Refleksi Hukum di Era Jokowi: Janji Reformasi hingga Tantangan Penegakan Hukum

Foto: Pidato Presiden Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR 2020. Sumber Foto: beritakin.com
Sumber :
  • vstory

VIVA – “Never be afraid to raise your voice for honesty and truth and compassion against injustice and lying and greed. If people all over the world … would do this, it would change the earth.” (Jangan pernah takut untuk mengutarakan suaramu bagi kejujuran dan kebenaran dan kepedulian terhadap ketidakadilan dan kebohongan dan keserakahan. Jika orang-orang di seluruh dunia … melakukan ini, niscaya hal itu akan mengubah bumi ini)

Alasan Cak Lontong Dipilih Jadi Ketua Timses, Rano Karno: Beliau Insinyur!

William C. Faulkner, penerima Nobel Sastra 1949.

Artikel ini bertujuan untuk mencapai dua hal dalam kaitannya dengan hukum dan legislasi. Pertama, memberikan refleksi mengenai peristiwa yang terjadi dalam setahun terakhir, khususnya pada tahun 2023. Kedua, mencoba memperkirakan apa yang mungkin terjadi di tahun 2024 (sekarang).

Bos Telkomsel Ingin Jaga 'Customer Centricity Culture'

Dalam tinjauan pertama, tidak mungkin melihatnya hanya dalam satu tahun terakhir. Konteks tahun 2023 harus dipahami sebagai tahun keempat dari masa pemerintahan Jokowi-Maruf Amin dan tahun kesembilan dari kepemimpinan Presiden Jokowi. Oleh karena itu, tahun 2023 merupakan lanjutan dari tahun-tahun sebelumnya. Sejujurnya, dalam konteks tersebut, bidang hukum masih menjadi tugas yang belum terselesaikan.

Contohnya, dalam ranah hukum, janji yang paling jelas terlihat adalah komitmen untuk “memastikan pemerintah tidak absen dengan menciptakan tata kelola yang bersih, efektif, demokratis, dan dapat dipercaya, dengan mengutamakan upaya memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi-institusi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.”

Ragnar Oratmangoen Botak, Ali Albulayhi Tak Bisa Berontak

Selain itu, janji tersebut juga mencakup “menolak negara lemah dengan mereformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas dari korupsi, bermartabat, dan dapat dipercaya.”

Dua janji ini mencerminkan sikap Presiden terhadap hukum dan antikorupsi selama kampanye Presiden tahun 2014. Atau, bisa juga dilihat dari pidato Presiden tahun 2020 di hadapan sidang bersama DPR dan DPD, bahwa “negara harus memberikan rasa aman dan keadilan, terutama oleh aparat penegak hukum.” Bahkan dengan tegas dinyatakan bahwa “penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu.”

Sistem Presidensial di Indonesia membuat janji ini tidak bisa hanya dianggap sebagai strategi kampanye atau sekadar hiasan dalam pidato resmi. Janji tersebut harus dipandang sebagai komitmen yang perlu diwujudkan. Meskipun kita memahami berbagai tantangan yang ada, sistem Presidensial menuntut bahwa janji dan pidato Presiden memiliki arti yang lebih mendalam daripada sekadar retorika. Janji tersebut tetap menjadi hal yang penting dan sangat mendesak. Oleh karena itu, menarik untuk menilai sejauh mana penegakan hukum telah dijalankan selama sembilan tahun kepemimpinan Jokowi.

Legislasi Tanpa Partisipasi

Dalam menilai kinerja Presiden, hal pertama yang harus diperhatikan adalah kemampuan dalam pembuatan undang-undang atau penyusunan peraturan. Kebijakan hukum Presiden dalam legislasi menjadi pertanyaan utama. Belakangan ini, terdapat banyak produk hukum yang disusun tanpa partisipasi yang memadai. Contohnya, UU Cipta Kerja, UU KPK, dan beberapa undang-undang lainnya yang mengalami perdebatan panjang di masyarakat dan di Mahkamah Konstitusi karena dianggap kurang melibatkan partisipasi publik.

Kita memahami bahwa dalam prinsip negara demokrasi, partisipasi dalam pembuatan kebijakan hukum adalah hal yang membedakan antara negara demokrasi dan negara otoriter. Dalam politik hukum, selain bekerja secara ideologis (menyesuaikan dengan ideologi negara dan dasar konstitusi), juga diperlukan kerja politis (menyeimbangkan keinginan partai politik), teknokratis (menggunakan ilmu sebagai dasar argumen), dan partisipatif yang merupakan esensi penting. Semakin kuat partisipasi, semakin menunjukkan bahwa demokrasi berfungsi dengan baik.

