Rocky Gerung Seorang Republikan
- vstory
VIVA - Dua kata “bajingan dan tolol” yang terlontar dari mulut Rocky Gerung telah membentuk dua barisan besar, yaitu pencela dan pembela. Mereka yang mencela Rocky bahkan melaporkan Rocky ke polisi berdiri di barisan kelompok relawan yang selama ini sebagai “penjaga Jokowi”. Kelompok ini monoton dan tidak meluas.
Mereka yang membela Rocky datang dari kelompok dan individu yang cukup beragam dan susah diklasifikasikan sebagai kelompok tertentu. Fenomena ini menggambarkan bagaimana sosok Rocky telah menjadi “sesuatu” yang tidak bisa disepelekan. Mereka datang dari kelompok-kelompok Milenial, Aktivis Mahasiswa, Aktivis Pergerakan, Aktivis Buruh dan tokoh-tokoh oposisi. Kekuatan ini di luar dugaan bersama-sama membela Rocky. Pembela Rocky “mendalam dan meluas”. Mendalam karena mereka adalah kaum intelektual dan meluas karena mereka adalah kelompok dari semua kalangan dan generasi.
Fenomena Rocky ini persis dengan fenomena Amien Rais pada tahun 1998. Pidato-pidato politik Amien Rais menjadi “biang kerok” yang membuat gaduh istana. Sama dengan Amien Rais, Rocky datang dari tradisi akademisi yang sederhana dengan pikiran yang berani dan menantang. Tetapi jangan sepelekan pikiran akademisi, bisa mengguncang istana dan merobohkan kekuasaan.
Menarik apa yang dikatakan tokoh oposisi Dr. Syahganda Nainggolan mengenai Sosok Rocky yang disebutnya “Rocky The Plato”. Sebuah kalimat sederhana tetapi memiliki bobot intelektual dan akademisi. Bagi saya Rocky adalah seorang sosialis republikan yang berupaya menjaga nalar bangsa ini.
Sebagai orang sosialis, kata Syahganda, Rocky telah mewarisi tradisi intelektual Partai Sosialis Indonesia dan Syahrir (Mantan Perdana Menteri Pertama Indonesia). Tradisi kaum sosialis adalah tradisi kritis yang berpegang teguh pada nilai-nilai yang berkembang di barat, dan paling banyak dipengaruhi oleh Filsafat Plato.
Tradisi barat yang dianut oleh Rocky mendorong dia untuk mengkritisi secara tajam dan berani terhadap kebijakan Presiden Jokowi yang terlalu berpihak ke Cina. Sebagaimana kita Tahu baru-baru ini setelah meloloskan dua Undang-undang Omnibus Law, yaitu Cipta Kerja dan Kesehatan Jokowi telah membuat delapan kesepakatan dengan Cina. Delapan kesepakatan itu memang berbahaya, karena memberikan “karpet merah” seperti izin membangun Rumah Sakit di kota-kota besar di Indonesia, pentingnya belajar bahasa Tiongkok di Indonesia, dan kebijakan ekonomi yang sangat pro kepada Cina. Ini semacam gerakan Cinaisasi Indonesia.
Kenyataan ini mendorong Rocky Gerung untuk berbicara dengan cara-cara yang cukup keras tetapi menggunakan bahasa yang keras dan tajam. Rocky memang selalu memilih kata-kata yang kontroversial dan menantang untuk menyampaikan argumennya. Meskipun tajam tapi tidak pernah membicarakan personal melainkan fungsi seorang Presiden.
Pasca Haji Agus Salim
Proklamator Indonesia Mohammad Hatta menyebut “Manusia seperti Haji Agus Salim lahir seratus tahun sekali”. Bagi Bung Hatta, Agus Salim adalah seorang lelaki tua yang berbicara penuh tantangan tetapi terukur. Pembicaraannya dapat menginspirasi, memperkuat pendirian dan tujuan yang hendak dicapai.
Pengakuan tentang Agus Salim juga datang dari Ulama Besar Buya Hamka. Bagi Hamka, “Agus Salim sama dengan sejuta manusia”. kecerdasannya mampu mengimbangi lawan debatnya dengan elegan dan sulit dikalahkan.
Saya tidak hendak menyamakan Rocky dengan Agus Salim, tetapi kedua orang Indonesia yang berbeda zaman ini mampu menjadi bagian penting dalam perjalanan republik. Perubahan besar hanya lahir dari kemampuan menalar dan berpikir secara sistematis dan bertindak secara terukur.
Kecerdasan Rocky membuat lawan debatnya tidak berkutik. Dia memiliki kemampuan logika yang sistematis dengan penalaran yang tepat. Dalam berbagai debat Rocky memperlihatkan kecerdasan yang jarang dimiliki oleh politisi Indonesia.
Haji Agus Salim lebih unggul lagi dalam hal mengalahkan lawan debat tanpa sarkasme dan menyerang pribadi. Misalnya, dalam sebuah Rapat Sarikat Islam Haji Agus Salim dan Tjokroaminoto disindir oleh Musso dalam pidatonya.
Di atas podium Musso bertanya kepada peserta rapat: Yang berjenggot apa saudara-saudara?”
Menjawab pertenyaan tersebut, hadirin dari SI Merah ramai-ramai berteriak,“kambing!".
"Kalau yang berkumis?", hadirin pun lalu ramai menyahut, “kucing!” .
Haji Agus Salim tidak lantas marah dan menyerang Musso dengan kata-kata yang tidak intelektual.
Mendengar ejekan itu, ketika giliran Haji Agus Salim naik panggung pun membalasnya. Dari atas podium ketika berpidato dia pun bertanya balik bertanya pada hadirin.
