Pentingnya Peran Perempuan dalam Penyelenggaraan Pemilu 2024
- vstory
VIVA – Pesta demokrasi merupakan ajang kontestasi politik setiap lima tahun sekali yang memberikan ruang untuk keterlibatan masyarakat secara langsung dalam menentukan pemimpin dan wakil rakyat kedepannya. Nasib rakyat tidak lain ditentukan oleh pemimpin melalui kebijakan publik berdasarkan ketentuan undang-undang yang sah. Sebagai pengemban amanat rakyat, penyelenggara negara sudah seharusnya memastikan kesejahteraan dan kesetaraan serta terpenuhinya hak-hak rakyat.
Mandat rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sebagaimana terpilihnya presiden, wakil presiden, legislatif serta kepala daerah melalui penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada. Sebagaimana penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada tidak bisa terlepas dari pemilihan warga negara serta partisipasi publik, yang dimana pemilihan umum adalah kunci untuk menilai sejauh mana kualitas Pemilu dan Pemilukada terselenggara dengan baik.
Partisipasi tidak hanya sekadar seberapa tingginya tingkat pemilih menggunakan hak pilihnya pada bilik suara, akan tetapi sejauh mana penggunaan hak pilihnya dilaksanakan secara sadar sebagai masyarakat pemilih. Di Indonesia sendiri, pada proses pelaksanaan demokrasi, adanya keterwakilan perempuan di lembaga publik dan dewan perwakilan rakyat, yang di mana dalam pengambilan keputusan perumusan kebijakan publik serta keputusan politik.
Partisipasi politik perempuan sesungguhnya adalah manifestasi dari pada pemenuhan hak-hak kewarganegaraan, dengan begitu perempuan memiliki hak untuk melakukan perbaikan kehidupan dalam rana politiknya. Olehnya, sebagai perempuan dan juga kelompok minoritas tidak perlu takut memperoleh perlakuan atas diskriminatif, meskipun pada kenyataannya, di arena politik masih banyak terjadi maskulinitas sebagai peran publik.
Kecenderungan inlah, yang menyebabkan lebih besarnya porsi laki-laki dalam ruang publik, sehingga demikian perempuan tidak memiliki ruang yang cukup besar pada gagasan-gagasan politik dan kenegaraan. Berbicara tentang perempuan dan laki-laki sebagai masyarakat warga negara, bukankah diantara keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tapi mengapa realitasnya berbeda, bahwa perempuan selama ini dianggap warga negara kelas dua seolah-olah tidak mampu memberikan kontribusi serta kehendak atas melibatkan dalam politik.
Bukan tanpa alasan, jika ada banyak gerakan perempuan di luar sana sedang memperjuangkan hak atas posisi dan kedudukan mereka dalam politik, suka tidak suka dan mau tidak mau perempuan juga harus menanggung dampak dari keberlangsungan rezim politik. Rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen, dalam keterlibatannya mengambil keputusan politik dan mencerminkan adanya ketidaksetaraan gender antar perempuan dan laki-laki.
Salah satu tujuan dari demokrasi adalah kesetaraan, terkhusus kesetaraan gender bahwa antara laki-laki dan perempuan sama di hadapan demokrasi dan politik. Suatu keniscayaan yang tidak bisa dipisahkan antara perempuan dengan Pemilu, yang mana perempuan juga bisa mengisi ruang-ruang kosong kepemimpinan dalam kepemerintahan yang bisa menghasilkan produk kebijakan yang responsive terhadap gender.
Sementara itu, gerakan perempuan dalam upaya mendorong keterwakilan perempuan di parlemen menjelang Pemilu 2004 kemarin, advokasi yang dilakukan dalam gerakan perempuan berhasil memasukkan gagasan atas konsep keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen ke dalam Pasal 65 UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu. Pencalonan perempuan yang minimal 30 persen di Indonesia dapat dikatakan adalah langkah tepat dan juga memberikan pengalaman politik perempuan dengan menghadirkan identitas baru dan kepentingan dalam antagonism.
Komisi pemilihan umum KPU dan badan pengawasan pemilu adalah lembaga institusi yang menjadi jantung dalam pengambilan keputusan politik, sebab peran strategis yang dimiliki lembaga KPU dan Bawaslu dapat menentukan penjaminan pemenuhan hak-hak politik warga masyarakat pemilih. Keterwakilan perempuan pada ke dua lembaga penyelenggara Pemilu sangat perlu untuk diupayakan untuk menjamin terpenuhinya hak atas politik perempuan sebagai peserta Pemilu maupun pemilih.
Tidak hanya di partai politik dan parlemen saja, akan tetapi lembaga penyelenggara Pemilu yakni KPU dan Bawaslu. Jika kita mengacu pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sangat jelas diatur hak atas politik perempuan. Di bab I tentang KPU bagian ke satu umum Pasal 10 ayat 7 bahwa, komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan keanggotaan KPU kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Sementara dalam bab kedua pengawasan Pemilu bagian kesatu umum Pasal 92 ayat 11 berbunyi, komposisi keanggotaan Bawaslu, Provinsi, dan Kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Dari representasi perempuan di parlemen dan representasi perempuan pada lembaga-lembaga penyelengara Pemilu serta representasi keterlibatan perempuan dalam pengawasan partisipatif yakni pada masyarakat masih terbilang sangat minim. Walaupun tindakan afirmasi telah dilakukan, namun kenyataan politik masih menjadi wilayah seorang maskulin. Dan untuk memastikan perempuan dapat memiliki kesetaraan dalam politik, diperlukan upaya-upaya sistematis dalam merubah kultur dan norma-norma dalam masyarakat yang kadang bertentangan dengan kesetaraan gender.
Selain itu untuk meningkatkan pendidikan politik pada perempuan harus terus menerus dilakukan, bukan hanya komunitas atau akademisi dan aktivis perempuan namun semua pihak yang memiliki kepentingan dengan menghadirkan politik yang santun, jujur, dan ramah bagi perempuan demi untuk mewujudkan demokrasi yang substantif. Sesungguhnya, bukan hanya persoalan keterwakilan perempuan dalam politik dan juga bukan hanya soal kekuasaan semata, yang paling penting adalah pengakuan secara politik terhadap perempuan bahwa, bukan hanya laki-laki yang memiliki kepentingan politik, melainkan juga perempuan.