Ketika Inflasi Beras Menjadi Waswas

Sumber: Freepik.com
Sumber :
  • vstory

VIVA - Di Indonesia, harga beras makanan pokok telah melonjak dalam beberapa waktu terakhir. Diperkirakan bahwa gangguan panen padi di beberapa daerah di Indonesia disebabkan oleh anomali cuaca.

Menurut BMKG dan beberapa Pusat Iklim Dunia, El Niño akan tetap pada level moderat hingga Desember 2023, Januari 2024, dan Februari 2024. Jauh hari sebelum ini, negara-negara di dunia telah menyepakati dan senafas tentang perjuangan mengatasi perubahan iklim. Perjuangan tersebut didokumentasikan pada tujuh belas Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau yang dalam bahasa internasionalnya dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDG’s). Tercantum pada dokumen Sustainable Development Goals (SDG’s) tepatnya pada goal ke-13, ‘Penanganan Perubahan Iklim’.

Indonesia menerima penghargaan HUT Proklamasi 2022 dari International Rice Research Institute (IRRI) setahun sebelumnya, tepat di bulan kemerdekaan. Indonesia dinilai mampu untuk menyandang status swasembada saat itu karena beberapa tahun berturut-turut bisa memenuhi kebutuhan domestik tanpa impor. Penghargaan ini seyogyanya dapat dimaknai dengan suatu harapan bahwa tidak ada lagi kondisi kelaparan (zero hunger) sebagaimana tercantum dalam goal kedua dalam SDG’s.

Badan Pusat Statistik telah merilis angka sementara produksi padi nasional tahun 2023 diperkirakan sekitar 30,90 juta ton, mengalami penurunan sebanyak 645,09 ribu ton atau 2,05 persen dibandingkan produksi beras di 2022 yang sebesar 31,54 juta ton.

Penurunan ini disebabkan total luas panen padi pada 2023 diperkirakan sebesar 10,20 juta hektare atau mengalami penurunan sekitar 255,79 ribu hektare (2,45 persen) dibandingkan luas panen padi pada 2022 yang sebesar 10,45 juta hektare.

Adapun istilah diversifikasi pangan yang saat ini digadang-gadang bisa menjadi alternatif solusi bagi ketahanan pangan, tampaknya masih memerlukan waktu untuk berproses. Hal ini bisa dikaji berdasarkan teori supply dan demand sederhana. Apabila suatu barang permintaannya tinggi sedangkan penawaran di pasar mengalami penurunan, maka akan terjadi kenaikan harga. Demikianlah yang terjadi pada komoditas beras saat ini.

Permintaan terhadap beras masih tinggi meskipun harganya naik. Mau tidak mau, masyarakat harus rela merogoh kocek lebih dalam apabila ingin menikmati sepiring nasi dengan volume yang sama dengan ketika harga beras belum menanjak ke atas.

Kenaikan harga beras di tingkat konsumen ini diterjemahkan ke dalam angka inflasi. Inflasi teranyar yang dirilis oleh BPS periode Oktober 2023 mencapai 2,56 persen secara year on year. Sekilas angka ini mengindikasikan suatu kondisi perkembangan harga yang relatif aman terkendali.

Kesaksian Tetangga Mengungkap Fakta Mengejutkan tentang Pernikahan Nissa Sabyan dan Ayus

Namun apabila ditelusuri ke dalam kelompok-kelompok komoditasnya, dapat dilihat bahwa terdapat kelompok komoditas yang besaran inflasinya di atas ambang batas inflasi 3 plus minus 1 persen. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau pada Oktober 2023 mengalami inflasi mencapai 5,41 persen secara year on year. Komoditas yang memberikan andil terbesar pada kelompok ini adalah beras.

Inflasi beras pada Oktober 2023 terjadi di 87 kota dari 90 kota se Indonesia yang diikutkan pada pencatatan penghitungan inflasi. Alarm inflasi beras juga telah menyala pada bulan sebelumnya.