Pada UU Cipta Kerja, misalnya, bukan partisipasi yang terjadi, melainkan upaya yang tidak demokratis dan minim partisipasi. Tidak ada proses partisipasi yang berarti dilakukan; sebaliknya, Presiden memilih untuk mengeluarkan Perppu yang kemudian disetujui oleh DPR. Hal ini menunjukkan bahwa mengeluarkan Perppu adalah cara Presiden untuk menghindari kewajiban partisipasi yang bermakna (meaningfull participation), sebagaimana diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sekaligus bentuk pembangkangan terhadap konstitusionalitas yang diinginkan oleh MK.

Pembangkangan konstitusional, menurut Louis Michael Seidman (2012), adalah hal yang tidak bisa dibenarkan, baik secara normatif maupun etis. Ketidaktaatan konstitusional oleh pejabat pemerintah dan pembuat undang-undang dapat menimbulkan kekacauan sosial, mengancam kebebasan sipil, dan melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Seringkali, ketidaktaatan konstitusional dilakukan oleh pembuat undang-undang untuk menghindari proses pengambilan keputusan dan pembentukan regulasi yang bersifat prosedural, termasuk prosedur partisipasi. Padahal, partisipasi dan prosedurnya sangat erat kaitannya dengan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Dalam konteks ini, bila membahas tentang aturan dan supremasi hukum, maka hukum dan pembuatan peraturan seolah-olah hanya dikuasai oleh oligarki dan pemegang kepentingan untuk menentukan arah hukum sesuai keinginan mereka. Itulah mengapa partisipasi masyarakat diabaikan dan adopsi kepentingan oligarki menjadi dominan. Hal ini juga menjelaskan mengapa dalam penegakan hukum, ketika rakyat berhadapan dengan negara di hadapan kepentingan modal dan paradigma ekonomi, rakyat selalu kalah, seperti pada kasus Rempang, Wadas, dan lainnya.

Ironisnya, negara justru diberikan perlindungan yang memadai. Dalam UU KUHP, negara, baik Presiden maupun Lembaga Negara, mendapatkan perlindungan yang besar dan kuat, termasuk dalam hal kemungkinan penghinaan terhadap kepala negara dan lembaga negara secara umum.

Kebijakan Hukum

Dalam upaya pemberantasan korupsi, Indonesia mengalami penurunan signifikan. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita mencatat penurunan terbesar sejak era reformasi. Masalahnya tetap sama, yaitu terkait dengan perizinan, bisnis, perpajakan, dan sektor lainnya yang berkaitan dengan kinerja demokrasi serta kelembagaan politik, yang selalu menjadi indikator utama dalam berbagai survei yang membentuk IPK Indonesia. Gambaran Indonesia terlihat suram dalam IPK ini.

Selain itu, kinerja penegakan hukum dan pemberantasan korupsi juga melemah. Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami penurunan, bahkan disebabkan oleh undang-undang yang diciptakan di era pemerintahan Jokowi, dan berlanjut hingga saat ini. KPK lebih sering memunculkan kontroversi daripada prestasi.

Masih dalam ranah penegakan hukum, Polisi masih memiliki tanggung jawab besar dalam menuntaskan kasus-kasus penting yang menjadi lambang pertanyaan komitmen Presiden terhadap penegakan hukum, seperti Kasus Munir atau bahkan insiden penyiraman Novel Baswedan. Selain itu, masih terdapat kewajiban terhadap banyak aktivis yang dijadikan tersangka atas tindakan mereka dalam mendukung penegakan hukum dan anti-korupsi, namun sering kali dibalas dengan tuduhan kriminal. Tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat lokal, termasuk para aktivis lingkungan yang berjuang melawan kegiatan industri, perusahaan, dan pertambangan. Polisi juga terus menerima kritik terkait praktik pungli dan kolusi antara aparat kepolisian untuk kepentingan tertentu. Hal serupa juga terlihat di Kejaksaan, terutama dalam seriusnya menangani kasus-kasus pelanggaran HAM.

Dalam upaya untuk mengatasi kegagalan kebijakan penegakan hukum ini, pemerintah mencoba menanggulangi dengan membentuk tim-tim khusus atau satuan tugas tertentu. Namun, sampai saat ini, efektivitas dan kinerjanya masih jauh dari harapan yang diinginkan. Tentu saja, ada banyak alasan yang menjadi penyebabnya, namun tetap saja timbul pertanyaan besar mengenai hasil konkret yang dapat dicapai dari upaya tim-tim tersebut.

Masalah lain yang menjadi perhatian utama adalah meningkatnya praktik penyalahgunaan kekuasaan kehakiman untuk mendukung kepentingan politik. Politisasi kekuasaan kehakiman semakin terasa kuat. Mahkamah Konstitusi, yang diharapkan dapat menjadi penghalang terhadap intervensi politik yang lebih kuat dari pada hukum, ternyata tidak mampu melakukannya. Sekali lagi, dalam menghadapi tekanan politik, palu hakim terkadang tampaknya terpatah dan melengkung. Gejala ini sering disebut sebagai autokrasi yang dibenarkan melalui mekanisme hukum.

Selain itu, penggunaan hukum untuk menekan atau membatasi kebebasan berpendapat juga menjadi bagian yang menunjukkan kelemahan dalam penegakan hukum belakangan ini. Kasus yang menimpa Hariz dan Fatia, sebagai contoh yang meskipun pada akhirnya Pengadilan dalam putusannya membebaskan kedua Aktivis tersebut, menunjukkan betapa negara memilih untuk menanggapi kritik dari warga negara dalam konteks akademis dengan cara yang dipandang salah.

Tantangan Hukum dan Politik di Tahun Transisi: Ke Mana Arah Reformasi?

Ketika melihat ke masa depan, selain mempertimbangkan kemampuan dan keinginan pemerintahan, faktor penting lainnya adalah tahun politik dan transisi kekuasaan yang melibatkan kontes di tahun 2024. Kedua faktor ini sangat mempengaruhi potensi bagaimana tahun 2024 akan berjalan dengan banyak ketidakpastian.

Keinginan menjadi faktor krusial yang menentukan keberhasilan perubahan; tanpa adanya keinginan, upaya perubahan cenderung gagal. Hal ini melanjutkan kegagalan tahun-tahun sebelumnya yang juga dipengaruhi oleh ketiadaan keinginan. Tidak adanya keinginan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk dinamika politik yang saling mengunci dan menghadirkan ancaman. Hukum hanya akan efektif ketika digunakan sebagai alat untuk memperkuat posisi dan ancaman. Dari sisi kemampuan, harapan untuk perubahan tampaknya semakin sulit terwujud karena pemerintahan praktis terbagi dan terfragmentasi oleh kepentingan elektoral yang dominan. Meskipun tercipta koalisi dan oposisi baru, namun kedua belah pihak ini sulit dianggap sebagai oposisi yang sesungguhnya, karena lebih dipengaruhi oleh kepentingan elektoral yang bisa berubah-ubah mengikuti hasil pemilihan umum, termasuk hasil pilpres putaran pertama dan kedua yang masih menimbulkan bayang-bayang.

Dalam konteks ini, faktor-faktor ini mencerminkan fenomena kartelisasi politik, yaitu ketika kompetisi ideologi yang sejati semakin memudar. Secara sederhana, ini adalah tahun kesembilan di mana tugas-tugas penting belum terlaksana. Mungkin ada kesempatan untuk menyelesaikan sebagian pekerjaan rumah yang tertunda dalam tahun terakhir ini, tetapi mustahil untuk mengatasi semua tantangan yang ada. Hal ini terjadi karena pekerjaan rumah yang tertunda terus menumpuk, sementara keinginan dan kemampuan untuk menyelesaikannya semakin terkikis oleh dinamika politik elektoral. Dengan hanya tersisa beberapa bulan kedepan dan situasi politik yang penuh tantangan, apakah akan ada perubahan signifikan dalam kemampuan menangani pekerjaan rumah yang tertunda ini? Mungkin ada, meskipun terlihat sulit. Hal ini menjadikan pertengahan hingga akhir tahun 2024 diprediksi akan diwarnai oleh ketidakpastian dan tantangan yang mendalam. 

Nazhif Ali MurtadhoPeneliti Pusat Studi Anti Korupsi dan Kebijakan Hukum Pidana (CACCP)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.