Antara Presidensi Indonesia, Perang Rusia-Ukraina dan Geopolitik G20

Tim Peneliti CSPS SKSG Universitas Indonesia UI di Kantor Sekretraiat Wakil Presiden RI, November 2022.
Sumber :
  • vstory

VIVA – Negara-negara anggota Group of Twenty (G20) memiliki sikap dan pandangan politik luar negeri yang berbeda-beda terhadap konflik fisik dan perang militer antara Federasi Rusia versus Republik Ukraina. Perbedaan ini terlihat jelas dari pendirian negara-negara G20 dalam menyikapi draf Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor ES-11/1 tanggal 2 Maret 2022.

Bahkan dinamika ini diakomodir dan tertulis jelas pada paragraf ketiga dalam G20 Bali Leader’s Declaration atau Deklarasi Pemimpin-Pemimpin G20 Bali. Kesepakatan monumental ini terdiri dari 52 poin atau paragraf, namun hanya satu paragraf yang memuat tentang perang di Ukraina, yakni paragraf ketiga. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 atau G20 Summit diselenggarakan oleh Presidensi Indonesia di Hotel Apurva Kempinski Bali, Nusa Dua, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, sejak Selasa hingga Rabu, 15 – 16 November 2022.

Berikut ini adalah bunyi paragraf ketiga dalam G20 Bali Leader’s Declaration, seperti dikutip dari situs web Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) RI di laman https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/G20 Bali Leaders' Declaration, 15-16 November 2022, incl Annex.pdf, yakni:

This year, we have also witnessed the war in Ukraine further adversely impact the global economy. There was a discussion on the issue. We reiterated our national positions as expressed in other fora, including the UN Security Council and the UN General Assembly, which, in Resolution No. ES-11/1 dated 2 March 2022, as adopted by majority vote (141 votes for, 5 against, 35 abstentions, 12 absent) deplores in the strongest terms the aggression by the Russian Federation against Ukraine and demands its complete and unconditional withdrawal from the territory of Ukraine. Most members strongly condemned the war in Ukraine and stressed it is causing immense human suffering and exacerbating existing fragilities in the global economy-constraining growth, increasing inflation, disrupting supply chains, heightening energy and food insecurity, and elevating financial stability risks. There were other views and different assessments of the situation and sanctions. Recognizing that the G20 is not the forum to resolve security issues, we acknowledge that security issues can have significant consequences for the global economy.

Dalam bahasa Indonesia, penulis menerjemahkan paragraf ketiga di atas sebagai berikut:

“Tahun ini, kami juga menyaksikan perang di Ukraina semakin berdampak buruk terhadap ekonomi global. Ada diskusi terhadap isu tersebut. Kami mengulangi kembali posisi nasional kami sebagaimana diungkapkan dalam forum-forum lainnya, termasuk Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB, yang dalam Resolusi No. ES-11/1 tanggal 2 Maret 2022, seperti diadopsi oleh suara mayoritas (141 memilih setuju, 5 menolak, 35 abstain, 12 absen), menyesalkan dengan sangat keras agresi oleh Federasi Rusia terhadap Ukraina serta menuntut penarikan penuh dan tanpa syarat dari wilayah Ukraina. Sebagian besar anggota mengutuk keras perang di Ukraina dan menekankan bahwa hal itu telah menyebabkan penderitaan manusia yang luar biasa serta memperburuk kerentanan yang ada dalam ekonomi global – menghambat pertumbuhan, meningkatkan inflasi, menggangu rantai pasokan, meningkatkan kerawanan energi dan pangan serta meningkatkan resiko-resiko stabilitas keuangan. Ada beberapa pandangan lain dan penilaian berbeda terhadap situasi dan sanksi-sanksi. Menyadari bahwa G20 bukan forum untuk menyelesaikan masalah-masalah keamanan, kami mengakui bahwa masalah-masalah keamanan dapat menimbulkan konsekuensi yang signifikan bagi ekonomi global.”

Menurut penulis, paragraf ketiga dalam G20 Bali Leader’s Declaration ini bersifat sangat akomodatif, solutif, adil dan mencakup semua serta menampilkan fakta-fakta masalah. Misalnya fakta tentang Resolusi Majelis Umum PBB No. ES-11/1 tanggal 2 Maret 2022. Fakta lainnya ialah pengakuan formal dan tertulis G20 atas beberapa pandangan lain dan penilaian berbeda terhadap situasi perang di Ukraina serta sanksi-sanksi ekonomi, sosial, budaya, politik dan diplomatik terhadap Federasi Rusia.

