Keputusan Kontroversial MA: Batas Usia Calon Kepala Daerah di Pilkada 2024

Gambar ilustrasi pemilu
Sumber :
  • vstory

VIVA – Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah syarat usia calon kepala daerah untuk Pilkada serentak 2024 memicu gelombang kontroversi dan perdebatan di kalangan publik dan politisi. Putusan ini dianggap menguntungkan politikus muda dengan jaringan politik kuat, sementara beberapa pihak menyerukan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak mengikuti keputusan tersebut.

Politik Uang Dapat Merusak Demokrasi

Dalam perubahan terbaru ini, MA menetapkan bahwa calon gubernur dan wakil gubernur harus berusia minimal 30 tahun, sedangkan calon bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota harus berusia minimal 25 tahun pada saat pelantikan. Sebelumnya, usia tersebut dihitung pada saat penetapan sebagai pasangan calon. Perubahan ini membuka peluang besar bagi anak muda dengan afiliasi politik yang kuat, tetapi banyak yang menilai langkah ini tidak menciptakan persaingan yang adil dan merata.

Menurut teori konstitusi, khususnya yang diamanatkan dalam UUD 1945, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." Perubahan syarat usia ini, meskipun bertujuan untuk meningkatkan partisipasi generasi muda, harus tetap berada dalam kerangka hukum yang adil dan tidak diskriminatif.

Calon Anggota KPU-Bawaslu Wajib Tes PCR 2 Kali Sebelum Uji Kelayakan

Menurut teori demokrasi, salah satu prinsip dasar adalah kesetaraan kesempatan bagi semua warga negara untuk berpartisipasi dalam proses politik. Dengan menetapkan syarat usia yang lebih rendah, sebenarnya ada niat baik untuk mendorong partisipasi generasi muda dalam politik. Namun, masalahnya terletak pada konteks penerapan kebijakan ini. Apakah benar kebijakan ini dirancang untuk mendorong partisipasi politik yang lebih luas, atau justru untuk menguntungkan individu-individu tertentu dengan dukungan politik yang kuat?

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Hur Hayati, menyampaikan kritik terhadap putusan ini. Menurutnya, keputusan MA hanya memberi keuntungan bagi kandidat dengan dukungan politik yang kuat, dan tidak menciptakan arena persaingan yang setara. Kritik ini sejalan dengan teori oligarki dalam politik, di mana kekuasaan cenderung terkonsentrasi pada sekelompok kecil elit, sementara mayoritas warga negara tidak memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing.

DPR Gelar Uji Kelayakan Calon Anggota KPU-Bawaslu pada 14-17 Februari

Spekulasi publik pun tidak bisa dihindari. Banyak yang menduga bahwa keputusan ini memang dirancang untuk membuka jalan bagi politikus muda tertentu, seperti Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang belakangan ini sering disorot karena kemungkinan terjun ke dunia politik. Putusan ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai motivasi sebenarnya di balik perubahan syarat usia ini. Harapan kini tertuju pada KPU.

Banyak pengamat politik dan masyarakat berharap KPU tidak menindaklanjuti putusan MA yang bertentangan dengan UU Pilkada. Masyarakat menghimbau agar KPU tidak mengulang kesalahan yang sama seperti pada Pemilu 2024, di mana KPU akhirnya mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perubahan syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden. Menurutnya, KPU harus berdiri teguh dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi.

Dari sudut pandang teori keadilan politik, perubahan kebijakan seperti ini harus memastikan bahwa semua calon memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi. Jika perubahan kebijakan justru menciptakan ketidakadilan baru, maka kebijakan tersebut harus dikaji ulang dan disesuaikan agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Putusan MA ini tidak hanya mengundang kritik dan spekulasi, tetapi juga memicu diskusi luas tentang masa depan politik Indonesia. Di satu sisi, perubahan ini dapat dianggap sebagai langkah untuk mendorong partisipasi politik generasi muda. Namun di sisi lain, tanpa aturan yang adil dan transparan, hal ini dapat memperdalam kesenjangan dalam kontestasi politik dan memperkuat dinasti politik.

Kritik terhadap putusan MA menunjukkan betapa pentingnya menjaga integritas proses pemilihan. Kebijakan yang adil dan setara adalah kunci untuk memastikan bahwa semua calon memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi. Dalam konteks ini, KPU memegang peran penting untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil tidak hanya legal tetapi juga etis dan berlandaskan prinsip keadilan. Keputusan MA ini perlu dilihat dari dua sisi: sebagai upaya untuk mendorong partisipasi politik generasi muda dan sebagai potensi alat politik untuk mendukung kepentingan tertentu. Oleh karena itu, sangat penting bagi KPU untuk mempertimbangkan semua aspek dan menjaga keseimbangan antara dorongan partisipasi politik dan prinsip keadilan demokratis.

Furqan Jurdi Pegiat Hukum (dok.pribadi)

Relasi Kuasa, Sex, dan Abuse of Power di KPU

Tindakan demikian menciderai asas yang paling mendasar dalam pemilu, yaitu pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia jujur dan adil.

img_title
VIVA.co.id
27 Desember 2022
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.