Trial By The Press dalam Hukum Pidana
- vstory
VIVA – “Judicial independence is a central goal of most legal systems, and systems of appointment are seen as a crucial mechanism to achieve this goal.” (Tom Ginsburg)
Di dalam ranah hukum, pengaruh teknologi digital terhadap perubahan nilai dan gaya hidup masyarakat menjadi sesuatu yang tidak terelakkan. Berbagai perubahan besar yang terjadi, jika tidak segera diantisipasi, akan membuat hukum semakin tertinggal, terutama jika hukum tidak mampu menyesuaikan diri dengan gelombang perubahan sosial ini.
Dari dua kasus pembunuhan berencana Brigadir J (Nofriansyah Yosua Hutabarat) dan Wayan Mirna Salihin, kita juga bisa melihat bagaimana media massa, jika tidak berjalan di jalurnya, dapat menimbulkan fenomena "trial by the press." Sebelum hakim menyampaikan putusannya, media sudah lebih dulu membentuk opini masyarakat. Akibatnya, ketika putusan akhirnya diumumkan, tingkat kepuasan masyarakat bisa saja berbeda, karena persepsi mereka telah dibentuk oleh pemberitaan sebelumnya.
"Trial by the press" ini adalah cara media massa untuk membangun konstruksi realitas yang sering kali jauh dari kenyataan sosial dan fakta empiris yang objektif, terutama fakta-fakta yang diungkap dalam proses pengadilan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Seperti yang dinyatakan oleh Schudson, berita adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, simbol, dan nilai-nilai yang terkadang tidak mencerminkan realitas itu sendiri. Dengan karakteristik media massa tersebut, berbagai konsekuensi pun muncul di tengah masyarakat.
Menurut Vincent F. Sacco, proses konstruksi realitas dalam pemberitaan mengenai kejahatan adalah bagaimana isu-isu kriminal diubah menjadi topik yang diperhatikan oleh publik. Konstruksi sosial ini dibentuk oleh media massa yang mengumpulkan, memilah, dan memberikan konteks pada statistik kejahatan, dengan tujuan membantu masyarakat untuk menyadari masalah mana yang perlu menjadi perhatian utama, serta apa saja dampak yang perlu segera ditangani. Sacco menyebutkan ada tiga aspek penting dalam konstruksi sosial kejahatan: Pertama, Pengumpulan, yaitu bagaimana media membangun kesadaran publik terhadap suatu isu tertentu, Kedua, Penyortiran, yaitu cara media merepresentasikan isu tersebut kepada publik melalui berita, dan Ketiga, Kontekstualisasi, yaitu dampak atau makna yang disampaikan oleh berita tersebut.
Pemberitaan media yang berulang-ulang dapat membentuk persepsi dan pemahaman publik tentang suatu topik tertentu. Namun, ironisnya, masyarakat sering kali tidak menyadari manipulasi yang dilakukan oleh media massa dan menerimanya sebagai kebenaran, terutama bagi mereka yang menerima informasi tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut. Denis McQuail (2011) menyatakan bahwa media massa memiliki karakteristik yang dapat menjangkau khalayak luas. Karakteristik ini, secara tidak langsung, membawa konsekuensi bagi kehidupan sosial. Media juga memegang peran penting dalam membentuk opini publik, di mana pandangan yang berkembang di masyarakat akan memengaruhi sikap dan mentalitas mereka.
Dampak dari konstruksi media terhadap persepsi publik dapat dilihat jelas dalam persidangan kasus pembunuhan Brigadir J (Nofriansyah Yosua Hutabarat) tahun 2022 dan Wayan Mirna Salihin tahun 2016. Masyarakat terus menerus dibombardir dengan narasi yang mengarahkan pandangan bahwa Bharada Richard Eliezer (pembunuhan Brigadir J) dan Jessica Kumala Wongso (pembunuhan Mirna) adalah pelaku utama, bahkan sebelum pengadilan memutuskan. Ini merupakan bentuk Trial by the Press, di mana pemberitaan media membangun persepsi bahwa terdakwa pasti bersalah. Padahal, Trial by the Press dilarang oleh Pasal 3 ayat (7) Kode Etik Jurnalistik PWI yang mengatur bahwa berita terkait proses hukum pidana harus berpegang pada asas praduga tak bersalah. Meskipun media dapat mengungkap fakta-fakta terkait Bharada Richard Eliezer dan Jessica Kumala Wongso, penentuan bersalah atau tidaknya secara hukum adalah wewenang mutlak pengadilan, dalam hal ini adalah Hakim sesuai dengan undang-undang.
Sejak awal kasus ini hingga putusan hakim dijatuhkan, media terus menjadikan kasus pembunuhan Brigadir J dan Wayan Mirna Salihin sebagai sorotan utama, dan masyarakat tetap antusias mengikuti perkembangannya, terutama terkait “Jenderal Polisi” sebagai dalang pembunuhan berencana Brigadir J dan "Sianida" sebagai racun mematikan dalam kasus Mirna. Media kemudian membentuk strategi khusus dalam menyajikan liputan kasus ini, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, hingga setelah persidangan. Strategi ini disampaikan melalui berbagai berita, dengan pengadilan dianggap sebagai sarana untuk mengesahkan persepsi yang telah dibentuk oleh media jauh sebelum hakim memberikan putusan.
Dalam sistem hukum yang ideal, pengadilan harus berdiri independen, netral, kompeten, transparan, akuntabel, dan bermartabat, di mana hakim memegang peran yang sangat penting. Namun, pemberitaan semacam ini dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap integritas hakim. Banyak masyarakat yang tidak memiliki pengalaman langsung dengan sistem peradilan pidana, sehingga informasi yang mereka dapatkan sepenuhnya bergantung pada apa yang disampaikan oleh media atau dari orang lain. Akhirnya, pemahaman umum, pandangan hukum, serta persepsi terhadap sistem hukum sangat dipengaruhi oleh cara media menggambarkannya.
Sering kali kita mendengar bahwa Ilmu Komunikasi adalah proses pertukaran pesan antara dua individu yang dikenal sebagai komunikator dan komunikan. Pesan ini dapat berwujud dalam berbagai bentuk, begitu pula dengan komunikator dan komunikan. Namun, proses komunikasi tidak berhenti hanya pada definisi ini. Ada aspek lain yang juga termasuk dalam proses komunikasi, yaitu dampak dari pesan yang disampaikan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah sistem, aturan, atau batasan agar informasi yang disampaikan tidak menyimpang atau merugikan salah satu pihak. Namun, apakah mungkin mengatur nilai berita dalam media massa?
Ini adalah salah satu gagasan yang diangkat dalam tulisan ini. Di era modern ini, arus informasi yang sangat masif dan pesat, didukung oleh media yang semakin berkembang untuk menyebarkan informasi secara luas, memunculkan tantangan baru. Setiap orang merasa memiliki tanggung jawab untuk memberikan opini, bahkan seolah-olah menjadi hakim yang menentukan suatu masalah. Kebebasan berpendapat, yang diperkuat dengan akses internet dan media sosial yang semakin besar, menjadikan fenomena ini sulit dihindari. Selain media sosial, media arus utama seperti televisi, radio, majalah, bahkan film, juga berlomba-lomba menyampaikan pandangan mereka terkait suatu peristiwa dengan cara melegitimasi kepentingan dari diskusi yang terjadi di media.
(Nazhif Ali Murtadho, S.H., Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya)