Isu Polemik Pertanian Indonesia
- vstory
VIVA – Indonesia adalah negara agraris, istilah yang sudah kita dengar sedari dulu. Seperti cap yang telah disematkan kepada bangsa kita sejak zaman dahulu. Sebutan tersebut tentu bukan dari antah-berantah yang tak bermakna. Negara agraris dilekatkan karena mayoritas penduduk Indonesia bekerja pada sektor yang bertumpu pada hasil bumi. Tak bisa dinafikan bila sebagian masyarakat Indonesia bekerja di sektor pertanian.
Hal ini seirama dengan data Badan Pusat Statistik yang mencatat sebanyak 38,7 juta penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian. Angka ini jauh di atas sektor lainnya seperti sektor perdagangan sebanyak 26,19 juta, sektor industri pengolahan sebanyak 19,17 juta, sektor penyediaan akomodasi dan makan minum sebanyak 9,61 juta, sektor konstruksi sebanyak 8,48 juta, sektor pengadaan air sebanyak 0,51 juta, sektor real estate sebanyak 0,45 juta, dan paling sedikit adalah sektor pengadaan listrik gas sebanyak 0,31 juta.
Banyaknya pekerja di sektor pertanian menggambarkan bahwa sektor ini merupakan sektor yang paling menyerap tenaga kerja kita. Namun, apakah kuantitas tersebut sejalan dengan kualitasnya?
Meskipun penyerapan tenaga kerja pertanian sangatlah besar, namun angka tersebut didominasi oleh pekerja usia tua. Selama satu dekade terakhir (periode 2011 dan 2021), tercatat Indonesia telah kehilangan 10% proporsi pemuda yang bermata pencaharian pada sektor ini. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2013, petani Indonesia mayoritas berusia 45 hingga 54 tahun. Hal ini sejalan dengan riset yang dilakukan oleh 577 mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menunjukkan bahwa lulusan pertanian memiliki minat yang rendah untuk bekerja pada sektor ini. Angkanya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan minat untuk membuka bisnis di sektor lain.
Fakta ini menjadi isyarat meskipun pertanian merupakan sektor padat karya namun beberapa tahun ke depan krisis petani akan kita alami. Generasi muda seolah enggan menjadikan profesi petani sebagai cita-citanya.
Profesi petani sejak dahulu memang dipandang sebelah mata, dianggap sebagai profesi yang tidak memberi keuntungan baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Petani pun selalu lekat dengan kemiskinan. Kesejahteraannya kadang hanya dijadikan sebagai gimmick politik semata.
Tantangan pertanian masa depan tak hanya berhenti pada krisis regenerasi petani, namun juga pada rantai niaga pertanian yang seringnya merugikan petani. Tata niaga yang rumit dan bertele-tele menjadikan petani tak melulu menikmati berkah apabila terjadi lonjakan harga.
Berdasarkan Berita Resmi Statistik (BRS) tahun 2020, pola perdagangan komoditas strategis untuk sampai konsumen akhir harus melewati minimal 2 tahapan. Sebagai contoh ialah komoditas beras. Setelah produk selesai pada tahap produsen, produk berlanjut ke tahap distributor lalu berlanjut ke tahap perdagangan eceran, setelah dari pedagang eceran komoditas tersebut barulah bisa dinikmati oleh konsumen akhir. Panjangnya proses distribusi produk pertanian menyebabkan keuntungan lebih banyak dinikmati oleh level distributor/tengkulak atau pedagang eceran.
Petani yang notabene pihak yang menanam, merawat, hingga memanen menjadi pihak yang menikmati laba terkecil. Ditambah lagi kenaikan produk-produk penting pertanian seperti pupuk dan pestisida yang menjadi tanggung jawab petani. Seringkali kenaikan harga pupuk dan pestisida ini lebih tinggi dibanding harga pasar, yang akhirnya menyebabkan petani merugi.
Tantangan lainnya adalah minimnya penggunaan teknologi pada sistem pertanian kita. Teknologi dan pertanian di negeri ini laksana minyak dan air yang sulit disatukan. Petani usia tua yang mendominasi pertanian Indonesia tak mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Teknologi yang seolah berlari begitu cepat sementara pengetahuan dan keinginan untuk belajar petani seolah jalan di tempat. Petani usia tua lazimnya mengandalkan pengalamannya. Padahal, adanya perubahan cuaca dan iklim menjadikan atmosfir pertanian tak sama dengan zaman dahulu.
Bukan hanya persoalan petani usia tua yang sulit beradaptasi dengan perubahan teknologi, kualitas SDM dalam hal ini pendidikan petani juga menjadi faktor kunci. Berdasarkan hasil Susenas Maret 2022, sebanyak 51,65% petani Indonesia merupakan hanyalah lulusan Sekolah Dasar (sisanya bekerja di sektor manufaktur dan jasa). Di mana petani usia tua cenderung enggan bersentuhan dengan teknologi karena teknologi dianggap sebagai sesuatu yang sulit dipelajari.
Usia petani ditambah latar belakang pendidikan petani yang rendah menjadikan inovasi teknologi di sektor ini seakan sulit diterapkan atau hanya memberi dampak relatif rendah. Pemanfaatan teknologi yang sukar diterapkan mengakibatkan gaya pertanian nasional cenderung ke arah metode konvensional. Padahal dengan adanya inovasi teknologi, produktivitas pertanian menjadi lebih tinggi dan dapat dijadikan sebagai penarik minat generasi muda untuk menjadi petani.
Tak hanya berhenti sampai di situ, polemik lainnya adalah masifnya alih fungsi lahan pertanian. Lahan yang semula adalah lahan untuk menyediakan pangan, saat ini berubah menjadi kawasan industri, jalan raya, jalan tol, pusat perbelanjaan, dan perumahan. Tak heran saat ini sangat mudah dijumpai lahan persawahan berubah fungsi menjadi kompleks perumahan. Akibatnya lahan untuk pertanian semakin tergerus seiring bertambahnya jumlah permintaan kebutuhan papan ini. Hal ini sejalan dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat luas baku sawah di Indonesia mengalami penurunan dari 7,75 juta hektar di 2013 menjadi 7,1 juta hektar di 2018.
Masifnya alih fungsi lahan menyebabkan produktivitas pertanian seolah semakin terkikis. Seolah kehilangan pamornya sebagai penopang ekonomi bangsa.
Memang pemerintah melalui Kementerian Pertanian sudah memberikan beberapa solusi, di antaranya subsidi pupuk bagi petani, kelompok usaha tani sebagai wadah komunitas petani, dan berbagai macam penyuluhan. Namun, semua itu masih kurang memberikan hasil yang memuaskan. Masih diperlukan suatu kebijakan terlebih lagi untuk generasi muda agar pertanian Indonesia tak lagi didominasi oleh generasi tua.
Banyaknya polemik yang terjadi pada sistem pertanian kita menjadikan bangsa ini harus segera berbenah. Bila tak segera disikapi dengan kebijakan yang memadai, entah apakah cap sebagai negara agraris itu hanyalah tinggal sejarah bagi anak cucu kita nanti.