Emang Boleh, Bukan Mantan Pemain dan Pelatih Jadi Pundit Football? 

Pemain Timnas Indonesia U-20
Sumber :
  • X @timnasindonesia

(Artikel opini ini ditulis oleh Yusuf Ibrahim, Podcaster Penikmat Sepak bola) 

VIVA - Ramai publik sepak bola nasional mempertanyakan, "Mengapa kebanyakan pengamat dan atau komentator sepak bola kita bukan mantan pemain atau pelatih sepak bola? Seperti pundit football di luar negeri. Rata-rata mantan pemain dan pelatih," protesnya. 

Ini menarik. Penulis membuat tulisan ini base-on pengalaman mengamati dan ikut bantu merekrut pengamat dan komentator sepak bola selama 20 tahun di ANTV. 

Saat ANTV masih menyiarkan banyak kompetisi sepak bola lokal dan gencar menayangkan siaran langsung sepak bola dari berbagai liga populer sepak bola dunia di era tahun 1994 sampai 2014. 

Di awal tahun 90-an, ketersedian pengamat pertandingan sepak bola masih sedikit. Stock-nya hanya ada di TVRI dan RRI. Selebihnya adalah wartawan senior sepak bola media cetak papan atas, sekelas Kompas, Tabloid Bola, Tabloid GO, dan beberapa  dari desk olahraga  media lainnya. 

Stasiun TV penayang sepak bola era itu, TVRI, TPI, RCTI dan menyusul ANTV yang sangat masif dengan Liga Indonesia, Liga Inggris, Italia, Spanyol dan German. Sebelum akhirnya, memasuki era tahun 2000an ke atas diikuti juga oleh Trans TV, SCTV dan Indosiar.  

Saat itu, siaran langsung sepak bola di televisi sebenarnya sudah menghadirkan beberapa pemain dan pelatih sebagai pengamat sekaligus komentator  pertandingan dan program chat-show seputar isu sepak bola. Mereka kebanyakan mantan pemain tapi masih aktif sebagai pelatih. 

Sebut saja misalnya nama Coach Danurwindo, Coach Rakhmad Darmawan, Coach Bambang Nurdiasnsyah, Coach Mamak Al Hadad, dan Coach Syamsudin Umar. Termasuk yang sudah almarhum, Coach Ronny Patinasarany, Benny Dollo dan Legenda Timnas Iswadi Idris dan Ricky Yacobi. 

Legenda Timnas lainnya yang masih ada, seperti Dede Sulaiman, Herry Kiswanto, Mundari Karya, dan Robby Darwis, Aji Ridwan Mas pun pernah mencoba. 

Memasuki tahun 2010 ke atas, menyusul beberapa mantan pemain Primavera seperti Yeyen Tumena, Indrianto, Supriono dan Kirniawan DY pun permah mencoba jadi pengamat. 

Yeyen bahkan sempat lama beredar dan eksis sebelum akhirnya dia fokus sebagai pelatih. Sementara Supriono, kita dapati hingga saat ini masih eksis sering siaran.

Bagaimana dengan Bambang Pamungkas? Legenda Timnas dan Persija ini sebenarnya sangat memenuhi syarat. Good looking dan punya kemampuan bernarasi yang baik. Sempat  beberapa kali muncul. Tapi entah mengapa kemudian jarang tampil. 

Selain nama-nama diatas, ada yang cukup fenomenal dan aktif siaran. Yaitu Justin Lhaksana, mantan pelatih futsal timnas dan Venard Hutabarat, mantan pemain Persija dan icon pemain futsal. 

Coach Justin penulis masukan sebagai barisan mantan, karena bagaimanapun basic-nya dia mengaku aktif dan serius bermain sepak bola saat remaja di tanah Belanda. Dan kemudian mengambil sertifikat kepelatihan futsal. Sebuah game turunan dari sepak bola konvensional. 

Selain itu, belakangan ini, ada juga nama besar bintang lapangan Timnas dimasanya Hamka Hamzah dan Greg Nwokolo yang mencoba jadi pengamat sepak bola lepas melalui sosial media. 

