Alternatif Menanggulangi Kekerasan di Dunia Pendidikan
- vstory
VIVA - Dewasa ini, persoalan kekerasan semakin marak terjadi bahkan di lingkungan sekolah. Laporan kasus bullying, kekerasan seksual maupun verbal masih kerap menghiasi dunia pendidikan. Tidak hanya dilakukan oleh siswa, terkadang kekerasan juga sering dilakukan oleh pendidik, penjaga sekolah maupun orang tua dari siswa itu sendiri. Mirisnya, dunia pendidikan yang idealnya menjadi tempat untuk membentuk karakter dan moral yang baik, justru menjadi tempat berkembangnya praktek kekerasan dengan subur.
Bentuk kekerasan yang terjadi di sekolah bisa bermacam-macam, sesuai dengan Permendikbudristek nomor 46 tahun 2023 yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan dalam lingkungan satuan pendidikan di Indonesia, bentuk kekerasan yang diatur dalam permendikbud ini antara lain: a) kekerasan fisik, b) kekerasan psikis, c) perundungan, d) kekerasan seksual, e) diskriminasi dan intoleransi, f) kebijakan yang mengandung kekerasan, g) bentuk kekerasan lainnya. Kualifikasi kekerasan yang dituangkan dalam regulasi tersebut bisa dilakukan secara fisik, verbal, ataupun melalui media teknologi informasi dan komunikasi.
Melalui permendikbudristek nomor 46 tahun 2023 tersebut, Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah memberikan payung hukum untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan satuan pendidikan. Regulasi tersebut tentu tidak akan bisa terimplementasi dengan baik tanpa kerja sama semua pemangku kepentingan. Kerja sama tersebut bisa dilakukan oleh pihak sekolah, orang tua maupun masyarakat dalam mengawal kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Kemendikbudristek agar mampu terlaksana dengan baik.
Pemangku kepentingan harus konsisten dan memprioritaskan perhatiannya demi ketercapaian kebijakan tersebut, salah satunya adalah dengan melaksanakan berbagai alternatif solusi untuk mencegah kekerasan supaya tidak terjadi di lingkungan sekolah. Untuk mencegah kekerasan agar tidak marak terjadi di lingkungan sekolah, maka ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan bersama.
Pertama, memasifkan kampanye anti kekerasan. Mencegah kekerasan agar tidak marak terjadi salah satu upayanya adalah dengan melakukan kampanye anti kekerasan sebagai bentuk sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, baik peserta didik, pendidik, dan warga sekolah serta lingkungan perlu menjadi subjek sekaligus objek dalam menyemarakkan kampanye anti kekerasan tersebut. Melalui kampanye ini, ajakan dan himbauan kepada seluruh aspek masyarakat agar lebih menyadari dampak yang ditimbulkan dari adanya kekerasan.
Lebih dari itu, melalui kampanye juga, masyarakat dari setiap kalangan didorong untuk ikut berperan aktif menciptakan kedamaian dalam kehidupan. Fokus dari masyarakat seharusnya adalah berkarya menghasilkan sesuatu untuk kemajuan diri sendiri dan sekitarnya.
Kedua, memberikan contoh penyelesaian masalah sosial yang baik. Salah satu faktor yang menyebabkan kekerasan semakin marak dan liar terjadi adalah lingkungan yang menjadi faktor predisposisi terjadinya kekerasan. Lingkungan sosial yang cenderung menyelesaikan masalah dengan kekerasan, maka akan mudah terekam kepada anak-anak maupun siapa saja yang menyaksikan untuk melakukan hal yang sama manakala dihadapkan dengan permasalahan ataupun keadaan yang tidak sesuai dengan kemauan. Hal ini kemudian perlu dipahami bersama, bahwa lingkungan keluarga maupun lingkungan sekitar perlu mencontohkan pendidikan yang penuh dengan kenyamanan dan kedamaian, hindari kekerasan sehingga anak-anak akan mencontoh hal yang baik tersebut.
Ketiga, penegakan hukum secara adil. Keberadaan sistem hukum yang kurang tegas juga akan memengaruhi terjadinya tindak kekerasan di dalam masyarakat. Hal ini bisa saja terjadi ketika muncul perasaan kecewa ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa keputusan hukum memihak kepada harta ataupun jabatan. Kekecewaan inilah yang kemudian memunculkan rasa dalam diri seseorang untuk melakukan tindak kekerasan sebagai bentuk kemarahan. Keadilan dalam tegaknya hukum kemudian akan menciptakan pemerintahan yang baik.
Ketiga alternatif itu bisa dilakukan oleh pemangku kepentingan sebagai upaya mencegah terjadinya kekerasan di lingkungan sekolah. Sebagaimana disampaikan di awal, tentu untuk keberhasilannya butuh kerja sama dalam mengimplementasikan dan konsisten dalam menerapkan alternatif solusi tersebut.
Selain memasifkan ketiga alternatif tersebut, untuk menanggulangi dan mencegah terjadi kekerasan di lingkungan sekolah, maka perlu diimbangi dengan internalisasi nilai, seperti menanamkan nilai-nilai positif dalam pembelajaran, memberikan pemahaman perihal konflik dan cara untuk mengatasinya, melibatkan orang tua dalam proses pembelajaran agar orang tua juga mengetahui perkembangan anak-anaknya sehingga mampu ikut serta dalam mendidik dan mengawal pembelajaran yang jauh dari kekerasan. Sekolah juga harus mengidentifikasi peserta didik maupun warga sekolah lainnya yang berpotensi untuk melakukan kekerasan, jika ada, maka perlu adanya pendekatan secara individual kepada subjek yang dianggap berpotensi untuk melakukan tindak kekerasan.
Hal tersebut dilakukan agar bisa menanggulangi sejak awal terjadinya tindak kekerasan, sehingga pihak sekolah bisa meminimalisir adanya hal-hal yang tidak diinginkan. Sekolah juga bisa menyediakan pusat konseling sebagai wadah untuk diberikan kepada korban dari kekerasan agar mau terbuka dan berani berbicara. Selain itu, melalui pusat konseling, maka akan dapat mengidentifikasi dan menjadi tempat bagi mereka yang merasa kurang selesai dengan dirinya sendiri agar mau memperbaiki diri. Biasanya, seseorang yang melakukan kekerasan adalah mereka yang belum selesai dengan diri sendiri.
Upaya-upaya tersebut harus senantiasa dilaksanakan dan konsisten dilakukan. Tanpa adanya kerja sama, mustahil juga jika lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman mampu diciptakan, maka perlu adanya koordinasi dan komunikasi yang jelas dan terarah dalam mengawal pendidikan agar tidak marak dihinggapi oleh kasus kekerasan. Pun, ini juga bagian dari ikhtiar pemangku kepentingan di dunia pendidikan dalam mensukseskan pendidikan tanpa kekerasan, agar tidak banyak lagi korban, agar pendidikan mampu dijalankan dengan penuh kenyamanan dan dengan suasana damai dan aman.