Fenomena Fast Fashion dalam Kalangan Gen Z Akibat Kurangnya Self Esteem
- vstory
VIVA – Kapitalisme industri yang muncul menjadi landasan bagi perkembangan fashion sebagai bagian dari strategi pemasaran kapitalis. Wilson (1985) dan Faurschou (1988) sepakat dengan hal ini. Awalnya, kapitalisme industri memperkenalkan berbagai jenis komoditas yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia tanpa mengubah gaya hidup seseorang secara signifikan.
Namun, dengan adanya perkembangan media informasi dan dukungan dari kapitalisme global, fashion kemudian menjadi alat yang sepenuhnya dikendalikan oleh strategi sosial kelas (Baudrillard, 1981), dan menjadi cara bagi kapitalisme untuk memperkuat ketimpangan budaya serta diskriminasi sosial yang sebelumnya dialami oleh kelompok masyarakat feodal (Barnard, 1996).
Dengan adanya inovasi dalam produksi dan perubahan positif dalam penilaian terhadap barang-barang, terutama yang mengikuti tren yang terus berkembang, terlihat adanya pertumbuhan imajinasi sebagai dimensi tambahan dari budaya konsumen. Puncaknya adalah munculnya budaya masyarakat perkotaan yang fokus pada pemasaran fashion (McKendrick: 1983, Brewer dan Porter: 1992).
Awalnya, fenomena Fast Fashion dianggap sebagai model bisnis yang inovatif dengan manajemen rantai pasokan yang efektif dan efisien. Model ini melibatkan jaringan produksi dan distribusi yang terkoordinasi dengan baik. Namun, kemudian muncul kekhawatiran tentang praktik yang menyimpang dalam bisnis Fast Fashion, yang melanggar sejumlah kode etik, termasuk isu-isu perburuhan dan lingkungan. Hal ini mendorong munculnya gerakan Slow Fashion sebagai alternatif solusi, yang akan dibahas secara komprehensif. Berbagai macam trend yang coba Dalam era digital yang cepat berubah dan konsumsi yang meningkat, industri fashion telah menjadi salah satu sektor yang paling terpengaruh. Terutama di kalangan Generasi Z (Gen Z), tren mode yang cepat dan mudah diakses telah menciptakan fenomena yang dikenal sebagai "fast fashion".
Namun, di balik kilau glamor dan kemudahan ini, terselip dampak yang lebih dalam, terutama dalam hal kepercayaan diri atau self esteem. Kultur Konsumsi Masa Kini Fast fashion, dengan model bisnis yang didasarkan pada produksi massal dan siklus mode yang cepat, telah menciptakan kultur konsumsi yang lebih cepat dari sebelumnya. Gen Z, yang merupakan pengguna utama media sosial dan terhubung dengan dunia mode secara konstan, sering kali merasa tertarik untuk mengikuti tren terbaru, terutama yang dipromosikan oleh selebriti atau influencer.
Namun, di balik tekanan untuk terlihat modis dan mengikuti tren, terdapat dampak psikologis yang tidak terlihat secara langsung. Banyak dari Gen Z merasa terjebak dalam perbandingan sosial dan merasa tidak cukup atau tidak layak jika tidak dapat mengikuti tren terbaru. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan self esteem yang signifikan, meningkatkan kecemasan sosial, dan bahkan memicu masalah kesehatan mental seperti depresi dan gangguan makan.
Tantangan Menjaga Keseimbangan Menyadari pentingnya membangun self esteem yang sehat di era fast fashion, tantangannya semakin besar. Gen Z harus belajar untuk menemukan keseimbangan antara mengekspresikan diri melalui fashion tanpa terjebak dalam tekanan untuk selalu membeli barang baru atau mengikuti tren terbaru. Ini melibatkan kesadaran akan nilai diri yang tidak bergantung pada penampilan atau kepemilikan materi. Solusi yang Mungkin Untuk mengatasi dampak negatif dari fenomena fast fashion, ada beberapa langkah yang dapat diambil. Pertama-tama, penting bagi individu untuk membangun kepercayaan diri yang berdasarkan pada nilai-nilai internal dan pencapaian pribadi, bukan hanya penampilan fisik atau kepemilikan materi. Selain itu, pendidikan tentang dampak lingkungan dan sosial dari industri fashion dapat membantu meningkatkan kesadaran akan konsekuensi dari pola konsumsi yang tidak berkelanjutan.