Khusus mantan pemain liga, Oki Rengga, ini juga perlu dicatat sebagai pengamat serius dan sudah jadi. Walau labelnya saat ini komedian dan aktor film, dia adalah mantan pemain sepak bola PS. Deli Serdang dan PSMS Medan. Oki adalah contoh mantan pemain yang sukses banting setir. 

Masih ada beberapa nama lainnya, pemain dan mantan pemain yang pernah dan sesekali nongol sebagai pengamat atau komentator, muncul di stasiun TV dan sosial media. 

Namun, mengapa kemudian mereka kalah banyak, kalah eksis dan serasa kurang tajinya, diantara pengamat dan atau komentator yang bukan mantan pemain dan pelatih? 

Mengapa seolah mereka kalah bersaing dengan yang berlatar belakang jurnalis sepak bola, pengamat yang sekedar bisa maen bola dari kalangan celebritis dan influencer serta "pengamat rebahan"? 

Mengapa yang bergaung lagi-lagi, Bung Towel bersaing dengan Coach Justin, Akmal, Ropan, Binder, Jebret, Yesayas, Harpa, Bung Kus, Yuke, beberapa nama dari Dewan Pundit Indonesia? 

Ada beberapa alasan. Pertama adalah kesempatan yang diberikan pengelola media. Kedua, masalah waktu dan jarak. Ketiga masalah up-date dan kekuatan data. Dan yang keempat, masalah kemampuan bernarasi dan berkomunikasi. 

Alasan yang pertama. Saat ini, jika diperhatikan, kecil sekali media besar seperti televisi yang menyiarkan pertandingan sepak bola dan atau plarform media sosial sepak bola ternama yang memberikan kesempatan lebih kepada para mantan pemain dan pelatih untuk tampil sebagai pengamat dan komentator rutin. Kalau pun ada, paling satu-dua. 

Berbeda dengan saat ANTV masih berjaya dengan siaran langsung sepak bola. ANTV memberikan kesempatan luas dan banyak kepada pemain dan pelatih dan mantan keduanya untuk siaran. Termasuk beberapa TV lainnya. 

Departemen siaran olahraga ANTV saat itu dipimpin oleh seorang mantan pemain sepak bola semi-profesional Galatama, PS. Jayakarta, yang cukup punya nama dieranya, Reva Deddy Utama. 

Dia bilang, "Kalau untuk urusan data wartawan dan jurnalis jagonya, tapi kalau untuk urusan teknik dan strategi permainan, pemain dan pelatihlah yang lebih punya moral untuk bicara." 

Itulah mengapa, nama-nama besar mantan pemain dan pelatih yang penulis sebutkan di awal tulisan sering beredar di layar kaca ANTV. Selain para jurnalis senior sepak bola dari berbagai media besar. Diantaranya Roni Pangemanan, Tommy Welly, Erwin Fitriansyah, Yusuf Kurniawan, Yesayas Oktavianus, Josef Tortulis, Kesit B. Handoyo, Tommy Suryopratomo, Sapto Aryo, Ary Julianto dan  Almarhum Barry Sihotang serta Hardimen Koto. 

Sepertinya, selling-point adalah alasan media pengasuh program sepak bola saat ini untuk lebih suka memilih pengamat dan komentator yang  good looking, muda, berpengalaman dan punya jiwa entertaining. Selain, tentu saja, punya kemampuan bernarasi yang baik. 

Memang, talenta pengamat bisa datang dari mana dan siapa saja. Tidak melulu dari kalangan  jurnalis olahraga. Banyak diantara pundit adalah penikmat sepak bola yang belum tentu bisa main sepak bola secara benar. 

Mereka biasanya mengandalkan kemampuan narasi berkomunikasi dan pengetahuan dari membaca dan mengamati berbagai pertandingan sepak bola karena hobi. Itu kenyataannya. 

Adalah penting seorang mantan pemain dan pelatih sepak bola punya network dengan pengelola media, khususnya media besar, jika berkeinginan menjadi pundit football. Mereka harus bergaul, menunjukan keinginan dan niatnya. Selain yakin punya talenta. 

