Tantangan Geopolitik Indonesia bagi Presiden Terpilih Prabowo Subianto
- vstory
VIVA – Kondisi global berada di ambang ketidakseimbangan pasca pandemi COVID-19 yang menyebabkan konflik antarnegara dengan berbagai dampak setelahnya. Di kawasan Eropa, terjadinya konflik antara Rusia dan Ukraina yang berkepanjangan. Selain itu, masih terjadi peningkatan ketegangan di Timur Tengah antara Israel, Palestina, serta Iran dan sekutunya. Bahkan di sekitar Indonesia, masih terjadi ketegangan terkait Laut China Selatan yang melibatkan beberapa negara ASEAN dengan Tiongkok.
Pusaran geopolitik kontemporer telah menavigasi arah kebijakan luar negeri Indonesia dari sepanjang dekade. Situasi geopolitik menjadi tantangan bagi presiden terpilih Prabowo Subianto ke depannya, yang akan menjabat dalam satu periode pada Oktober 2024 mendatang. Namun presiden terpilih perlu memahami kebijakan geopolitik yang tepat untuk membawa stabilitas keamanan Indonesia di tengah ketidakseimbangan global.
Konsep geopolitik dikenal secara umum dapat diartikan sebagai kebijakan politik suatu negara yang memfungsikan geografi sebagai landasan penguasaan ruang hidup untuk menjamin kelangsungan dan perkembangan kehidupan negara yang bersangkutan. Terdapat satu pandangan yang melatarbelakangi konsep geopolitik dunia, yakni Sir Walter Raleigh (1554-1618) dengan teori kekuatan maritimnya mengatakan bahwa kekuatan maritim sebagai basis kekuatan untuk menguasai perekonomian dunia dan menjadi senjata ampuh untuk menguasai dunia. Dari salah satu konsep geopolitik tersebut menjadi landasan terbentuknya Indonesia negara yang kokoh.
Di Indonesia, konsep Geopolitik dikenal dengan Wawasan Nusantara, yang secara umum diartikan sebagai cara pandang dan sikap Indonesia secara keseluruhan, serta lingkungan geografis negara kepulauan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Wawasan Nusantara mempunyai posisi sebagai visi bangsa Indonesia menuju masa depan, sesuai dengan konsep Negara Kepulauan yaitu menjadi bangsa yang satu dan satu wilayah pula. Sedangkan tujuannya adalah mewujudkan kesatuan seluruh aspek kehidupan nasional dan turut serta menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia.
Salah satu hal yang penting untuk dikaji dalam Wawasan Nusantara pada strategi geopolitik Indonesia, yaitu konsep keamanan negara-bangsa yang kemudian berkembang menjadi konsep geostrategis yang mengarah pada perlindungan negara secara terdepan. Presiden terpilih nantinya perlu fokus terhadap keberlangsungan Indonesia mengutamakan pertahanan politik dan keamanan negara, karena menjadi garis terluar dan penjaga perbatasan negara.
Posisi Indonesia diapit dua benua dan samudra, sehingga menjadikan indonesia sebagai negara terkuat di belahan khatulistiwa. Indonesia saat ini menjadi poros dunia seiring dengan meningkatnya kesadaran negara-negara di Asia Pasifik. Perairan Indonesia berbatasan langsung dengan sepuluh negara: India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Palau, Timor Leste, dan Australia. Sensitivitas Indonesia sebagai negara kepulauan yang mempunyai hak penuh atas wilayah laut dalam gugusan pulaunya, namun harus mendukung jalur pelayaran internasional.
Indonesia dikenal sebagai archipelago, rakyatnya adalah manusia maritim. Indonesia yang secara geografis dipenuhi lautan, yang hal ini sangat menguntungkan sebab menjadikan negara yang kaya akan sumber daya perairan hingga menjadi lalu lintas perdagangan global di Selat Malaka. Kehadiran Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dalam UNCLOS 1982 memiliki makna yang sangat penting, karena dapat mempersingkat waktu tempuh distribusi barang internasional. Namun infrastruktur pendukung pelayaran dan keamanan pelabuhan belum memadai di Indonesia.
Untuk menjamin kepentingan nasional di laut, Indonesia perlu membangun kekuatan laut yang terstruktur dan sistematis. Indonesia harus mampu memanfaatkan situasi geopolitik sebagai negara maritim ketika presiden Indonesia yang telah terpilih nanti, dengan menerapkan pajak agar seluruh negara produsen (Tiongkok, Jepang, Korea Selatan) yang melewati selat Malaka harus membayar.
Dalam geopolitik, kepemimpinan dan kestabilan politik yang dipelopori oleh presiden terpilih Indonesia di tahun 2024 ini akan mempengaruhi hubungan bilateral dan regional, sehingga menjadikan posisi bangsa yang semakin strategis. Presiden terpilih perlu memahami isu geopolitik, balance of power, dan disrupsi digital; untuk memastikan agar Indonesia tidak condong ke salah satu pihak tertentu. Ini bertujuan agar Indonesia tetap berpegang teguh pada prinsip politik luar negeri yang bebas aktif.
Di sisi lain, geopolitik Indonesia diprediksi tidak akan bersitegang dengan Amerika Serikat maupun Tiongkok, namun spillover effect (dampak konflik) akan terjadi apabila kedua negara utama tersebut saling berkonflik satu sama lain. Meskipun ada pakta non-intervensi di negara-negara anggota ASEAN, posisi global Indonesia masih belum kuat, seperti yang terlihat dalam masalah Laut China Selatan.
