Budaya Patriarki Menjadi Awan Kelabu bagi Perempuan di Seluruh Dunia
- vstory
VIVA – Kata “gender” sendiri dapat diartikan sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki (Website Kemenpppa.go.id). Dalam hal ini memang terdapat perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki, namun pada akhirnya hal ini menjadi tuntutan sosial dalam berperilaku yang mengerucut pada hak-hak, sumber daya, dan kuasa.
Beberapa individu yang mengalami diskriminasi gender mayoritas adalah perempuan. Mengapa? karena perempuan dianggap lemah dan tidak dapat diandalkan dibandingkan dengan laki – laki. Hal tersebut pun membuat perempuan merasa menanggung beban yang lebih berat dibanding laki-laki akibat dari ketidaksetaraan gender ini. Akan tetapi, tetap saja ketidaksetaraan ini dapat merugikan siapa pun yang menyebabkan kesetaraan gender menjadi permasalahan dalam tujuan pembangunan suatu negara.
Isu kesetaran gender yang masih banyak ditemukan adalah kekerasan fisik terhadap perempuan. Walaupun di Indonesia sendiri telah menetapkan undang-undang bagi perlindungan perempuan dari adanya kekerasan fisik. Namun, Persoalan ini masih terus terjadi dan terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kekerasan fisik terhadap perempuan merupakan suatu hal yang biasa terjadi.
Menurut survei Demografi dan Kesehatan 2003, hampir 25% perempuan yang pernah menikah menyetujui anggapan bahwa suami dibenarkan dalam memukul istrinya karena salah satu alasan berikut: istri yang memiliki perbedaan pendapat dengan suami, istri yang pergi tanpa izin suami, istri yang mengabaikan atau tidak mengasuh anak dengan baik, atau istri yang menolak ketika suami mengajak untuk melakukan hubungan intim. Hal tersebut yang pada akhirnya menjadikan isu kesetaraan gender menjadi permasalahan yang tidak ada ujungnya.
Sedangkan di Swedia, sekitar tahun 50an atau 60an negara ini telah bekerja dengan kesetaraan gender ketika pemerintahnya mulai menyadari ada keperluan lebih banyak perempuan di dalam masyarakat dan juga dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Swedia juga menjadi negara feminis pertama memiliki tujuan untuk menyebarkan nilai-nilai dan ideologi feminis demi menciptakan perdamaian dan keadilan dunia.
Meskipun Swedia telah lama memperhatikan kesetaraan gender, pada saat pemerintahan Wallstrom, akhirnya Swedia benar-benar mengambil langkah tegas demi mencapai kesetaraan gender di dunia. Hal ini dikarenakan Swedia percaya bahwa meskipun hak-hak perempuan telah sangat ditingkatkan, nyatanya banyak perempuan masih menghadapi diskriminasi di berbagai bidang.
Oleh karena itu, pemerintah Swedia melalui Kementerian Luar Negeri menekankan bahwa perspektif gender harus dimasukkan ke dalam semua bidang kebijakan luar negeri Swedia (Ministry for Foreign Affair, 2014).
Berdasarkan keadaan yang terjadi di Swedia, dapat tergambarkan bagaimana peran perempuan bisa berpengaruh untuk mengubah keadaan tersebut melalui partisipasi yang tidak dibatasi. Penanaman pengetahuan mengenai kesetaraan gender pun perlu dilakukan mulai dari usia sejak dini melalui pendidikan dasar kepada anak-anak.
Maka dari itu diperlukan kesadaran masyarakat dan pemerintah baik nasional maupun internasional akan pentingnya kesetaraan gender. Hal ini pada akhirnya dapat memacu pemerintah untuk mengatasi berbagai permasalahan. Seperti diskriminasi terhadap perempuan, anak perempuan maupun kelompok minoritas, mengatasi permasalahan kekerasan berbasis gender, menciptakan kesetaraan dan pemberdayaan di bidang ekonomi, serta pemenuhan atas hak asasi manusia yang dapat dinikmati oleh seluruh orang di dunia.