Dampaknya, paragraf ketiga ini menjadi win-win solution atau solusi yang saling meguntungkan bagi semua pihak sehingga tidak ada satu pun pemimpin negara-negara anggota G20 yang merasa dipermalukan di depan publik internasional. Bahkan G20 dapat terhindar dari perpecahan serius seperti perubahan nama menjadi Group of Nineteen (G19) akibat salah satu negara dikeluarkan dari forum penting ekonomi global ini. Istilah G19 diucapkan langsung oleh Presiden Republik Ukraina, Volodymyr Oleksandrovych Zelenskiy, saat hadir secara daring dan memberikan sambutan pidato politiknya di KTT G20.

Lebih lanjut, paragraf ketiga di atas menunjukkan keberhasilan pemerintah RI dalam menjalankan politik luar negeri bebas aktif selaku presidensi G20 tahun 2022. Hal ini terkait erat dengan peran pemerintah RI di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, yakni sebagai tuan rumah penyelenggara, mediator sekaligus fasilitator KTT G20 di Bali, Indonesia. Khususnya terkait upaya pemerintah untuk mewujudkan Deklarasi Pemimpin-Pemimpin G20 Bali.

Dalam konteks ini, peran Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Luar Negeri RI, Retno Lestari Priansari Marsudi, sangat vital dan signifikan. Menurut penulis, paragraf ketiga ini dapat mempertemukan pandangan negara-negara anggota G20 yang saling berbeda dan berlawanan mengenai perang antara Rusia versus Ukraina. Terdapat sejumlah poin penting yang menjadi kesepakatan bersama para pemimpin G20 di Bali terkait hal ini. Pertama, para pemimpin G20 mengakui bahwa perang di Ukraina semakin berdampak buruk terhadap perekonomian global. Kedua, para pemimpin G20 menyadari bahwa G20 bukanlah forum untuk menyelesaikan masalah-masalah keamanan. Ketiga, para pemimpin G20 mengakui bahwa masalah-masalah keamanan dapat menimbulkan konsekuensi yang signifikan bagi ekonomi global. Tiga poin kesepahaman ini berdampak sangat positif bagi keutuhan dan keberlanjutan forum G20, setidaknya hingga akhir tahun 2023.

- Sikap Rusia

Terkait perang militer dan konflik fisik antara Federasi Rusia versus Republik Ukraina, pendapat pertama disuarakan oleh pemerintah Federasi Rusia yang secara konsisten menolak keras Resolusi Majelis Umum PBB No. ES-11/1 tanggal 2 Maret 2022. Sebagai anggota G20 dan Group of 8 (G8), Rusia memiliki pengaruh yang sangat besar dalam dinamika percaturan politik dan ekonomi global. Bahkan Rusia memiliki hak veto selaku salah satu anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Presiden Federasi Rusia, Vladimir Vladimirovich Putin, pun telah memerintahkan Perwakilan Tetap (Duta Besar) Federasi Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, untuk memveto Draf Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB yang berisi Kecaman Terhadap Invasi Rusia di Ukraina pada Jumat, 25 Februari 2022. Pemerintah Rusia juga memveto Draf Resolusi DK PBB yang berisi Kutukan Terhadap Referendum di Empat Wilayah Ukraina, oleh Federasi Rusia, Sebagai Tindakan Ilegal pada Jumat, 30 September 2022. Keempat wilayah itu ialah Lugansk, Donetsk, Kherson, dan Zaporizhzhia. Pemerintah Federasi Rusia pun kembali menolak Resolusi Majelis Umum PBB pada Senin, 14 November 2022.

Resolusi itu meminta pemerintah Rusia untuk membayar ganti rugi kepada Ukraina, sebagai konsekusi atas perang yang telah dilakukan oleh Rusia sejak Februari 2022. Resolusi Majelis Umum PBB ini juga menyerukan pembentukan Mekanisme Internasional untuk ganti rugi kerusakan, kerugian atau cedera yang disebabkan oleh Tindakan Salah Secara Internasional Rusia terhadap Ukraina. Sikap tegas pemerintah Rusia ini merupakan tindak lanjut dari penolakan Negeri Beruang Putih itu terhadap Resolusi Majelis Umum PBB yang masing-masing disahkan pada Rabu, 2 Maret 2022 dan Rabu, 12 Oktober 2022.

