Kontroversi Filsafat, Dia Alat Bukan Tujuan
- vstory
VIVA - Filsafat kerap dibayangkan dengan kerumitan, konyol, bertele-tele, bahkan menyesatkan. Sebagian orang menyangka dunia filsafat begitu menakutkan, terlepas dari minimnya pengetahuan mereka tentang filsafat. Untungnya di Indonesia belakangan muncul ke permukaan beberapa tokoh yang berbicara seputar filsafat meluruskan kekeliruan ini. Namun itu tidak cukup mengingat filsafat terlanjur negatif dalam stigma masyarakat lebih parah lagi beredarnya anggapan filsafat adalah haram.
Filsafat merupakan satu displin ilmu yang dipelajari hampir di setiap kampus di semua jurusan. Baik yang dipelajari itu filsafat umum, filsafat praktis, filsafat politik, filsafat agama, dan mungkin ilmu-ilmu yang lahir dari perkembangan filsafat seperti ilmu mantiq atau logika, dan retorika. Dipelajarinya filsafat di setiap jurusan bertujuan menciptakan mahasiswa yang kritis, sistematis, universal, dan radikal dalam berpikir. Dengan begitu akan lahir generasi yang memiliki daya kualitas mumpuni di bidangnya. Akan tetapi sayangnya filsafat masih tabu di pandangan umum.
Tidak ayal jika Anda membaca buku atau mendengar orang-orang membahas khazanah pemikiran filsafat anda tergemap. Pemikiran yang berani dan tidak terduga menabrak keyakinan masyarakat.
Bagaimana tidak terkejut bila ada filosof mengatakan "Tuhan telah mati" misalnya, ungkapan dari Nietzsche ini pastinya menimbulkan kontradiksi. Atau ungkapan Karl Marx "Agama adalah candu" dan ungkapan David Hume "Keyakinan agama adalah omong kosong". Atau kajian filsafat politik ada pernyataan yang berbunyi "Manusia adalah pemangsa yang handal" ungkapan dari Thomas Hobbes.
Contoh di atas merupakan hasil produk filsafat. Sekilas pernyataan ini irasional bahkan sangat berbahaya karena bisa memicu pertentangan yang berujung pada kekacauan. Tetapi esensi filsafat bukanlah terletak pada hasil pemikiran filosof. Ada hal mendasar sering terlupakan oleh masyarakat tentang filsafat, yaitu penegasan pada penggunaan akal budi manusia. Akan kita bahas maksdunya dalam tulisan ini.
Apabila dicermati kekeliruan pemahaman terhadap filsafat berawal dari beberapa sebab, di ataranya :
1. Sikap kritis, radikal, dan sistematis
Para filosof akan selalu mempertanyakan dan mengkaji ulang apa yang telah melekat pada mayoritas orang. Sebenarnya filosof juga manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan, namun banyak orang tidak bisa menolelir yang mereka anggap kesalahan dan menggeneralisir pandangan dengan menyatakan bahwa filsafaf adalah bidang kajian sesat. Padahal jika melihat mental seorang filosof, dapat dikatakan bahwa pasti para filosof akan bersedia atau mungkin gembira jika kemudian terjadi dialog yang sehat dan penelusuran sistematis terkait pemikiran-pemjkiran mereka. Dengan begitu, maka akan bisa diperoleh maksud sebenarnya dari pandangan "melenceng" para filosof tersebut.
2. Konteks Kehidupan
Siapa pun baik orang biasa, pejabat pemerintahan maupun filosof pada dasarnya adalah anak zaman mereka masing-masing. Dimensi sosial, psikologis, dan historis akan sangat mempengaruhi pola pikir seseorang. Cara seseorang bertindak, bertutur atau berkomentar banyak dipengaruhi oleh konteks kehidupannya.
Seumpama perkataan Karl Marx di awal, ia hidup dalam masa kapitalisme menjamur di mana-mana. Terjadi kesenjangan ekstrem antara si kaya dan si miskin. Bagi Karl Marx itu terjadi disebabkan salah satunya karena keyakinan orang miskin kepada agama secara berlebihan sehingga mereka tidak menyadari posisinya sebagai orang miskin, dan menganggap agama sudah cukup sebagai obat dari kesengsaraan. Dari fenomena itu maka muncullah teori marxisme dan ungkapan agama adalah candu masyarakat.
3. Keragaman perspektif
Keragaman perspektif dapat dianggap penyebab utama kekeliruan melihat filsafat sebagai kesesatan. Sangat terburu-buru jika seseorang berkata demikian. Setiap manusia punya perangkat masing-masing menyimpulkan persoalan. Bagi orang berpola pikir hitam-putih (benar-salah) bisa sangat berbeda dengan orang yang cara berpikirnya abu-abu (pluralis).
Kita ambil contoh keragaman perspektif yang dapat menentukan kesimpulan yang berbeda. Jika Anda melihat seorang gadis cantik dari belakang maka akan terlihat rambutnya. Apabila fokus Anda kepada warna rambutnya yang hitam maka panjang pendek rambut si cewek tidak lagi masuk pembahasan.
Hal sama juga terjadi pada segala hal, tergantung fokus dan dari mana ke mana Anda melihat persoalan. Oleh karena itu sangat mungkin kiranya ketika orang-orang menuding filsafat bidang kajian menyeleweng atau sesat sebenarnya yang terjadi hanyalah perbedaan dalam hal ini.
Pada akhirnya keterangan di atas diharapkan membawa pada kejelasan antara filsafat sebagai produk dan filsafat sebagai alat. Fakhruddin Faiz menegaskan dalam bukunya Sebelum Filsafat hakikat filsafat hanyalah sebuah alat (cara berpikir) bukan sebagai tujuan.
Jika filsafat diibaratkan pisau maka dengan pisau yang sama seseorang bisa memotong kue atau lebih bahaya membunuh orang. Dengan filsafat bisa mengantarkan kepada kebijaksanaan hidup. Di mana dan kapanpun setiap kali manusia mengambil keputusan secara tidak langsung ia telah berfilsafat.
Akal budi manusia akan terus mengalami rekonstruksi seiring perkembangan zaman. Terobosan-terobosan ide cemerlang yang mengubah dunia dari abad klasik hingga abad teknologi informasi kini adalah hasil keistimewaan filsafat sebagai alat berpikir. Oleh karena itu sudah seyogyanya stigma negatif terhadap filsafat mulai dari sekarang disingkirkan jauh-jauh.