Oleh karena itu, Presiden terpilih Indonesia di tahun 2024 perlu concern terhadap isu-isu kontemporer seperti kehadiran Tiongkok di Laut China Selatan dan AUKUS. Indonesia harus menjadi pemain aktif yang mengupayakan penyelesaian sengketa secara damai. Pendekatan Indonesia berfokus pada perlindungan kepentingan nasionalnya, khususnya di sekitar Kepulauan Natuna di Laut China Selatan. Namun di sisi lain, Indonesia hanya condong memperhatikan kompleksitas dari sengketa Tiongkok.
Konflik Laut China Selatan merupakan salah satu bentuk sengketa wilayah, yang luasnya kurang lebih 3,5 juta km2 dan terdiri atas lebih dari 250 pulau. Laut China Selatan dikenal sebagai wilayah perairan yang strategis, sebab berfungsi sebagai jalur pelayaran internasional yang utamanya menghubungkan jalur perdagangan negara-negara di Eropa, Amerika, dan Asia. Selain itu, Laut China Selatan memiliki sumber daya yang melimpah seperti minyak dan gas, keanekaragaman hayati, dan perikanan; sehingga menjadikannya wilayah yang bernilai bagi pertumbuhan ekonomi.
Akibatnya, banyak negara yang berkepentingan untuk menguasai dan mengambil alih wilayah ini. Sengketa Laut China Selatan melibatkan enam negara, yaitu Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Konflik tersebut semakin memanas dengan adanya perubahan batas wilayah laut oleh Tiongkok. Pada faktanya, sengketa tersebut juga berdampak pada Indonesia akibat terganggunya hak, kewenangan, dan klaimnya atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di wilayah utara Kepulauan Natuna. Situasi tersebut berpotensi merugikan rakyat Indonesia berdasarkan stabilitas ekonomi, karena akan menghentikan pengeboran minyak dan gas di ZEE Kepulauan Natuna.
Terkait kasus di Laut China Selatan, strategi geopolitik Indonesia yang perlu menjadi fokus utama calon pemimpin 2024 adalah memecahkan kebuntuan selama bertahun-tahun mengenai Kode Etik (CoC) Laut China Selatan antara Indonesia bersama ASEAN dan Tiongkok. Meski tidak mengikat secara hukum, CoC tetap penting sebagai pedoman mendasar untuk mencegah dan memitigasi risiko bentrokan terbuka antara pihak-pihak yang berselisih, karena Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam juga mengklaim sebagian wilayah Laut China Selatan. Indonesia perlu menjadi kunci untuk menjaga perdamaian dan stabilitas keamanan di perairan tersebut.
Indonesia juga perlu berhati-hati dengan kehadiran AUKUS di masa depan karena selain adanya perlombaan senjata, namun terindikasi saling berbagi informasi intelijennya. AS, Inggris, dan Australia akan saling proses verifikasi, investigasi, inspeksi, dan deteksi dengan terintegrasi langsung untuk mengetahui berbagai informasi sensitif, sehingga akan mengganggu stabilitas keamanan maritim di Indonesia.
Presiden terpilih perlu menjadikan Indonesia sebagai pihak netral dan berwaspada dibalik kemunculan AUKUS. Langkah yang diperlukan adalah memperkuat bargaining power untuk memenuhi kepentingan nasionalnya, melalui peningkatan kualitas alutsista serta modernisasi TNI. Sengketa di Laut China Selatan hingga kehadiran AUKUS dapat menjadi fokus utama bagi presiden terpilih dalam mengambil keputusan geopolitik, agar Indonesia perlu bersikap hati-hati dalam mengelola akan antisipasi konflik.
Indonesia perlu menyelaraskan kebijakannya, baik eksternal maupun internal, tidak hanya menanggapi kebijakan eksternal tetapi juga memperhatikan kebijakannya sendiri. Penyelarasan tersebut harus bertujuan untuk menemukan penyelesaian yang saling menguntungkan guna mengatasi konflik akibat pengaruh geopolitik. Berbagai upaya dan strategi diplomatik yang dilakukan oleh presiden terpilih Indonesia untuk membantu menyelesaikan eskalasi konflik akibat ketegangan geopolitik perlu ditinjau ulang dan lebih memperhatikan kebijakannya sendiri.
Presiden terpilih Indonesia sendiri juga perlu waspada dan mengambil tindakan tegas untuk menjaga stabilitas ekonomi dan wilayahnya, terutama dalam menghadapi ketegangan geopolitik di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Indonesia memiliki sikap untuk menegaskan haknya atas zona tersebut sebagai langkah melindungi kedaulatannya. Selain itu, Indonesia dengan geopolitiknya yang bebas aktif dapat membangun kerangka kerja sama dengan AUKUS melalui upaya antisabotase di sektor pertahanan dan keamanan untuk menjaga keutuhan wilayah maritim yang rawan konflik, dengan di sisi lain membangun kerja sama di sektor ekonomi bersama Tiongkok melalui investasi dan pembangunan infrastruktur (seperti Belt & Road Initiative).
Dengan demikian, integritas kepemimpinan nasional dari presiden terpilih di tahun 2024 memerlukan patriotisme, nasionalisme, dan kerja keras untuk keberhasilannya selama masa jabatannya, salah satunya terkait strategi geopolitik Indonesia kontemporer sebagai negara maritim dan dikelilingi kekuatan besar. Diperlukannya kebijakan dan reorientasi dalam pengembangan postur pertahanan yang selaras akan strategi yang realistis dan kontra-intuitif oleh presiden terpilih untuk melindungi kedaulatan teritorial. Kemampuan presiden terpilih Indonesia di tahun 2024 ini selain berkemampuan pemerintahan, pun wajib memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan dalam menghadapi kondisi geopolitik yang tumpang tindih secara cepat, tepat, dan terukur.