Menjadikan PTS Unggul Secara Efisien

Deden Prayitno, Dosen FTI Perbanas Institute
Sumber :
  • Dok Deden Prayitno

(Artikel ini ditulis oleh Deden Prayitno, Dosen FTI Perbanas Institute |  Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute)
VIVA – Pada pekan kedua Februari 2025, sejumlah media nasional mengabarkan peringkat terbaru perguruan tinggi negeri dan swasta berdasarkan penilaian Quacquarelli Symonds World University Rankings (QS WUR) 2025. Sebelumnya, pada akhir Januari 2025, lembaga pemeringkatan Webometrics juga merilis daftar kampus terbaik di Indonesia versi mereka. Bagi pengelola perguruan tinggi, pemeringkatan semacam ini menjadi tolok ukur penting yang dianggap menentukan masa depan institusi mereka.

Soal Oknum TNI Tembak Polisi di Way Kanan, PBHI Desak Pelaku Diadili di Peradilan Umum

Para pimpinan kampus pun berusaha keras mendapatkan peringkat setinggi mungkin demi menjaga reputasi akademik dan meningkatkan kepercayaan publik. Mantan Plt. Dirjen Pendis Kementerian Agama RI, Abu Rokhmad, pada 2024, pernah menyatakan bahwa pemeringkatan adalah instrumen untuk melihat posisi sebuah universitas dibandingkan dengan institusi lain, baik dalam skala nasional, regional, maupun internasional.

Selain pemeringkatan oleh lembaga independen, kampus di Indonesia juga dihadapkan pada akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) atau Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM).  Akreditasi bukan sekadar formalitas, tetapi benar-benar menilai kualitas kampus secara objektif. Akreditasi ini juga menjadi daya tarik bagi calon mahasiswa serta meningkatkan kredibilitas kampus di dunia akademik dan industri. Status "Unggul" menjadi target utama yang ingin dicapai banyak perguruan tinggi.

IHSG Ditutup Menguat 88 Poin Ditopang Stimulus Fiskal, Intip 3 Saham Top Gainers

Masalahnya, di balik gelar prestisius tersebut, ada kenyataan yang tak bisa diabaikan: biaya akreditasi yang sangat tinggi. Meraih akreditasi "Unggul" bukan perkara mudah. Kampus harus melewati berbagai tahapan, mulai dari penyusunan dokumen akreditasi, audit oleh asesor, hingga pemenuhan standar yang ketat. Proses ini membutuhkan biaya besar, yang dalam beberapa kasus dapat mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Betul, Permendikbudristek nomor 53 tahun 2023, yang berlaku efektif pada 2025,  menyatakan bahwa biaya akreditasi perguruan tinggi dan program studi yang bersifat wajib akan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Namun, untuk akreditasi sukarela, terutama bagi yang ingin meningkatkan status menjadi “unggul”, biaya tersebut masih menjadi tanggungan kampus.

Mau Mudik Naik Jeep dan Citroen, Ini Lokasi Servisnya

Salah satu faktor utama yang membuat biaya akreditasi begitu tinggi adalah persyaratan sumber daya manusia. Untuk mendapatkan status "Unggul", PTS harus memiliki tenaga pengajar berkualifikasi tinggi. Idealnya, mayoritas dosen bergelar doktor (S3), dan sebagian adalah profesor dengan rekam jejak penelitian yang kuat. 

Gaji dosen berkualifikasi tinggi tentu cukup besar, ditambah lagi dengan biaya sertifikasi, seminar internasional, serta publikasi di jurnal bereputasi global seperti Scopus atau Web of Science (WoS). Publikasi di jurnal bereputasi ini bukanlah perkara murah—biayanya bisa mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah per artikel.

Di sisi lain, sarana dan prasarana juga menjadi aspek krusial. Kampus harus memiliki laboratorium modern, perpustakaan digital, serta fasilitas pembelajaran berbasis teknologi. Semua ini membutuhkan investasi besar, terutama bagi PTS yang belum memiliki infrastruktur memadai. Beberapa kampus bahkan rela melakukan renovasi besar-besaran demi meningkatkan nilai akreditasi.

Faktor penelitian dan publikasi ilmiah menjadi tantangan berikutnya. Akreditasi "Unggul" mengharuskan kampus memiliki rekam jejak penelitian yang kuat dengan publikasi internasional. Ini berarti kampus harus mendanai riset, membiayai akses jurnal berkualitas, serta mendukung keikutsertaan dosen dalam konferensi akademik.

