Diskriminasi Muslim di India, Normalkah?

Ilustrasi diskriminasi muslim India oleh thequint.com
Sumber :
  • vstory

VIVA – Tulisan ini berangkat dari keresahan penulis setelah menonton wawancara yang diselenggarakan oleh Vice News (2020) kepada Subramanian Swamy, seorang politisi BJP (Bharatiya Janata Party)—sebuah partai besar yang berkuasa di India saat ini.

Dinamika Reformasi Arab Saudi: Kasus Konser Musik

Normalisasi Konflik

Dalam wawancara tersebut, Subramanian mengatakan bahwa jika populasi muslim melebihi 30% maka negara dalam keadaan bahaya. Baginya, ideologi Islam selalu menimbulkan masalah, khususnya bagi India. Ia menambahkan, tidak ada kesetaraan derajat bagi muslim di India, karena etnis muslim merupakan kasta terendah di India.

Berfilsafat Itu Perintah Agama

Dari wawancara ini, Subramanian ingin menegaskan superioritas etnis tertentu di India, sekaligus menyuarakan kebencian terhadap muslim dan agama Islam. Untuk diketahui, umat Islam di India saat ini berkisar 210 juta atau 14,6?ri total populasi India—menempati urutan ketiga sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia setelah Indonesia dan Pakistan.

Sejak partai BJP berkuasa pada tahun 2014, konflik sudah mulai muncul, dan makin memanas setelah pernyataan kontroversial politisi BJP tersebut—tahun 2020, menimbulkan dampak besar terhadap diskriminasi umat Islam di India, dengan kata lain, pihak penguasa membiarkan atau menormalisasi perilaku diskriminatif yang selanjutnya melahirkan krisis kemanusiaan di negara itu. Para kelompok ekstremis Hindu menyerukan ancaman genosida terhadap muslim di India, dari aksi tersebut terhitung banyak korban jiwa yang berjatuhan sampai kini.

Menatap Bima dan Kebudayaannya

Supremasi Hindu

Sebagaimana disinggung di atas, pada tahun 2014, partai BJP keluar sebagai pemenang di pemilu India, mengukuhkan Narendra Modi menjabat sebagai Perdana Menteri. Partai BJP sendiri dikenal sebagai partai nasionalis—sayap kanan, yang berafiliasi dengan sebuah organisasi Hindu bernama Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS). Banyak anggota mereka juga menduduki posisi penting dalam pemerintahan Modi.

RSS memiliki ideologi hindutva—supremasi Hindu. Hal ini membawa konsekuensi besar akan termarjinalnya kelompok agama lain di India. Dalam melancarkan aksinya, RSS sendiri bercermin pada pendekatan Nazi di Jerman. Sejarah mencatat, pemimpin spiritual dan gerakan politik kemerdekaan India; Mahatma Gandhi (w. 1948), dibunuh oleh anggota RSS.

Tujuan RSS adalah menjadikan India sebagai negara berlandaskan agama Hindu, dengan kata lain "menghindukan" India. Beberapa daerah di India yang memiliki nama, sejarah dan kebudayaan Islam diganti menjadi nama dan tradisi Hindu. Tak hanya itu, akses umat Islam terhadap politik, ekonomi, dan pendidikan juga dihalangi. Tindakan persekusi terhadap wanita muslim yang berhijab pun sangat sering dijumpai. Begitu pula tindakan teror, perusakan rumah pemukiman dan tempat ibadah.

Islam dan Hindu di India

Dalam catatan sejarah, mengutip Badri Yatim, interaksi Islam dan Hindu di India sudah terjalin sejak peradaban Islam menduduki puncak kejayaannya, setidaknya dapat dilihat ketika masa Dinasti Umayyah—abad ke-8 masehi, sumber lain; sejarawan Timur Tengah mengatakan, pada akhir masa Khalifah Umar bin Khattab (w. 644), dakwah Islam sudah masuk di India—abad ke-7 masehi.

Pada satu sisi, masyarakat India yang notabene beragama Hindu menerima keberadaan Islam. Namun, di sisi yang lain, mereka sangat protektif dan tidak rela jika Islam berkuasa di India. Seiring berjalannya waktu, sampai pada akhirnya Islam memimpin India pada abad ke-16, ketika Dinasti Mughal berkuasa.

Sejak kepemimpinan Dinasti Mughal, belum terlihat adanya konflik yang terjadi, karena kekuatan yang dimiliki Mughal. Barulah pada masa keruntuhan Dinasti Mughal, bersamaan dengan kedatangan Inggris di India, benih-benih konflik antara Islam dan Hindu di India mulai muncul ke permukaan. Benih-benih tersebut semakin subur di bawah pemerintahan kolonial Inggris yang menerapkan politik adu domba—devide et impera. Pada kelanjutannya, konflik yang terjadi di India sarat dengan kekuasaan. Kontestasi politik yang begitu intensif berlangsung hingga saat ini.

Sebagai masyarakat dunia, kita mendorong agar India bisa keluar dari konflik yang masih didasari identitas masa lalu ini, melalui usaha nyata merawat inklusivitas, memaksimalkan dialog produktif dan menjunjung tinggi asas perdamaian.

Kesimpulan

Manusia memiliki potensi dan akses yang setara terhadap nilai-nilai dasar sosial dan moral. Jauh sebelum traktat Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirumuskan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), Islam telah mengajarkan tentang kesetaraan manusia.

Dalam pidato terakhir Nabi Muhammad Saw (w. 632) menegaskan tidak ada superioritas kasta, suku, etnis, ras, dan golongan tertentu. Bangsa Arab tidak lebih superior dari bangsa ajam—non arab, begitu pun sebaliknya, bangsa ajam tidak lebih inferior dari bangsa Arab, orang kulit putih tidak lebih mulia dari orang kulit hitam, begitu juga sebaliknya. Karenanya, setiap upaya-upaya yang mengarah pada tindakan diskriminatif; melukai, merendahkan harkat dan martabat manusia, merupakan perilaku melawan perikemanusiaan itu sendiri.

Tentu kita meyakini, krisis kemanusiaan yang dilancarkan atas nama agama sebagaimana yang terjadi di India sangat mencederai norma agama dan nilai luhur kemanusiaan, bahkan menghambat kemajuan negara tersendiri. Tak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Inilah pentingnya pemahaman inklusif bagi setiap umat beragama.

Konflik antarumat beragama bisa terjadi bukan saja karena merasa berbeda, tetapi karena tidak memahami hakikat agama yang sesungguhnya, sehingga tidak mencerminkan perilaku umat beragama, akibatnya, agama hanya dijadikan dalih pembenaran terhadap perilaku kejahatan dan pemuasan nafsu belaka. Ini juga alasan mengapa sangat terhina jika agama menjadi sarana pemenuhan hasrat kekuasaan dan kepentingan politik, karena dapat melahirkan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Kesadaran atau pemahaman ini mesti dimulai dari diri kita sendiri, hari ini hingga nanti.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto, radiomataram.com

Nggusu Waru: Karakter Kepemimpinan Masyarakat Bima

Nggusu Waru menggambarkan karakter atau sifat yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin.

img_title
VIVA.co.id
30 November 2023
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.