- Sikap China, India dan Afrika Selatan

Kemudian pendapat kedua disuarakan oleh tiga negara anggota G20 yang memilih bersikap abstain terhadap Resolusi Majelis Umum PBB No. ES-11/1 tanggal 2 Maret 2022, yakni Republik Rakyat China (RRC), Republik India dan Republik Afrika Selatan. Ketiga negara juga konsisten untuk bersikap abstain atau tidak menyatakan setuju maupun menolak terhadap Resolusi Majelis Umum PBB yang disepakati pada Rabu, 12 Oktober 2022. Resolusi ini mengutuk pencaplokan ilegal Rusia terhadap empat wilayah di bagian timur Ukraina, yakni  Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia dan Kherson. Alasannya, referendum yang diselenggarakan dan didukung oleh Rusia terhadap empat wilayah di Ukraina telah melanggar hukum internasional. Dalam resolusi ini, Majelis Umum PBB mendesak semua negara dan organisasi internasional untuk tidak mengakui setiap pencaplokan Rusia terhadap empat wilayah di Ukraina. PBB juga menuntut Rusia untuk membalikkan keputusannya dengan segera dan tanpa syarat. Bahkan PBB menuntut agar Rusia "segera, sepenuhnya dan tanpa syarat menarik semua kekuatan militernya dari wilayah Ukraina dalam batas-batas yang diakui secara internasional". Majelis Umum PBB pun menyerukan ''penurunan eskalasi situasi saat ini dan penyelesaian konflik secara damai melalui dialog politik, negosiasi, mediasi, dan cara damai lainnya.'' Resolusi ini merupakan tindak lanjut dari draf Resolusi DK PBB yang telah diveto oleh pemerintah Rusia pada Jumat, 30 September 2022.

Urgensi Membangun Wadah Literasi di Era Digital

Selain itu, pemerintah ketiga negara seperti China, India dan Afrika Selatan tidak pernah memberikan sanksi-sanksi dalam bentuk apa pun terhadap Federasi Rusia, baik sanksi di bidang politik, sosial, maupun ekonomi. Bahkan pemerintah RRC selalu bersikap abstain terhadap draf resolusi yang diusulkan oleh DK PBB, yakni draf resolusi pertama pada Jumat, 25 Februari 2022, serta draf resolusi kedua pada Jumat, 30 September 2022. Demikian pula Republik India sebagai anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB. Pemerintah India bersikap abstain terhadap dua draf Resolusi DK PBB yang keputusannya disahkan pada 25 Februari 2022 dan 30 September 2022. Namun terhadap draf Resolusi Majelis Umum PBB yang disahkan pada Senin, 14 November 2022, India dan Afrika Selatan berbeda sikap dengan Negeri Tirai Bambu. Pemerintah India dan Afrika Selatan memilih konsisten untuk bersikap abstain terhadap Resolusi Majelis Umum PBB tersebut, sedangkan pemerintah China mengambil sikap tegas dengan menolak keras Resolusi Majelis Umum PBB ini. Dalam konteks ini, China satu suara dengan pemerintah Rusia yang juga menolak Resolusi Majelis Umum PBB pada Senin, 14 November 2022.

Kekompakan dan pilihan politik luar negeri yang sama antara Pemerintah China, India dan Afrika Selatan untuk bersikap abstain terhadap Resolusi Majelis Umum PBB ini dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari terbentuknya aliansi kerja sama Brazil, Russia, India, China, South Africa (BRICS) Summit atau KTT BRICS. BRICS menjadi kekuatan alternatif terhadap G7 dalam konstelasi ekonomi dan politik global yang semakin bersifat multipolar. Apalagi Federasi Rusia merupakan negara anggota BRICS yang berpengaruh besar di dunia sehingga wajar jika mendapat dukungan kuat dari China, Afrika Selatan dan India.

KTT G20 Sukses: Indonesia di Puncak Dunia?

