Waspadai Inflasi “Si Pemiskin”
- vstory
VIVA – Dampak dari pandemi Covid-19 belum sepenuhnya pulih. Ekonomi dalam dua tahun terakhir memang tumbuh, namun masih menyisakan masalah di antaranya pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan. Keadaan ini diperparah dengan kenaikan yang cukup tajam dari harga pangan dan energi global akibat terganggunya rantai pasok terkait krisis Rusia-Ukraina.
Ketidakpastian yang megadang dan meningkatnya proteksionisme dari banyak negara akan membawa pada meningkatnya inflasi yang cukup tinggi. Peningkatan inflasi yang cukup tinggi ini harus diwaspadai karena inflasi akan menggerus pendapatan, menurunkan daya beli dan yang ditakutkan akan menambah jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
Inflasi pada tingkat yang mengkhawatirkan hampir terjadi di semua negara. Inflasi dunia diperkirakan naik dari 6,4 persen pada tahun 2021 menjadi 9,2 persen pada tahun 2022. Tidak terkecuali Indonesia, dari rilis BPS tingkat inflasi naik dari 1,75 persen pada tahun 2021 menjadi 5,42 persen pada tahun 2022 year on year, melampaui target Bank Indonesia 3 ± 1 persen. Mekipun inflasi Indonesia relatif moderat dibanding negara yang lain namun perlu diwaspadai karena inflasi yang tinggi akan menggerus pendapatan, menggerus saving, melemahkan investasi, bahkan jika tidak terkendali dapat menimbulkan social unrest.
Inflasi di Yogyakarta
Tingkat inflasi year-on-year November 2022 di Yogyakarta sebesar 6,54 persen jauh lebih tinggi daripada inflasi year-on-year November 2021 yang hanya sebesar 2,06 persen. Jika dilihat lebih dalam, kelompok pengeluaran yang mengalami kenaikan yang paling tajam adalah kelompok Transportasi yang mencapai 13,23 persen diikuti oleh kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau yang mencapai 7,86 persen. Tingginya tingkat inflasi kelompok pangan ini tentu sangat mengkhawatirkan karena untuk keluarga miskin pengeluaran untuk pangan mencapai sekitar 60 persen dari total pengeluaran.
Dari sisi komoditas, inflasi year-on-year November 2022 terutama disebabkan oleh bensin dengan andil inflasi 1,18 persen, bahan bakar rumah tangga (0,68%), angkutan udara (0,27%), beras (0,21%), Telur Ayam Ras (0,15%), Bawang Merah (0,12%), Tempe (0,07%), Daging Ayam Ras (0,07%), dan Tahu (0,05%).
Inflasi year-on-year selama tiga bulan terakhir memang menunjukkan kecenderungan yang menurun dari 6,81 persen pada September 2022, 6,67 persen pada Oktober 2022, dan menjadi 6,54 persen pada November 2022. Namun demikian, kewaspadaan dan langkah-langkah antisipatif perlu terus diefektifkan untuk mengantisipasi naiknya perrmintaan terkait dengan perayaan natal dan tahun baru, serta terganggunya suplai akibat musim, banjir, gempa bumi, dan kenaikan harga komoditas impor seperti kedelai, daging, gula, dan tepung terigu.
Mitigasi Inflasi
Mempertimbangkan buruknya dampak inflasi terhadap rumah tangga miskin tidak mengherankan Presiden Jokowi menginginkan penanganan inflasi sama dengan penanganan pandemi COVID-19 dan melibatkan seluruh stakeholder terkait.
Berkaitan dengan penanganan inflasi di atas, langkah-langkah antistipatif dan kolaboratif perlu ditingkatkan dan diefektifkan. Pertama, inflasi pada tahun ini dan tahun depan masih akan relatif tinggi, untuk mempertahankan daya beli dan mengurangi risiko meningkatnya jumlah penduduk miskin program perlindungan sosial perlu dilanjutkan dan ditingkatkan efektifitasnya, baik dilihat dari ketepatan sasaran, jumlah, dan waktu pemberian dana perlindungan sosial.
Kedua, dalam penanganan terhadap volatile foods (komoditas bergejolak) diperlukan sinergitas yang lebih kuat antara Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP), Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), BI dan Bulog dalam menjamin ketersediaan barang, akan lebih baik jika membangun kerja sama dengan daerah-daerah penghasil untuk menjamin kontinuitas pasokan. Hal ini sejalan dengan arahan enam langkah kongkrit dari pemerintah yang harus dilaksanakan untuk pengendalian inflasi yaitu: operasi pasar murah, sidak pasar, kerja sama antar daerah, gerakan menanam, realisasi belanja tidak terduga (BTT), dan dukungan transportasi dari APBD.
Ketiga, kenaikan tarif dan harga yang diatur pemerintah seperti listrik, dan bahan bakar dilakukan secara cermat dengan mempertimbangkan daya beli rumah tangga dan tingkat inflasi yang ditimbulkan.
Keempat, memperkuat ketahanan pangan di tingkat rumah tangga melalui urban farming, pemanfaatan lahan tidur, dan diversifikasi pangan lokal. Ungkapan “belum makan jika belum makan nasi” perlu diubah, potensi pangan lokal perlu digali dan dicari jenis produk olahan yang bisa diterima oleh masyarakat. Lebih jauh lagi perlu dikembangkan hilirisasi produk-produk pertanian agar produk pertanian yang mudah busuk bisa disimpan lebih lama. Jika berhasil, hal ini akan mengurangi gejolak harga komoditas pangan.
Kelima, memperluas swasembada pangan seperti kedelai, jagung, gula pasir, daging, dan telur ayam ras untuk mengurangi ketergantungan impor dan mengurangi dampak imported inflation. Perlu dilakukan pemetaan wilayah terhadap potensi pertanian untuk mengurangi ketergantungan impor, baik impor antar provinsi maupun impor luar negeri.
Dengan sinergi, kolaborasi, dan optimisme semoga inflasi dapat dikendalikan dengan baik sehingga ekonomi kita tidak masuk pada tahap stagflasi atau bahkan resflasi. (Ir. Zunadi, M.Ec., Statistisi Ahli Madya BPS Kabupaten Sleman)