Sinopsis Noryang: Deadly Sea, Film Korea yang Dibuat Berdasarkan Peristiwa Sejarah Nyata ‘Pertempuran Noryang’

Inflasi September 2023 secara umum berada di angka 2,28 persen. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau juga merupakan kelompok dengan inflasi tertinggi di September, mencapai 4,17 persen. Lagi-lagi beras juga merupakan komoditas yang memberikan andil terbesar. Kenaikan harga beras menjadi ancaman naiknya angka kemiskinan kembali ke dua digit.

Beras memberikan andil terbesar dalam garis kemiskinan kelompok makanan. Angka kemiskinan terakhir yang dirilis oleh BPS untuk periode Maret 2023 mencapai 9,36 persen, menurun dibandingkan periode Maret 2022 yang mencapai 9,54 persen. Sedikit kilas balik ke tahun pandemi, angka kemiskinan pernah menyentuh dobel digit, yaitu pada periode September 2020 dan Maret 2021 yang masing-masing mencapai 10,19 persen dan 10,14 persen.

Cuma Pakai Nama Indonesia, Mobil Listrik Altera Buatan China

Sebagai informasi, bangsa Indonesia telah berhasil melepas kemiskinan dobel digit di tahun 2018. Prestasi ini mendapat hantaman pandemi Covid-19 yang tidak hanya merontokkan derajat kesehatan masyarakat, namun secara ekonomi juga terdampak mengalami penurunan.

Formulasi garis kemiskinan berbanding lurus dengan inflasi. Semakin tinggi inflasi, semakin tinggi juga garis kemiskinan yang artinya dapat meningkatkan persentase penduduk miskin apabila daya beli masyarakat diasumsikan konstan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa peningkatan harga beras tidak serta merta ditransmisikan menjadi pendapatan petani yang juga mengalami peningkatan.

Indonesia tidak sendirian mengalami lonjakan harga beras. Dalam World Economy Outlook (WEO) yang dikeluarkan oleh IMF, prediksi inflasi dunia dikoreksi ke atas menjadi 6,9 persen (prediksi sebelumnya 6,8 persen). Salah satu penyebab koreksi prediksi ini adalah karena kenaikan harga beras di pasar global. Bank Dunia merilis harga beras Thailand mencapai 620 dolar AS/mt pada bulan September 2023 dan membawa grafiknya menanjak ke atas sejak awal tahun.

Meningkatkan produksi pertanian adalah hal yang harus dilakukan untuk menjamin kestabilan antara supply dan demand. Penduduk yang terus bertambah menuntut pemenuhan pangan yang juga meningkat. Tahun 2023 laju pertumbuhan penduduk Indonesia positif 1,13 persen.

Di sisi lain, penelitian menunjukkan bahwa penyumbang emisi karbon terbesar adalah sektor pertanian. Ironisme ini harus dicarikan solusinya agar ekonomi dapat terus tumbuh untuk menjaga daya beli masyarakat.

Di samping itu, isu lingkungan juga harus dijawab dengan merealisasikan ekonomi hijau. Salah satu alternatif solusi yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan mempelajari dan mempraktikkan produksi beras rendah karbon. Beras rendah karbon dapat meningkatkan produktivitas pertanian namun juga mampu menjaga hijaunya lingkungan dengan mengurangi polusi air dan menjaga kesehatan tanah.

Transformasi ke beras rendah karbon harus dilakukan mengingat kondisi lingkungan saat ini sudah sangat terpapar emisi karbon, yang mana emisi karbon ini pada gilirannya akan mengganggu produksi pertanian itu sendiri. Looping ini bisa diputus rantainya dengan mengaplikasikan penggunaan beras rendah karbon.

Transformasi ini tentunya harus dinahkodai oleh pemerintah yang menjadi role model bagi masyarakat. Evidence based policy bisa dilihat dari transisi beras rendah karbon yang telah dilakukan di Vietnam dengan pendanaan dari Bank Dunia.

Namun, Bank Dunia mengingatkan bahwa, jika negara menunda transformasi ini, pembiayaan ini akan menjadi lebih besar lagi. Untuk menghasilkan hasil statistik yang positif saat ini, sangat penting bagi semua pihak yang terlibat dalam rantai pasokan dan pemasaran beras untuk bekerja sama.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.