"Tadi hewan-hewannya kurang lengkap, apa yang tidak berkumis dan tidak berjenggot (kebetulan Musso tidak berkumis dan berjenggot)?" tanya Agus Salim kepada peserta rapat.
Mendengar pertanyaan dari H Agus Salim yang berdiri di atas podium, para ternyata lebih riuh seraya serempak menyahut dengen menyebut nama hewan, “anjing!”. Musso dan para peledek H Agus Salim terdiam.
Tradisi intelektual hebat inilah yang ingin dihidupkan dalam percakapan publik. Kehadiran Rocky di Panggung politik Indonesia, tidak sebagai politisi tetapi sebagai akademisi dan intelektual bahkan filosof sangat diharapkan untuk mengembalikan percakapan hebat dan berbobot itu. Dengan percakapan seperti itulah kita merawat republik.
Tetapi memang telinga kekuasaan sangat tipis terhadap para pengkritik. Mereka hanya ingin dipuja dan dipuji layaknya seorang kaisar atau raja. Inilah yang akhirnya menyumbat percakapan yang intelektual. Opini publik dipenuhi dengan pujian dan “gosip politik” bahkan berita kriminal dari politisi, tidak ada percakapan publik yang membuat waras dan mencerahkan.
Rocky Itu Republikan
Seorang republikan tidak akan menundukkan dirinya pada keramahan feodal, tidak menghamba pada monarki, tidak takut pada tirani. Dia akan memilih jujur dan benar daripada kesopanan yang palsu dan menjenuhkan.
Rocky datang dari tradisi intelektual yang kritis dan tradisi kewarganegaraan yang jujur. Dia tidak menipu dirinya untuk menyenangkan orang lain apalagi untuk menghamba pada kekuasaan. Rocky menunjukkan ciri warga negara republik.
Plato, Penulis Buku Republik yang terkenal itu adalah seorang filsuf yang tidak terjebak pada feodalisme dan enaknya istana. Meskipun menjadi Penasihat Raja Dionysios dia tidak terjebak pada kenyamanan monarki itu dan lebih memilih untuk mengajarkan kejujuran dan moralitas kepada si Raja, meskipun Plato tau bahwa penguasa akan jenuh dengan kebenaran dan moralitas itu.
Seorang filsuf tidak akan berpura-pura untuk sebuah kebenaran. Juga tidak akan menggantungkan nasibnya pada kekuasaan. Persis seperti itu Rocky Gerung memposisikan dirinya, meskipun dia tau bahwa kapan saja dia bisa dekat kepada Kekuasaan dan menjadi bagian penting di dalam istana.
Dia tidak tergiur dengan kemewahan jabatan dan lencana itu, dia hanya terobsesi pada perbaikan pikiran anak bangsa dan perbaikan masa depan Indonesia. Karena kesadaran itu dia memilih jalan menjadi “oposisi” bagi kekuasaan yang congkak dan dungu.
Sikap Rocky itu adalah seorang warga negara Republik tulen. Dengan hidup mengembara dalam alam intelektual, menjadi teladan bagi sesama warga negara, tidak menyerahkan diri untuk dikekang kekuasaan dan tidak terjebak di dalam istana untuk melantunkan pujian-pujian kepada penguasa. Seorang republikan lebih mengutamakan kearifan. Itulah Rocky.
Hanya dengan warga negara republikan sebuah republik akan bertahan. Kalau hanya mengandalkan politisi, negara republik akan bubar. Kalau hanya berdiri dengan gagah di atas demokrasi, demokrasi pun bisa meruntuhkan republik. Sejarah Romawi Kuno telah mengajarkan kita bahwa suksesi politik dan demokrasi electoral telah meruntuhkan republik pertama dalam sejarah itu.
Kata James Wilson, Republik dibangun dengan kumpulan kesadaran sosial atau moral yang alami. "Seorang yang mampu mengelola urusannya sendiri, dan bertanggung jawab atas perilakunya terhadap orang lain, itu tidak hanya menyatukan masyarakat tetapi juga membuat pemerintahan republik yang demokratis”. Tanpa itu, republik bisa runtuh dan punah kapan pun dan dalam situasi apa pun.
Penutup
Fenomena Rocky ini menjadi momentum kebangkitan kaum intelektual untuk membawa kita pada diskusi-diskusi yang lebih tajam. Sehingga tidak lagi terjebak pada feodalisme struktural yang telah merebak secara institusional dalam kekuasaan negara.
Kita sudah jauh tertinggal di bidang pendidikan, dan kecerdasan anak bangsa semakin merosot karena kita terjebak pada sentimen yang berlebihan. Diskusi politik hanya semacam panggung adu mulut yang tidak bernilai. Orang-orang berbicara tentang orang, tidak berbicara tentang ide-ide besar.
Hari-hari ini kita saksikan, mendekati musim pemilu, penampilan sosok yang kita nonton hanya mereka yang “asal berbeda” tanpa mengerti substansi perbedaan. Efeknya permusuhan terjadi secara meluas antara sesama warga negara
Rocky ada dalam diskusi itu, bertengkar dengan membawa ide besar tentang Republik, tapi menghindari diri membicarakan mengenai orang-orang. Layaknya Tradisi Platonis, perdebatan mengenai republik adalah diskursus politik dan kekuasaan.
Karena itu kita memerlukan lebih banyak lagi Rocky Gerung lainnya yang bisa membawa bangsa ini pada percakapan akal sehat, bukan pada pertengkaran, adu mulut dan sentimen personal. Dengan manusia seperti Rocky kita akan membawa Republik terbang mencapai tujuan bernegara. (Furqan Jurdi, Ketua Pemuda Madani)