Menatap Bima dan Kebudayaannya
- vstory
VIVA Bima merupakan daerah yang terbagi menjadi Kabupaten dan Kota. Sebelum pecah menjadi Kabupaten dan Kota, Bima merupakan daerah Kabupaten, dan sebelumnya berbentuk Kerajaan. Setelah menerima agama Islam, berubah dari Kerajaan menjadi Kesultanan. Bima memiliki suku asli demikian pula bahasa bernama Mbojo.
Istilah Mbojo dan Bima
Menyinggung tentang Mbojo dan Bima, Abdullah Tajib dalam buku “Sejarah Bima Dana Mbojo” menyebutkan, istilah Mbojo berasal dari kata Babuju; dalam bahasa Bima berarti "tanah yang ketinggian yang merupakan busut jantan yang agak besar" (Abdullah Tajib: 1995), Alan Malingi (w. 2023) menambahkan, Babuju adalah tanah tempat pelantikan para raja yang disebut dengan “dana ma babuju” yang kemudian mengalami perubahan pengucapan menjadi Mbojo. Sedangkan Bima berasal dari bahasa Sansekerta; Bhima yang berarti kuat, besar, hebat (Alan Malingi: 2021).
Dalam kehidupan soisal, masyarakat Bima menjunjung tinggi nilai soliditas, solidaritas dan kerja sama (karawi kaboju). Bagi penulis sendiri sebagai perantau, istilah Mbojo atau Bima sangat akrab ketika orang Bima berada di daerah lain. Misalnya bertemu di terminal bus atau di bandar udara, atau sama-sama berada di daerah lain, bahkan tradisi yang umum sekali bagi pelajar atau mahasiswa yang bertemu di luar daerah misalnya sesama teman sering menyebut “ndai dou Mbojo”, kita orang Bima.
Sorotan Budaya Hari Ini
Budaya dapat dikatakan sebagai ciri khas sebuah kelompok masyarakat dalam melakukan interaksi dan berperilaku di lingkungannya. Ketika zaman kerajaan yang dilanjutkan dengan masa kesultanan, para sarjana, ilmuan dan penggiat budaya sudah mencurahkan perhatian besar pada budaya Bima seperti bahasa, sastra, filosofi, kepemimpinan serta sejarah kerajaan dan kesultanan Bima.
Persoalan kita hari ini jika melihat dinamika sosial dan politik yang terjadi di daerah, bisa dikatakan kita sedang berada pada titik krisis budaya dan moral. Kita mendengar akhir-akhir ini kasus “londo iha” atau hamil di luar nikah yang marak terjadi di kalangan pelajar menengah-mahasiswa, masalah kerusakan lingkungan, buruknya kohesivitas masyarakat, terlebih lagi dalam beberapa waktu ke depan kita akan menghadapi pesta politik demokrasi yang dapat menguras habis tenaga dan emosi di dalamnya.
Kita meyakini bahwa berbagai problem yang disebutkan di atas menyalahi atau bertolak belakang dengan keluhuran budaya yang kita miliki. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu kita lakukan evaluasi dan mitigasi, menggali solusi melalui penguatan budaya dan kearifan lokal sebagai landasan kita. Tentu melalui sinergi produktif-positif antarelemen masyarakat bersama pemerintah.
Pentingnya Dokumentasi dan Inventarisasi Budaya
Yang menjadi sorotan lain saat ini adalah para pemuda, pelajar dan mahasiswa Bima relatif minim sekali mencurahkan perhatian terhadap pelestarian budaya, diskusi penghayatan dan penguatan pemahaman serta merespons dinamika yang terjadi di daerah. Atau khususnya mengangkat isu kearifan lokal budaya sebagai bahan penelitian ilmiah dan akademik yang dapat menjadi warisan khazanah bagi generasi yang akan datang.