- Sikap Negara-Negara G7, Korea Selatan dan Australia

 Lebih lanjut, pendapat ketiga disuarakan oleh negara-negara anggota Group of 7 (G7) yang juga anggota G20, yakni Amerika Serikat (AS), Persatuan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia Utara (United Kingdom / UK), Republik Prancis, Republik Italia, Republik Federal Jerman, Jepang (Nippon-koku) dan Dominion of Canada. Ketujuh negara ini secara konsisten mendukung penuh sejumlah Resolusi Majelis Umum PBB yang mendesak pemerintah Rusia untuk menghentikan perang dan operasi militer sepihak di Ukraina, lalu mundur tanpa syarat apa pun dari wilayah Ukraina yang dicaplok oleh Rusia. Resolusi Majelis Umum PBB juga sepakat untuk menolak dengan tegas hasil referendum yang diselenggarakan oleh Rusia terhadap empat wilayah di bagian Timur Ukraina, yakni Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia dan Kherson. Bahkan PBB telah mengesahkan resolusi yang meminta pemerintah Rusia untuk mengganti kerugian perang dan korban jiwa selama perang berlangsung di Ukraina. Hingga kini, terdapat tiga jenis resolusi yang telah disahkan oleh Majelis Umum PBB terkait perang di Ukraina, tepatnya pada Rabu, 2 Maret 2022, Rabu, 12 Oktober 2022 dan Senin, 14 November 2022. Lalu sebagai anggota DK PBB, tiga negara G7 seperti AS, UK dan Perancis telah menjadi sponsor dan pendukung utama dalam draf Resolusi DK PBB pada Jumat, 25 Februari 2022, dan Jumat, 30 September 2022. Namun draf resolusi DK PBB ini berakhir dengan kegagalan karena diveto oleh Federasi Rusia. Negara-negara G7 juga telah menjatuhkan beraneka ragam sanksi kepada Rusia dalam bidang ekonomi, sosial dan politik, serta budaya. Bahkan G7 berupaya keras untuk mengucilkan Rusia dalam arena diplomasi global di forum-forum PBB.

Antara KTT C20, Pancasila dan Ikhtiar Menyelesaikan Krisis Multidimensi Global

Dalam konteks KTT G20 di Bali, pendapat negara-negara G7 ini terlihat secara eksplisit pada paragraf ketiga dalam Deklarasi Pemimpin-Pemimpin G20 Bali, khususnya di poin berikut: “Sebagian besar anggota mengutuk keras perang di Ukraina dan menekankan bahwa hal itu telah menyebabkan penderitaan manusia yang luar biasa serta memperburuk kerentanan yang ada dalam ekonomi global – menghambat pertumbuhan, meningkatkan inflasi, menggangu rantai pasokan, meningkatkan kerawanan energi dan pangan serta meningkatkan resiko-resiko stabilitas keuangan”. Sikap ini juga didukung oleh dua negara sekutu utama G7, yakni Republik Korea atau Korea Selatan dan Persemakmuran Australia. Kedua negara juga sama-sama mendukung tiga jenis Resolusi Majelis Umum PBB yang telah disahkan pada Rabu, 2 Maret 2022, Rabu, 12 Oktober 2022, dan Senin, 14 November 2022. Bahkan Korea Selatan dan Australia telah memberikan sejumlah sanksi terhadap Federasi Rusia dalam bidang ekonomi dan politik.

Dukungan Australia dan Korea Selatan terhadap kebijakan politik luar negeri negara-negara G7 terkait perang di Ukraina ini sangat wajar dan logis. Penyebabnya ialah adanya perjanjian aliansi, persekutuan militer atau pakta pertahanan antara kedua negara dengan sebagian negara-negara anggota G7. Misalnya Australia pernah terikat dalam kerja sama Southeast Asia Treaty Organization (SEATO) atau Pakta Pertahanan Asia Tenggara dengan militer AS, UK dan Prancis. Australia juga terikat dalam kerja sama Australia, New Zealand, United States Securiy Treaty (ANZUS) atau Pakta Keamanan Australia, Selandia Baru, AS. Sedangkan Korea Selatan terikat dengan AS dan Jepang dalam Northeast Asia Treaty Organization (NEATO) atau Pakta Pertahanan Asia Timur Laut. Bahkan Korea Selatan menjadi negara Asia pertama yang bergabung dengan Grup Pertahan Siber North Atlantic Treaty Organization (NATO) atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara sejak Kamis, 5 Mei 2022. NATO memiliki arti penting dan peran strategis bagi negara-negara G7 karena enam dari tujuh negara G7 merupakan anggota NATO, yakni AS, UK, Prancis, Italia, Jerman, dan Canada.

