Idrus Marham: Syak Wasangka
- Istimewa
VIVA - Keumumannya, tak seorang pun bisa menghindar dari syak wasangka. Siapa sih yang bisa luput dari pikiran jelek orang lain? Jangankan kita, Baginda Rasulullah yang Maksum pun, masih ada saja yang mensyak wasangkakannya.
Secara harfiah, syak wasangka berarti kecurigaan. Tapi kalau kita telusuri lebih jauh lagi dengan mengedepankan pertanyaan lanjutan, kecurigaan terhadap apa dan siapa? Maka jalan ceritanya akan panjang sekali.
Sebab siapa pun bisa terlibat dan dilibatkan dalam ruang syak wasangka, tanpa kecuali. Sebagaimana juga apa saja bisa dipotret dengan kamera syak wasangka.
Namun begitu, sejauh literatur tentang syak wasangka yang saya baca, tak seorang pun memberi bobot positif pada sikap syak wasangka ini. Baik itu syak wasangka perorangan apalagi yang terkategori masif.
Jika ditilik dari sisi agama, bersyak wasangka jelas dilarang. Iya cenderung disebut penyakit hati, masuk dalam keluarga besar sifat suudzon.
Al Qur'an, surat Al-Hujurat ayat 12, tegas tegas menyatakan "Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu sekalian yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang."(QS. Al-Hujurat: 12).
Tegas, gamblang dan keras.
Baginda Rasulullah SAW tegas tegas juga sikapnya terhadap syak wasangka atau suudzhon. Sebagaimana sabdanya , "Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta" (HR. Al-Bukhari).
Sebegitu jelas dan tegasnya hukum bersyak wasangka.
Pertanyaan mengherankannya, mengapa syak wasangka tetap saja populer di masyarakat?
Tentu banyak alasannya. Di antaranya karena syak wasangka adalah penilaian yang gampang cair. Syak wasangka, biasanya lahir dengan mengedepankan kasus kasus yang cenderung bersinggungan dengan "logika rasa" dari banyak orang. Seperti kekhawatiran yang besar cenderung mencaplok yang kecil, kuat menindas yang lemah, dan seterusnya. Merembet sampai ke ruang rasa dizalimi, dicurangi, dan seterusnya. Akibatnya, tanpa disadari, Syak wasangka cenderung berubah bentuk menjadi logika pelarian atas sebuah ketidakberdayaan.
Makanya, orang yang sedang tak berdaya cenderung gampang terpengaruh syak wasangka. Dan bahkan, itu bisa jadi upaya untuk memberi pembenaran atas ketidakberdayaannya.
Parahnya sikap begini ini gampang menjadi sikap kolektif dan membuat syak wasangka mudah menjadi kompleksitas sosial.
Secara teoritis, Syak wasangka sebenernya memang hanya ruang subyektif. Tapi daya tularnya bisa menggelinding bak bola salju. Menyebar ke hampir semua lini kehidupan, maka jangan terkejut jika syak wasangka begitu bertaburan di ruang sejarah, ruang perekonomian, sosial budaya, agama, apalagi politik.
Ilustrasinya, bisa kita lihat dari fenomena yang muncul akhir-akhir ini, dimana kontestasi politik pilpres yang semestinya ada di ruang kebangsaan, begitu gampangnya dipelintir menjadi kontestasi individual semata.
Gambaran syak wasangka begini, bukan semata beredar di obrolan "warung Kopi"... Di literatur ilmiah juga ada.
Adalah Richard Hofstadter, yang pernah mengemukakan urusan berkembangnya "syak wasangka politik" atau yang disemiripkan dengan "political paranoia" dalam dunia politik.
Dalam kitabnya yang berjudul "The Paranoid Style in American Politics" terbit tahun 1964, Hofstadter membahas urusan syak wasangka dan paranoid dalam politik Amerika. Iya mengulas bagaimana syak wasangka yang tumbuh dan berkembang di dunia politik menjadi kerikil tajam. Karenanya menurut penilaiannya, syak wasangka potensial memakmurkan permusuhan. Syak wasangka juga potensial membesar besarkan pepesan kosong, atau merekayasa hayalan tentang adanya, konspirasi besar yang bertujuan menghancurkan nilai-nilai atau institusi yang dianggap penting.
Rentetan sosialnya, syak wasangka di ruang politik, kemudian bisa berimplikasi pada berlangsungnya character assassination di satu sisi, sementara sisi lainnya, memfasilitasi lahirnya pahlawan dadakan.
Buruknya lagi, syak wasangka punya daya retas yang dahsyat. Ia mudah menyebar dan diyakini. Sampai-sampai orang-orang yang menciptakan prasangka pun yakin kalau prasangka imaginernya adalah kebenaran obyektif...
Pada skala-skala kecil, syak wasangka adalah bumbu sosial yang biasa dan bisa dilakukan oleh orang orang biasa.
Tapi urusan bisa menjadi tidak biasa jika yang berprasangka itu bukan kumpulan orang orang biasa. Apalagi jika prasangka itu berkait dengan wilayah atau ruang sensitif.
Jangan nggak percaya, jika banyak sekali musibah besar yang terjadi hanya lantaran syak wasangka dibiarkan merajalela.
Sekadar contoh saja, perang saudara antara suku Hutu dan Tutsi di Rwanda yang menggasak lebih dari 20 persen nyawa warga negaranya berawal dari syak wasangka.
Alhasil, tidak berlebihan jika syak wasangka dijuluki bola liar yang sadis.
Tulisan ini hanya sekedar mengajak kita semua untuk sama sama meningkatkan kepekaan terhadap efek bola salju dari syak wasangka.
Apalagi ini habis pemilu, habis hajat besar yang didalamnya ada kontestasi besar. Semua harus sadar diri. Yang menang jangan sampai lupa diri, mabuk kemenangan, sehingga memancing syak wasangka. Dan yang kalah jangan sampai larut dalam jeratan syak wasangka sehingga tanpa sadar mengalirkan segala pikiran jernihnya ke arus syak wasangka.
Tanda tanda ke arah sana sudah lumayan kentara.
Bukankah syak wasangka terhadap Quick count, kini sudah merembet kemana mana? Bukankah banyak yang tergoda membaca Hasil pemilu berdasarkan syak wasangka? Hatta silaturahmi antara Presiden dan Surya Paloh pun dipandang syak wasangka.
Yang saya risaukan, jangan sampai sehabis pilpres dan pileg, kita justru disandera oleh syak wasangka di sana sini. Apalagi kalau sampai mendominasi alam pikiran anak bangsa?
Mau jadi apa kita?
Naudzubillah…!
(Artikel Opini ini ditulis oleh Idrus Marham, Politisi Golkar)