- Dok. Istimewa
VIVA – Sebenarnya, benar dan merasa benar, itu bedanya bak langit dan bumi. Tapi, dalam kehidupan sosial sehari-hari, sepintas kilas tak mudah membedakannya. Terutama bila dikaitkan dengan fakta perilaku sosial yang menjadi trend, “berbuat jujur di balik KETIDAK JUJURAN”, sekilas kelihatannya jujur tapi faktanya tidak jujur.
Begitulah fenomena sosial hari ini. Kejanggalannya menonjol, tapi kenaifannya luput dari perhatian .
Demikian juga halnya dengan soal benar dan merasa benar. Jika benar itu sebuah fakta obyektif yang teruji, lewat proses yang terpuji, maka merasa benar itu, cenderung hidup dengan mengandalkan fakta imajiner yang berbasis subyektif. Merasa benar cenderung pada perbuatan mencari kebenaran menurut versi sendiri lewat metode jadi-jadian.
Ungkapan ini bukan lantas hendak mengatakan bahwa orang yang merasa benar itu tak ada benernya.
Atau sebaliknya orang yang benar itu tak ada salahnya, bukan begitu alur ceritanya.
Benar, tak selamanya 100 persen, merasa benar juga tak selamanya salah 100 persen. Tergantung pada kontekstualitas dan proses pengujian faktualnya.
Memang membahas urusan benar dan merasa benar tidaklah sederhana. Terutama karena penerapannya
masih kaya dengan seribu satu tameng. Terkadang tamengnya saja sudah bikin kita susah melihat dengan kasat mata.
Tidak usah jauh jauh, mari lihat dalam kehidupan sehari - hari. Dulu, dengan kasat mata, kita masih gampang membedakan mana yang jujur, mana yang culas... Dua hal yang bedanya memang bak langit dan bumi. Tapi sekarang? Tak semudah itu lagi membedakannya. Kenapa? Lantaran banyaknya orang yang berusaha “berbuat jujur di balik KETIDAK JUJURANNYA. Lha, ini kan absurd!
Balik ke soal benar dan merasa benar tadi.
Jika secara kontekstual dan faktual sebuah pemikiran sudah teruji kesesuaian dan ketepatannya, secara obyektif, bebas dari unsur-unsur kepentingan subyektif, maka ia bisa disebut benar.
Namun begitu, benar pun ragamnya bervariasi. Ada kebenaran mutlak, ada yang tergolong banyak benarnya, ada kebenaran yang fifty fifty dan seterusnya sampai ke yang ada benarnya tapi sedikit, juga ada.
Pun dengan merasa benar. Meskipun disebut berbasis subyektif, merasa benar tak melulu naif dan tak benar. Kembali dan terpulang pada intelektualitasnya, dan pengujian faktual yang bebas dari kepentingan subyektif.
Sebab tak sedikit juga pihak yang disalah-salahkan padahal dia tidak seperti apa yang diungkapkan orang. Di sini merasa benar merupakan ungkapan altruistiknya. Ungkapan jujur benarnya.
Karena dia haqul yakin bahwa proses yang dijalankan sudah sesuai kaidah, dan sesuai syariatnya. Tidak sebagaimana yang dituduhkan orang. Juga tidak Sebagaimana tudingan orang yang berbasis rekayasa imajiner. Termasuk jika orang yang menuduhnya sampai menggunakan dalih manipulatif, dalih keyakinan orang banyak -- yang termakan isu.
Maka dalam keadaan seperti ini, merasa benar adalah sikap yang benar.
Namun demikian, sebagaimana dengan konsep benar. Konsepsi merasa benar juga beragam variannya. Ada yang merasa benar dengan jujur secara apa adanya, ada juga yang merasa benar secara ada apanya. Andai ia merasa benar dengan jujur secara apa adanya, kontektualistas dan faktanya jelas, maka ia sebenernya termasuk pihak yang merasa benar dengan benar.
Tapi sebaliknya, jika andalannya merasa benar hanya berbasis akal akalan, bulus bulusan, maka ia sesungguhnya termasuk kalangan pendusta.
Kalangan yang memanipulasi kebenaran sedemikian rupa, mengkoyak segala rupa, sehingga merusak kebenaran orang lain. Demi sikap merasa benarnya.
Orang yang mengandalkan sikap merasa benar, pasti akan terjebak oleh rekayasa rekayasa kebenarannya sendiri.
Persoalannnya, mudahkah membedakan orang benar dengan orang yang merasa benar?
Di situ masalahnya. Tak mudah! Kalau saja perbedaaan antara benar dan merasa benar ini, masih kelihatan jenjang jaraknya, maka ia akan gampang diidentifikasikan. Gampang ditebak. Tapi bagaimana jika kejelian bermanipulasi sudah menggunakan rekayasa ilmiah? Memanfaatkan psikologi masa dan menggunakan cover -cover kebenaran?
Tak mudah! Membedakan yang benar dan merasa benar, bak mencari semut hitam, berjalan di batu hitam saat gelap gulita malam.
Tapi percayalah, Sifat benar selalu memberi bukti, sementara yang merasa benar, pasti terbukti!
Saatnya kita jujur pada gerakan kebenaran. Jujur pada hati nurani. Jangan jujur pada gerakan anti kebenaran, seperti orang-orang yang berpura-pura jujur di balik ketidak jujurannya. Naudzhubilllah. (Idrus Marham, Politisi Golkar)