Media ternama bisa saja mencari sendiri, tapi alangkah terbantunya jika ada sosok mantan pemain atau  pelatih yang menawarkan diri dengan keyakinan mampu. Diawal-awal media yang baik akan memberikan arahan dan pelatihan. Media audio-visual merindukan itu. 

Yang kedua. Masalah waktu dan jarak. Tidak semua mantan pemain dan pelatih punya waktu untuk sibuk menjadi pengamat dan komentator rutin. Sering terjadi, mereka masih punya kesibukan kerja, bisnis atau melatih. Sehingga tidak fokus jadi pengamat dan komentator.

Apalagi jika mereka tinggal di luar kota. Ini menjadi kendala tersendiri. Mengingat kebanyakan media besar ada di Jakarta. Walau teknologi sudah memfasilitasi lewat Zoom dan Live-streaming.  Tapi akan lebih seru jika mereka rutin hadir di studio. 

Masalah ketiga. Masalah up-date dan kekuatan data. Kalau untuk urusan law of the games, strategi dan analisis membaca permainan, para mantan pemain dan pelatih, memang tidak diragukan. Karena mereka pelaku. 

Tetapi, jika itu sudah menyangkut informasi dengan segala perubahan dan perkembangannya serta data statistik terkini, temuan yang sering terjadi mereka kurang up-date. Terkadang kalah update oleh pengamat rebahan, influencer dan apalagi jurnalis sepak bola. Ini kendala yang harus dipahami. 

Masalah keempat adalah kemampuan bernarasi dan berkomunikasi. Ini temuan klasik yang menjadi PR besar bagi para mantan pemain dan pelatih yang ingin menjadi komentator, pengamat dan pundit football eksisting. 

Tidak banyak diantara mereka yang memiliki kemampuan bernarasi dan berkomunikasi secara baik sesuai tuntutan lengelola siaran. Apa sebab? Aspeknya utamanya adalah kemampuan publik speaking; kemampuan berbahasa yang apik dan runut; kualitas suara dan artikulasi yang jelas; dan kepercayaan diri. Ini modal dasar seseorang yang ingin tampil rutin di layar media. 

Kalau jurnalis, mereka terbiasa bermain dengan kata-kata dan idiom. Dengan demikian mereka terkondisikan menjadi jago bicara. Menjadi sosok yang informatif, interpratif, dan kritis dalam berpendapat. Itu semua terasah karena kesehariannya bergulat dengan data dan fakta. 

Kalau influencer dan pengamat rebahan, mereka menjual uniquely dalam berkomunikasi. Seolah paling berwawasan. 
Publik suka mereka karena daya krearif mereka dalam meracik ucapan dan narasi dengan pengetahuan data dari google dan Chat-GPT. Urusan kedalaman argumentasi dan interpretasi nomor sekian.  

Lalu apa solusinya agar bisa bernarasi dengan baik? Sederhananya,
ahli publik speaking menyarankan, banyaklah membaca dan menyimak para narator berbicara. Proses belajar. Solusi lainnya, ya mempelajari dan mempraktekan poin-poin publik speaking. 

Coach Danur, Coach RD, Almarhum Coach Bendol dan Legenda Timnas Ronny Patinasarany, dan mantan pemain Bambang Pamungkas serta Venard Hutabarat adalah diantara contoh para mantan pelatih dan pemain yang punya dasar kemampuan bernarasi dan publik speaking berkategori baik. Selain mereka punya kekuatan data, mereka juga punya insight saat masih menjadi pemain. 

Disaksikan Pelatih Timnas Putri, All-Stars Kudus Juara Perang Bintang Soccer Challenge

Mantan pemain Primavera Yeyen Tumena dan Supriono adalah dua sosok yang sukses belajar untuk itu. Awal mereka siaran bersama penulis, terlihat kaku dan gugup serta tidak pandai bernarasi panjang. Latihan, belajar dan jam siaran membuat mereka mampu tampil baik akhirnya. Dalam hal ini peran media besar harus memberi kesempatan. Kembali membuka kesempatan dan memberikan pelatihan, khusus kepada  mantan pemain dan pelatih.