Anwar Hasnun mengatakan, meneliti dan menulis kembali tentang Bima dan kebudayaannya adalah menghidupkan kembali wasiat leluhur, tentu menjadi tugas generasi sekarang, agar generasi berikutnya mengetahui dan paham tentang peradaban leluhur dan daerahnya (Anwar Hasnun: 2020).
Sebab apa yang dilakukan dan dialami oleh orang tua-tua terdahulu tidak mungkin kita ketahui sekarang secara pasti seperti budaya, adat istiadat, karakter kepemimpinan dan sebagainya tanpa dokumentasi dan inventarisasi dalam bentuk buku atau karya ilmiah yang bermanfaat untuk pendidikan dan sosial.
Mengenal segala hal tentang Bima sama mestinya seperti mengenal diri sendiri. Tidak mengetahui dan memahami budaya leluhur, adat dan filsafat hidup merupakan kesalahan fatal yang dapat mengakibatkan Bima akan hilang ditelan zaman karena kelalaian generasinya.
Kehazanah Kebudayaan Bima
Orang Bima memiliki segudang khazanah akan sejarah dan kebudayaan, karakter kepemimpinan serta filsafat hidup yang luhur. Hilir Ismail (w. 2011) menyebutkan, dari sisi sejarah, Bima memiliki periodesasi sejarah, sejak zaman Naka (prasejarah), zaman Ncuhi (proto sejarah), masa Kerajaan (lebih kurang abad ke-9), Kesultanan (1640-1951), Swapraja sampai menjadi Kabupaten-Kota (1950-sekarang). Secara garis besar memiliki karakteristik masing-masing masanya.
Hilir melanjutkan, tentang karakter kepemimpinan, orang Bima berkeyakinan bahwa seorang pemimpin harus memenuhi syarat yang nantinya akan dipegang teguh sebagai karakter kepemimpinan selama menjadi pemimpin, misalnya terdapat istilah Nggusu Upa (empat sudut), Nggusu Ini (enam sudut), Nggusu Waru (delapan sudut) yang tetap mengacu pada Maja Labo Dahu (malu dan takut) sebagai Fu’u Mori (pilar kehidupan) (Hilir Ismail: 2004).
Jika diperhatikan, filsafat hidup orang Bima memiliki kaitan yang sangat kuat dengan syariat agama Islam, secara garis besar syariat Islam diterima, dipahami dan dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Bagi masyarakat Bima, agama dan budaya memiliki titik temu yang sejalan, dalam penerapannya menjadi landasan hidup yang mampu membimbing dan dijadikan sumber inspirasi dalam kehidupan sosial masyarakat Bima.
Misalnya pada falsafah Maja Labo Dahu seperti disebut di atas. Frasa Maja (malu) dan Dahu (takut) sesungguhnya integral dengan konsep takwa dalam agama Islam. Sifat malu dan takut melahirkan kesadaran untuk berusaha tidak melakukan kesalahan dan dosa serta hanya patuh kepada Allah Swt.
Hal ini menjadi menarik, sehingga walaupun Maja Labo Dahu sebagai falsafah daerah (antroposentris), tetapi memahami dan mengaplikasikannya sama dengan mewujudkan ajaran Islam itu sendiri (teosentris). Contoh lain misalnya, tentang pemakaian Rimpu, di samping merupakan adat, juga merupakan aktualisasi perintah menutup aurat bagi wanita Muslim.
Kesimpulan
Pada akhirnya, mengetahui serta mengkaji sejarah, adat dan budaya Bima yang sangat kaya tersebut merupakan keharusan untuk diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Generasi muda Bima, para pelajar, mahasiswa, dan masyarakat Bima secara keseluruhan, berkewajiban menjaga nilai-nilai luhur budaya ini agar tetap terjaga dalam memori kolektif maupun dalam perilaku keseharian, serta dokumentasi melalui kajian dan penelitian ilmiah demi membangun sumber daya Bima yang berkualitas untuk masa yang akan datang.