Memahami Politik Identitas
- vstory
VIVA - Sejak tahun 2016, istilah "politik identitas" (dalam tanda petik) di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Puncaknya pasca Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Digoreng seolah "aib", dijustifikasi seolah "menghinakan", dan terus diucapkan seolah menjadi "sangat jorok".
Istilah ini dalam pemaknaannya memang "tepi jurang", bagi yang mengerti konsepnya pasti bisa membedakan antara "politik identitas" dan politisasi identitas, antara politisasi identitas dan politik kebencian. Ketiganya tipis perbedaannya, namuan sering dicampuradukkan, sehingga bagi kelompok yang suka menuduh, ketiganya disebut "politik identitas".
Dalam sebuah pertemuan, Burhanuddin Muhtadi menerangkan, bahwa istilah "politik identitas" memang dilematis. Karena istilah ini secara historis bermakna positif, tapi dalam perkembangannya akan bermakna positif pada kelompok minoritas, namun bermakna negatif pada mayoritas.
Bagi saya, apa yang diterangkan Burhan di atas, masih sangat ambigu. Sebab sebuah konsep (teori) tidak bersifat parsial, jika positif ya positif, sebaliknya negatif ya negatif. Dan lagi-lagi, dia belum mampu memberikan klarifikasi dan identifikasi mana jenis "politik identitas" dan mana yang disebut politisasi identitas.
Selain Burhan, bahwa negara (pemerintah) sekalipun, bahkan para pakar dan pengamat politik sering bolak balik menggunakan istilah-istilah tersebut untuk "menuduh" sebagai tindakan yang "salah".
Ketika Anies R. Baswedan misalnya, menunaikan shalat di masjid, lalu di masjid ia dikerumuni dan disambut banyak jamah. Lantas dituduh "politisasi identitas". Tapi ada pihak yang mengatakan bahwa "kalo bukan orang Jawa jangan maksa jadi Presiden", dinilai tidak sedang melakukan politisasi identitas.
Politik identitas itu selalu bermakna positif. Sama seperti istilah politik kebangsaan, politik pembangunan atau politik gagasan. Energi positifnya sama. Sebab datang dari istilah dan konsep yang sama yaitu "politik". Secara filosofis kita bisa baca di banyak referensi, bahkan di google dengan mudah kita jumpa. Maknanya sangat positif, imaginatif, penuh harapan dan kebijaksanaan.
Tapi kenapa belakangan, kata politik jika disandingkan dengan kata identitas bermakna pejoratif? Padahal kedudukannya sama saat ia dipasangkan dengan kata kebangsaan dan pembangunan, ia bermakna konstruktif. Lagi pula, emang ada politik "tanpa identitas"? Itu omong kosong. Bahkan jikapun ada politik tanpa identitas, itu juga merupakan politik identitas, yang mana identitasnya ya tanpa identitas itulah identitasnya.
Politik identitas itu bermakna negatif saat atribut identitas tertentu dipaksakan sebagai atribut universal. Hal ini lah dilakukan Soeharto saat memberlakukan ideologisasi Pancasila sebagai satu ideologi tunggal. Namun jika atribut tersebut hanya dipakai untuk penegasan identitas saja, agar identitas tersebut dikenal, diketahui, dipahami dan disukai, seperti halnya Jokowi yang mengenakan pakaian adat tertentu dalam acara kenegaraan resmi.
Sebaliknya, apabila atribut identitas tersebut dipakai untuk mendapatkan keuntungan politik, baik berupa materi maupun non materil, maka pada kondisi itu disebut "politisasi identitas". Lebih jauh, jika atribut identitas tersebut digunakan untuk menciptakan permusuhan, diskriminasi, provokasi, mendiskreditkan identitas lain selain identitasnya, maka itu disebut "politik kebencian".
Problemnya adalah cara mengidentifikasi "niat buruk" dari penggunaan atribut identitas tersebut oleh seorang politisi sangatlah sulit. Hingga saat ini tidak ada alat ukurnya, tidak ada rumus hitung, dan tidak ada metodeloginya. Yang ada hanyalah persepsi masing-masing.
Dan dari persepsi itulah tuduhan-tuduhan dilancarkan. Jika orang tersebut disukai maka ada banyak alasan untuk membelanya, namun jika orang tersebut dibenci, juga ada banyak argumen untuk menuduhnya. Tuduhan-tuduhan tersebut saat ini menyesaki beranda gatget, mencemari media sosial dan mempengaruhi keyakinan. Semoga itu bukan kita.
Â