Jika ditilik, sesungguhnya tidak semua pengamat dan komentator sepak bola mumpuni di luar negeri adalah mantan pemain dan pelatih. Banyak diantara berlatar belakang jurnalis dan kolomnis media. 

Pengakuan Manajer Oxford United soal Debut Ole Romeny

Sebut saja misalnya, Jonathan Wilson. Seorang jurnalis kawakan Inggris. Penulis buku analisis historis sepak bola global berjudul  "Inverting the Pyramid". 

Ada juga Michael Cox. Jurnalis sepak bola penulis buku "The Mixer" yang mengulas evolusi taktik di Liga Inggris. 

Ketar-ketir! Pelatih Australia Siapkan Pemain Terbaik Lantaran Takut Dibikin Malu dengan Timnas Indonesia

Yang mungkin akrab suaranya di telinga penggemar sepak bola tanah air. Siapa lagi dia kalau bukan Peter Drury. Dia orang TV, bukan mantan pemain  apalagi pelatih sepak bola. Tapi betapa skill dan analisanya mampu mengimbangi para pundit sepak bola global. 

Yang lebih lawas, Rory Smith, kepala koresponden sepak bola internasional di The New York Times. Raphael Honigstein, analis sepak bola Jerman yang bekerja untuk The Athletic dan Sky Sports. Tim Vickery, pakar sepak bola Amerika Selatan yang sering muncul di BBC dan ESPN. Dan masih banyak lagi. 

Meskipun mereka bukan mantan pemain, keahlian mereka dalam analisis, penelitian, dan komunikasi membuat mereka sangat dihormati di dunia sepak bola internasional. Dan rata-rata usia mereka diatas 50 tahunan. Bahkan ada yang hampir menyentuh usia 70 tahun. Senior! 

So...? Adalah tidak tabu dan aneh alias boleh, bukan mantan pemain dan pelatih sepak bola menjadi komentator atau pengamat sepakbola. Karena buktinya sudah ada. 

Mantan pemain Greg Nwokolo, Hamka Hamzah dan Rochi Putiray boleh saja protes pundit kita kebanyakan non mantan pemain dan pelatih sepak bola. Tapi kenyataan diatas harus dipahami. Dan menjadi tantangan buat para mantan pemain dan pelatih untuk bersaing mengejar ketertinggalan jadi pundit. 

Valentino Jebret, bagus melakukan autokritik kepada dirinya dan gank-nya dalam sebuah video yang viral. Tapi sebagai pengelola Jebret Media, selayaknya dia juga memberikan kesempatan lebih lus untuk para pemain dan mantan pemain serta pelatih untuk tampil menjadi pundit football. Jangan cuma menampung yang dan mengolah yang sekolam dengan dirinya. Tambah lagi. 

Sekarang tinggal bagaimana menempatkan penilaian. Mana pundit non mantan pemain dan pelatih yang bisa, dan mana yang asal mangap. 

Mana mantan pemain yang mampu, dan mana yang tidak percaya diri. Alasan kemampuan publik speaking dan kekuatan data bisa dipelajari dan dicari. 

Intinya, masing-masing pengamat punya kelebihan dan kekurangan. Punya kemampuan dan ketidak mampuan yang spesifik. Siapun boleh jadi pengamat dan komentator. Publiklah yang menilai akhirnya. 

Para mantan pemain dan pelatih yang berniat dan ingin jadi pundit, mulailah tampil. Bergaulah dengan teman media yang mengerti aspek media dan siaran. 

Buatlah account media sosial dimana Anda bisa tampil berpendapat. Dari situ publik akan menilai, Anda bertalenta dan layak bersaing sebagai pundit football. Alias bukan sekedar former football player. 

Para pundit fottball non mantan pemain, jurnalis sepak bola, football celeb influencer, dan pengamat rebahan, silakan terus berkarya dan beropini. Tapi jangan asal bacot. 

Bergaul jugalah dengan pemain bola, mantan pemain bola dan pengurus bola. Rasakan sulitnya main bola dan mengurus bola. Dengan demikian, publik tak berkoar "sok tau, luh!?" Tabik.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.