Filosofi Kehidupan dari Suku Baduy
- vstory
VIVA - Melihat kota yang begitu metropolitan dan dengan intensitas laju yang begitu cepat rasanya kita perlu sedikit melamban untuk mensyukuri banyak hal. Kota dengan kendaraan yang padat, tembok-tembok tinggi dan beton-beton yang tebal menjadikan kita terlalu ambisius menjalani kehidupan. Umur yang begitu cukup memberikan berbagai tanda tanya besar dalam hidup saya, tentang lajur mana yang paling tepat untuk menjalani kehidupan? Tentang seberapa banyak kalkulasi sumber daya untuk mencapai kebahagiaan? Juga tentang kebaikan apa yang harusnya diamalkan untuk menuntun kita pada muara kebahagiaan?
Jawaban dari serangkai pertanyaan hidup tersebut seakan terjawab penuh ketika saya menjelajahi pedalaman Baduy. Suku Baduy bagi saya bukan hanya surga mungil tersembunyi di sisi luar wilayah Banten. Ulayat dan masyarakat Baduy, mengetuk akal pikiran saya bahwa hidup hanya memerlukan keyakinan dan komitmen terhadap itu, lalu kebahagiaan datang dengan sendirinya tanpa kita cari ataupun minta. Filosofi hidup masyarakat Baduy yang mungkin terkesan melamban dari kehidupan metropolitan ternyata memberikan saya banyak pelajaran. Ternyata, hidup bukan melulu soal punya rumah bertingkat atau kendaraan yang paling mahal, sebab manusia dapat lebih berarti dengan memberikan penghormatan kepada alam dan saling memanusiakan manusia.
Masyarakat Baduy yang saya kenal menjadikan alam dan penghuninya setara dan jauh dari disparitas. Tidak habis pikir, buah padi kedua pasca panen diberikan percuma pada penghuni lain selain manusia. Di kota, kita hanya memandangnya dari kacamata ekonomi, itu salah satu sebab yang menjadikan manusia kota cukup serakah. Kehidupan gotong royong seperti eka sila dari Bung Karno pun begitu kental diejawantahkan oleh masyarakat Baduy.
Budaya dan tradisi adat adalah tali, tapi komitmen akan hal tersebut bagi saya adalah sebuah hal yang mestinya diapresiasi dengan total. Di Baduy, masyarakat tidak pernah miskin akan bantuan sesama, sebab mereka melihat itu dari nilai kekerabatan, bukan ekonomi semata.
Di kota, kita lihat banyak ketimpangan, disparitas dan manusia hidup dengan cepat serta konsumtif. Kita harusnya sesekali belajar melamban untuk dapat menghargai sesama. Banyak dari kita hanya hidup untuk menghidupi diri sendiri dan mengesampingkan sekitar. Bagi saya, ini adalah kecelakaan pikiran. Dari masyarakat Baduy, kita harusnya menunduk untuk memahami bahwa dunia bukan hanya soal yang lahiriah semata. Sebagai penghuni kota, tidak jarang saya melihat bahwa hidup hanya soal baku sikut, soal menyembah mereka yang menjabat dan mengesampingkan alam dan manusia kelas menengah serta rendah di sekeliling.
Sebagai rangkaian akhir, saya hanya ingin menyampaikan bahwa kita sebagai manusia kota yang bergerak begitu masif dan konsumtif harusnya dapat belajar dan bersembah pada ulayat dan masyarakat Baduy. Kadang, hidup perlu melamban. Menemukan pola yang rasional untuk mencapai kebahagiaan memerlukan sudut lain, Ulin Ka Baduy adalah pilihan!. (Zainul Rahman, Anggota Kelompok Studi Merdeka dan Perhimpunan Mahasiswa Bandung)