- Sikap Anomali Turki

Politik luar negeri Republik Turki di bawah kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan tetap berupaya menjaga hubungan diplomatik yang hangat dan bersahabat dengan Federasi Rusia, terutama di bidang ekonomi. Di satu sisi, Turki merupakan negara anggota NATO bersama-sama dengan enam negara anggota G7 lainnya. Sebagai salah satu sekutu utama NATO, sangat wajar jika pemerintah Republik Turki selalu konsisten mendukung Resolusi Majelis Umum PBB terkait perang dan konflik militer antara Federasi Rusia versus Republik Ukraina. Republik Turki secara konsisten mendukung Resolusi Majelis Umum PBB No. ES-11/1 pada tanggal 2 Maret 2022, serta Resolusi Majelis Umum PBB pada Rabu, 12 Oktober 2022 dan Senin, 14 November 2022.

Namun di sisi lain, pemerintah Republik Turki sangat aktif untuk menyerukan negosiasi damai dan gencatan senjata (ceasefire) dalam konflik Rusia versus Ukraina. Republik Turki juga berupaya serius dalam mewujudkan perundingan damai untuk membahas solusi diplomatik atas konflik kedua negara. Bahkan Menlu Turki, Mevlut Cavusoglu, terlibat langsung dalam pertemuan tripartit antara Menlu Federasi Rusia, Sergey Viktorovich Lavrov, dengan Menlu Republik Ukraina, Dmytro Ivanovych Kuleba, pada Kamis, 10 Maret 2022, dalam perundingan di sela-sela “Antalya Diplomacy Forum” di Antalya, Turki.

Kemudian delegasi pemerintah Rusia dan Ukraina kembali bertemu dalam proses negosiasi damai di Kantor Kepresidenan Dolmabahce, Istanbul, Turki, pada Selasa, 29 Maret 2022. Pertemuan ini dibuka secara resmi dan dihadiri langsung oleh Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Turut hadir miliarder asal Rusia, Roman Arkadievich Abramovich, yang juga pemilik perusahaan investasi Millhouse Capital dan klub Chelsea. Ia hadir sebagai anggota delegasi Rusia. Pembicaraan damai ini membahas beberapa hal, antara lain jaminan keamanan, status netral Ukraina, integritas wilayah, masalah keberadaan pangkalan militer asing, dan keanggotaan Uni Eropa. Dalam pertemuan ini, delegasi Rusia dipimpin oleh Vladimir Rostislavovich Medinsky selaku Kepala Perunding. Sedangkan Delegasi Ukraina dipimpin oleh Davyd Heorhiyovych Arakhamia.

Proses negosiasi damai ini menghasilkan sejumlah tindakan nyata dalam bentuk penurunan aktivitas politik dan militer (deeskalasi konflik) secara radikal dan dalam jumlah besar. Tujuannya ialah untuk meningkatkan rasa saling percaya dan menciptakan kondisi yang diperlukan untuk negosiasi lebih lanjut.

Menurut penulis, Republik Turki memilih untuk terlibat aktif dalam proses negosiasi damai antara Rusia versus Ukraina karena kondisi riil geografis dan situasi ekonomi yang dialaminya. Turki merupakan negara yang berbagi perbatasan dengan Rusia dan Ukraina di Laut Hitam atau Black Sea. Dampaknya konflik politik, ekonomi dan militer serta sengketa kedaulatan antara Rusia versus Ukraina akan secara otomatis melibatkan Turki. Apalagi kondisi ekonomi Turki belum sepenuhnya pulih pasca pandemi Coronavirus Desease 2019 (Covid-19) sehingga kerja sama ekonomi antara Rusia dan Turki terus berlangsung hingga kini, bahkan volumenya terus meningkat saat perang berkecamuk di Ukraina. Jadi pada dasarnya, pemerintah Turki menentang pemberian sanksi dalam bentuk apa pun kepada Rusia dalam bidang sosial dan ekonomi.

