Seriuskah Sekolah Menangani Kekerasan?

Ilustrasi Anak Sekolah
Sumber :
  • ist

VIVA – Akhir-akhir ini kasus perundungan kembali marak di dunia pendidikan, entah di kampus maupun di sekolah, fenomena bullying seakan sudah menjadi kegiatan normal karena tidak ada penanganan serius dari pihak-pihak terkait.

Menteri Kebudayaan Isyaratkan Pelajaran Sejarah Kembali Diwajibkan di Sekolah

Kasus terparah dialami seorang siswi di Gresik pada Agustus lalu, ia mengalami kekerasan yang dilakukan oleh kakak kelasnya dengan dicolok matanya hingga mengalami perawatan.

Menurut berbagai keterangan, korban mengalami kekerasan akibat tidak memberikan uang kepada kakak kelasnya yang memaksa kepada dirinya, sehingga siswi tersebut dicolok dengan tusuk bakso dari bawah ke atas hingga matanya berdarah.

Usulan Tugu Anti-Kekerasan di Bangkalan: DPR RI Dorong Simbol Perdamaian di Madura

Keluarga korban sempat meminta rekaman CCTV kepada sekolah, namun kabarnya pihak sekolah tidak memberikannya dengan alasan terhapus, logikanya, rekaman CCTV bagaimana bisa terhapus jika tidak ada mengalami kerusakan, namun saya menduga hal itu disengaja.

Hingga saat ini, laporan keluarga kepada pihak kepolisian belum ada kepastian, lalu ayah siswi tersebut sempat mengalami intimidasi dari perangkat desa, walau Kades di wilayah itu membantah, akan tetapi perlu menjadi catatan jika intimidasi itu benar terjadi.

Anggota Dewan Usul yang Terlibat Tawuran Dihukum Ikut Pendidikan Militer

Korban Kekerasan Masih Belum Terlindungi

Dari kasus siswi di Gresik saya mencoba mengambil hipotesis bahwa pelaku merupakan anak tokoh atau pejabat atau pengusaha yang bisa memiliki kuasa untuk mengendalikan sekolah, asumsinya mengapa rekaman CCTV bisa hilang kalau tidak ada fraud.

Belum lagi, laporan kepolisian yang hingga saat ini masih menggantung, walaupun korban tidak mengetahui namanya, setidaknya dari ciri-ciri wajah dan badan seharusnya pihak keamanan bisa dengan cepat menangkap pelaku atas pencarian di sekolah.

Pihak sekolah juga seakan menutupi kasus tersebut, sehingga kasus ini perlahan hilang karena menganggap korban sudah kembali riang gembira, padahal sebelah matanya sudah tidak berfungsi akibat dari kekerasan yang terjadi di sekolah.

Melihat fenomena ini seperti gunung es, perundungan dan kekerasan di sekolah yang terjadi Agustus lalu hanya satu kasus yang terlihat, karena sebetulnya masih banyak kekerasan yang tidak terpublikasi dan cenderung berhasil selesai dengan cara damai.

Pihak sekolah biasanya tidak mau ambil pusing dan menawarkan opsi damai, karena bisa saja merenggut reputasi sekolah, belum lagi pelaku terkadang dari kalangan berada sehingga dengan mudah diselesaikan dengan uang.

Bagaimana nasib korban? Ya, nasibnya hanya dipulihkan psikologisnya saja, tanpa menghukum pelaku, jika ada kekerasan fisik yang terjadi bahkan menimbulkan cacat itu hanya selesai dengan uang damai yang diberikan.

Hal ini seharusnya menjadi perhatian serius semua stakeholder pendidikan, karena perundungan bisa terjadi di mana saja, tidak memandang sekolah negeri atau swasta. Selama peluang itu masih ada, seharusnya pihak sekolah dan pemerintah harus serius menangani persoalan kekerasan.

Bisakah Merdeka Belajar Mengatasi Kekerasan di Satuan Pendidikan?

Kementerian Kebudayaan, Pendidikan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan peraturan menteri tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan sebagai respons maraknya kekerasan di satuan pendidikan.

Tujuannya adalah agar murid, guru dan tenaga pendidik dapat merasa aman dan nyaman. Dalam peraturan tersebut kekerasan dirinci menjadi kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan toleransi hingga kebijakan yang mengandung unsur kekerasan.

Tidak hanya itu, pemerintah daerah harus membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di satuan pendidikan. Lalu pertanyaannya, apakah TPPK dapat menyelesaikan persoalan kekerasan di sekolah maupun universitas?

Jawabannya bisa namun dengan catatan, TPPK dipilih oleh pemerintah dari unsur pendidik yang berbeda lokasi atau tidak ada hubungan apa pun dengan guru maupun tenaga pendidik di sekolah, dan pastikan TPPK harus netral.

Lalu, untuk memastikan tidak intervensi dalam menangani kasus, TPPK harus berisi orang-orang dari organisasi hukum, karena melihat kasus di atas, orang tua pelaku diduga memiliki kekuatan yang cukup besar untuk menahan pihak sekolah memberikan rekaman CCTV.

Terakhir, Kemendibudristek perlu melakukan koordinasi dan kerja sama dengan Polri, tujuannya agar setiap laporan dari TPPK ataupun orang tua korban, seluruh jajaran polisi dapat menindaklanjutinya sehingga pelaku bisa ditindak.

Memang cukup berat untuk mengatasi kekerasan di satuan pendidikan, namun saya yakin usaha Kemendibudristek ini akan membuahkan hasil, dengan catatan mereka serius dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. (Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Kebijakan Publik)

 

[dok. Humas PT KCIC]

Jelang Musim Libur Sekolah, Penumpang Whoosh Tembus 23 Ribu Orang per Hari

PT KCIC melaporkan, total penumpang Whoosh sudah mencapai sekitar 20 ribu penumpang per harinya sejak Rabu, 11 Desember 2024.

img_title
VIVA.co.id
15 Desember 2024
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.