Mengurangi kontribusi terhadap fast fashion bisa dilakukan dengan mengikuti beberapa saran berikut:
1. Pertimbangkan Sebelum Membeli: Sebelum membeli item pakaian baru, pikirkan apakah Anda benar-benar membutuhkannya. Pastikan item tersebut akan sering dipakai dan sesuai dengan gaya Anda.
2. Pilih Kualitas Lebih dari Kuantitas: Sebaiknya beli pakaian berkualitas yang tahan lama daripada banyak pakaian murah yang cepat rusak. Cari merek yang menggunakan bahan berkualitas tinggi dan memiliki proses produksi yang bertanggung jawab.
3. Prioritaskan Pakaian Secondhand: Belanja di toko barang bekas atau melalui platform online untuk pakaian bekas bisa menjadi pilihan yang baik. Ini membantu memperpanjang siklus hidup pakaian dan mengurangi limbah tekstil.
4. Pilih Gaya yang Bertahan Lama: Lebih baik memilih gaya busana yang klasik dan timeless daripada mengikuti tren mode yang cepat berubah. Hal ini memungkinkan Anda tetap modis tanpa harus terus-menerus membeli pakaian baru.
5. Perbaiki dan Modifikasi: Jika ada pakaian yang rusak, lebih baik memperbaikinya daripada membuangnya. Anda juga bisa mencoba untuk memodifikasi atau mengubah pakaian yang sudah ada agar sesuai dengan gaya baru Anda.
6. Dukung Gerakan Slow Fashion: Dukung merek-merek dan inisiatif yang berkomitmen untuk memproduksi pakaian secara berkelanjutan dan etis.
7. Pilih merek yang menggunakan bahan ramah lingkungan dan praktik produksi yang adil.
8. Rencanakan Gaya Pakaian Anda: Rencanakan dan kembangkan gaya pakaian Anda dengan baik agar tidak tergoda untuk terus-menerus membeli pakaian baru. Cobalah untuk membuat kombinasi pakaian yang berbeda dari yang Anda miliki untuk menciptakan tampilan yang segar.
9. Tingkatkan Kesadaran Konsumen: Pelajari lebih lanjut tentang dampak fast fashion terhadap lingkungan dan masyarakat serta cara-cara untuk mengurangi kontribusi Anda terhadapnya. Dengan meningkatkan kesadaran Anda, Anda dapat membuat pilihan konsumen yang lebih bijaksana dan berkelanjutan.
Kesimpulan Fenomena fast fashion telah menciptakan budaya konsumsi yang cepat dan seringkali merugikan, terutama bagi Gen Z yang rentan terhadap tekanan sosial. Kurangnya self esteem yang timbul dari perbandingan sosial dan kebutuhan untuk terus mengikuti tren dapat memiliki dampak jangka panjang yang serius pada kesejahteraan mental dan emosional individu. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempromosikan kesadaran akan pentingnya self esteem yang sehat dan mengembangkan kultur konsumsi yang lebih bertanggung jawab di masa depan.
Selain itu juga fenomena fast fashion telah memberikan dampak yang signifikan terhadap Generasi Z yang mengalami kurangnya rasa percaya diri. Tekanan untuk mengikuti tren mode yang cepat berubah dan citra tubuh yang tidak realistis yang dipromosikan oleh industri fast fashion dapat menyebabkan perbandingan diri yang tidak sehat dan menurunkan rasa percaya diri. Selain itu, ketergantungan pada penerimaan dari luar dan kebutuhan untuk terus membeli pakaian baru sebagai cara untuk mencari validasi juga dapat mempengaruhi rasa percaya diri Generasi Z.
Pentingnya kesadaran akan dampak negatif fast fashion terhadap kesehatan mental dan emosional Generasi Z menjadi kunci dalam menangani masalah ini. Edukasi tentang pentingnya self-esteem yang sehat dan penekanan pada nilai-nilai diri yang tidak bergantung pada penampilan fisik atau kepemilikan barang-barang materi dapat membantu mengurangi dampak negatif fast fashion. Selain itu, mendukung gerakan slow fashion dan mempromosikan penerimaan diri yang positif di antara Generasi Z juga dapat membantu memperkuat rasa percaya diri mereka. Dengan demikian, perlu adanya upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk keluarga, pendidik, dan masyarakat secara keseluruhan, untuk membantu Generasi Z mengatasi dampak kurangnya self-esteem yang disebabkan oleh fenomena fast fashion.