Berpihak pada Budaya Permisif atau Anti terhadap Korupsi?
- vstory
VIVA – Komitmen pemerintah dalam rangka menjaga kekayaan negara untuk menghindari salah kelola dan kebocoran anggaran tentu tidak lepas dari upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Beberapa waktu ini yang menjadi salah satu perbincangan hangat adalah soal pernyataan Presiden Prabowo tentang akan diberikannya kesempatan kepada para koruptor untuk mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi, namun tentu hal ini tidak akan sekaligus menghapus tanggung jawab konsekuensi hukum terhadap perbuatan korupsi tersebut.
Kita meyakini bahwa pemerintah saat ini dengan segala upaya serta langkah untuk menyelamatkan aset negara serta penegakan hukum terhadap tindakan korupsi merupakan wujud komitmen untuk menghilangkan korupsi dan menegakkan hukum terhadap semua Tindakan dan perilaku korupsi, bukan untuk berkompromi atau bahkan permisif terhadap tindakan korupsi.
Upaya pemerintah sebelumnya melalui Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) jangka panjang tahun 2012–2025 dan jangka menengah tahun 2012–2014. telah disempurnakan menjadi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) dan tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Stranas PK ini memuat fokus dan sasaran sesuai dengan kebutuhan pencegahan korupsi agar pencegahan korupsi dapat dilaksanakan dengan lebih terfokus, terukur, dan berdampak langsung.
Angka Indeks Perilaku Anti Korupsi
Untuk memenuhi kebutuhan data tersebut Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu pun telah merilis angka hasil Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK), SPAK bertujuan untuk mengukur tingkat perilaku antikorupsi masyarakat dengan menggunakan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK), hasil IPAK pada tahun 2024 sebesar 3,85 nilai ini mengalami penurunan sebesar 0,07 poin dibandingkan IPAK tahun 2023 yaitu sebesar 3,92, nilai ini masih dibawah target RPJMN yang sebesar 4.14.
Nilai IPAK pada skala 0 sampai 5, apabila indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi, sebaliknya nilai indeks yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi.
SPAK adalah survei yang mengukur perilaku masyarakat dalam tindakan korupsi skala kecil (petty corruption) dan tidak mencakup korupsi skala besar (grand corruption). Data yang dikumpulkan mencakup pendapat terhadap kebiasaan di masyarakat dan pengalaman berhubungan dengan layanan publik dalam hal perilaku penyuapan (bribery), gratifikasi (graft/gratuities), pemerasan (extortion), nepotisme (nepotism), dan sembilan nilai antikorupsi lainnya.
IPAK disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu Dimensi Persepsi dan Dimensi Pengalaman. Setiap dimensi dalam IPAK memiliki subdimensi. Subdimensi digunakan untuk membangun indeks dimensi. Dimensi Persepsi terdiri dari tiga subdimensi, yaitu subdimensi persepsi keluarga, persepsi komunitas, dan persepsi publik. Sementara itu, dimensi pengalaman terdiri dari dua subdimensi, yaitu subdimensi pengalaman publik dan pengalaman lainnya.
Anti Korupsi Berdasarkan Karakteristik
Pada laporan IPAK juga menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat Pendidikan masyarakat cenderung semakin antikorupsi. Pada 2024, IPAK masyarakat berpendidikan di bawah SLTA sebesar 3,81; SLTA sebesar 3,87; dan di atas SLTA sebesar 3,97 hal ini menjadi relevan ketika pemahaman anti korupsi diterapkan di lingkungan pendidikan, agar supaya perilaku anak-anak usia sekolah di lingkungannya sudah mencerminkan nilai antikorupsi (seperti jujur, tanggung jawab, disiplin).
Selain IPAK berdasarkan karakteristik Pendidikan, BPS juga menyampaikan bahwa penduduk pada usia di bawah 40 tahun dan penduduk usia 40–59 tahun lebih antikorupsi dibandingkan penduduk 60 tahun ke atas, hal ini menunjukkan peluang pemerintah dalam memberantas korupsi sangat ideal pada usia tersebut.
Awal perilaku korupsi terjadi ketika tidak ada nilai-nilai antikorupsi yang kuat ditanamkan dalam diri seseorang. Melalui pembiasaan dan pengembangan nilai-nilai antikorupsi sejak dini, serta mengembangkan sumber-sumber pengajaran nilai antikorupsi yang dapat membentuk perilaku anak-anak usia sekolah di lingkungannya, misalnya dari keluarga di rumah, pengajaran di sekolah, teman sepermainan, lingkungan sekitar rumah, lingkungan sekolah, media online yang banyak diakses oleh anak-anak, media bacaan anak, permainan, dan lain sebagainya, diharapkan individu memiliki kendali diri terhadap pengaruh buruk lingkungan mereka. Alhasil, agar terhindarkan diri dari praktik-paktik korupsi. (Andi Ismoro, Statistisi Pertama BPS DIY)