaan kereta barang berbasis energi terbarukan juga bisa menjadi solusi dalam menekan emisi karbon, mengingat biaya logistik yang dihemat dari metode ini bisa mencapai 25 persen dibandingkan dengan truk diesel.

SCM berkelanjutan bukan hanya sekadar tren, tetapi kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Dengan semakin ketatnya regulasi global dan meningkatnya kesadaran konsumen, perusahaan yang tidak segera beradaptasi akan kehilangan daya saing di pasar internasional. Fakta menunjukkan bahwa meskipun biaya awal penerapan rantai pasok hijau cukup tinggi, namun dalam jangka panjang, perusahaan dapat menghemat miliaran rupiah per tahun melalui efisiensi energi, pengurangan limbah, serta peningkatan transparansi rantai pasok.

Pertanyaannya bukan lagi apakah SCM berkelanjutan perlu diterapkan, tetapi seberapa cepat industri di Indonesia mampu beradaptasi. Jika Indonesia tidak segera mengambil langkah konkret, bukan hanya industri yang akan tertinggal, tetapi juga ekonomi nasional yang semakin rentan terhadap dampak perubahan iklim dan pergeseran kebijakan perdagangan global. Saatnya berinvestasi dalam masa depan yang lebih hijau, bukan hanya demi lingkungan, tetapi juga demi keberlanjutan ekonomi bangsa.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.