- Dinamika Sikap Indonesia, Arab Saudi, Brazil, Argentina dan Meksiko

Pemerintah Republik Indonesia, Kerajaan Arab Saudi, Republik Federatif Brazil dan Republik Argentina, serta Meksiko Serikat bukanlah anggota G7 maupun G8, juga tidak menjadi anggota NATO. Dampaknya, kelima negara ini dapat menjalankan politik luar negeri dengan lebih independen dan berimbang dalam konteks perang dan konflik militer antara Rusia versus Ukraina. Apalagi Indonesia dan Arab Saudi sama-sama merupakan negara anggota OKI, Konferensi Asia Afrika (KAA), dan Gerakan Non Blok (Non Aligned Movement/ NAM).

Sedangkan Indonesia dan Meksiko sama-sama bergabung dalam kemitraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) MIKTA atau Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, Australia Summit. Adapun Brazil saat ini menjadi Anggota Tidak Tetap DK PBB dan tergabung dalam KTT BRICS atau BRICS Summit. Sementara itu, Argentina dan Brazil telah diakui oleh pemerintah AS sebagai Major non-NATO ally (MNNA) atau Sekutu non-NATO Besar, namun kedua negara tidak termasuk anggota NATO. Fakta-fakta ini membuktikan bahwa dalam banyak hal, kelima negara memiliki pandangan yang berbeda dengan negara-negara anggota G7, G8, dan NATO. Tetapi kelima negara ini juga memiliki pengaruh besar dalam percaturan politik dan ekonomi global.

Di satu sisi, kelima negara berkembang anggota G20 ini sama-sama menyetujui Resolusi Majelis Umum PBB No. ES-11/1 pada tanggal 2 Maret 2022 dan Resolusi Majelis Umum PBB pada Rabu, 12 Oktober 2022. Sedangkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB pada Senin, 14 November 2022, Meksiko dan Argentina berbeda pendapat dan pilihan politik luar negeri dengan Indonesia, Brazil, dan Arab Saudi. Meksiko dan Argentina memilih untuk setuju dan mendukung Resolusi Majelis Umum PBB tersebut.

Sikap ini berbeda dengan Indonesia, Arab Saudi dan Brazil yang memilih abstain terhadap draf resolusi itu. Artinya, dalam konteks ini, pemerintah Meksiko dan Argentina sepakat dengan sikap politik luar negeri negara-negara G7, Korea Selatan dan Australia. Namun hingga kini, baik Indonesia, Arab Saudi, Argentina, dan Brazil mapun Meksiko tidak pernah memberikan sanksi ekonomi dalam bentuk apa pun kepada Federasi Rusia. Kelima negara menilai bahwa sanksi-sanksi ekonomi tidak akan efektif untuk menghentikan perang dan invasi militer oleh Rusia terhadap Ukraina, alih-alih justru merugikan perekonomian keempat negara yang memiliki hubungan bisnis, ekonomi dan politik dengan Rusia.

Dinamika politik luar negeri yang unik dan khas dari keempat negara ini jelas sangat sesuai dengan paragraf ketiga dalam Deklarasi Pemimpin-Pemimpin G20 Bali yang memuat fakta politik riil global tentang Resolusi Majelis Umum PBB No. ES-11/1 tanggal 2 Maret 2022 serta pengakuan penting dan signifikan G20 bahwa ada beberapa pandangan lain dan penilaian berbeda terhadap situasi dan sanksi-sanksi terkait perang di Ukraina. Bahkan pemerintah Brazil, sebagai Anggota Tidak Tetap DK PBB, telah menyetujui draf Resolusi DK PBB pada Jumat, 25 Februari 2022. Namun Brazil justru memilih sikap abstain terhadap draf Resolusi DK PBB pada Jumat, 30 September 2022. Kedua draf Resolusi DK PBB yang sangat mendukung sikap politik Ukraina itu akhirnya mengalami kegagalan karena diveto oleh Rusia sebagai Anggota Tetap DK PBB. (Muhammad Ibrahim Hamdani, S.I.P., M.Si., Direktur Jaringan Strategis dan Kerja Sama Institut Inisiatif Moderasi Indonesia)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.