Selain itu, PTS juga harus menjalin kerja sama akademik dengan institusi lain, baik dalam maupun luar negeri. Program pertukaran mahasiswa dan dosen, program double degree, serta riset bersama menjadi elemen penting dalam meningkatkan reputasi kampus. Sementara itu, layanan karier bagi mahasiswa, beasiswa, serta tracer study untuk memastikan lulusan terserap di dunia kerja turut menjadi indikator penting dalam akreditasi. Semua aspek ini menambah panjang daftar kebutuhan dana bagi PTS yang ingin meraih akreditasi "Unggul".

Strategi Cerdas, Fokus, dan Gaul 
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang, Syamsul  Arifin (2024), juga mengakui, faktor biaya dalam proses akreditasi merupakan salah satu tantangan utama bagi PTS.  Namun, kendati biaya akreditasi begitu besar, bukan berarti PTS yang memiliki keterbatasan anggaran tidak bisa mencapai status "Unggul". Dengan strategi yang cerdas, efisiensi, dan perencanaan matang, kampus swasta tetap bisa meningkatkan kualitas tanpa harus seketika merogoh kas hingga miliaran rupiah.

Salah satu cara yang efektif adalah fokus pada program studi unggulan. Tidak semua program studi harus langsung ditingkatkan ke level "Unggul" secara bersamaan. PTS bisa memilih beberapa program studi dengan potensi terbaik dan memaksimalkan sumber daya untuk meningkatkan kualitas prodi tersebut terlebih dahulu.

Selain itu, PTS dapat memanfaatkan hibah penelitian dan pendanaan eksternal dari pemerintah, industri, maupun lembaga internasional. Program seperti LPDP, Kemdikbud, Erasmus, serta hibah dari perusahaan swasta atau asosiasi industri bisa menjadi solusi bagi kampus yang ingin meningkatkan penelitian tanpa membebani keuangan institusi. Sebagai contoh, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi telah menyelenggarakan Program Bantuan Pemerintah untuk Transformasi Akreditasi Program Studi, yang dapat meringankan beban finansial perguruan tinggi.

Strategi lain yang tak kalah penting adalah digitalisasi dan pemanfaatan teknologi. Dengan berkembangnya e-learning, hybrid learning, serta blended learning, PTS bisa menghemat biaya operasional tanpa mengorbankan kualitas pendidikan. Platform pembelajaran digital dapat mengurangi kebutuhan ruang kelas fisik dan infrastruktur besar lainnya. Tim akademik yang tangguh juga dapat berkompetisi dalam hibah digitalisasi pembelajaran, yang banyak ditawarkan oleh pemerintah maupun swasta.

Di sisi akademik, kolaborasi dengan universitas yang lebih mapan juga bisa menjadi solusi. Riset industri yang didanai melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), serta kompetisi akademik bersponsor, dapat membantu meningkatkan reputasi akademik dengan biaya lebih rendah. Dosen dapat berpartisipasi dalam penelitian bersama dengan universitas lain untuk meningkatkan jumlah publikasi ilmiah tanpa harus membayar biaya tinggi ke jurnal berbayar. Jurnal open-access yang lebih murah juga bisa menjadi alternatif yang lebih terjangkau.

Jangan lupa juga, branding kampus dan layanan mahasiswa harus diperkuat. Banyak PTS sukses meraih predikat "Unggul" bukan karena dana besar atau infrastruktur mewah, tetapi juga karena citra akademik yang baik di mata masyarakat. “Unggul” juga bisa ditopang oleh “gaul”.  Meningkatkan visibilitas melalui media sosial, prestasi akademik, prestasi seni dan olahraga, dan profiling alumni yang sukses dapat menjadi strategi efektif untuk menarik mahasiswa baru tanpa harus mengeluarkan biaya besar.

Dengan strategi yang tepat, PTS tetap bisa mencapai peringkat "Unggul" tanpa harus menghabiskan dana miliaran rupiah dalam waktu singkat. Kuncinya adalah fokus, efisiensi, komitmen, serta kolaborasi. Dengan perencanaan yang matang dan semangat yang tinggi, kampus swasta bisa meningkatkan kualitas akademiknya secara bertahap, tetap kompetitif, dan memberikan manfaat besar bagi mahasiswa serta masyarakat luas.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.