Din Syamsuddin dan Ajakan untuk Dunia
- vstory
VIVA - Pidato Mantan Ketua Umum Muhammadiyah 2005-2015, Prof. Din Syamsuddin sekaligus Ketua Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) di Roma, cukup menarik bagi saya untuk dikaji dari perspektif peradaban, kemanusiaan dan kebudayaan masyarakat dunia.
Di saat dunia sedang menghadapi keguncangan yang cukup serius saat Covid-19 dan pasca-nya, Prof. Din mengajak masyarakat dunia untukĀ optimisme menghadapi zaman yang terus berkembang. Bahwa pandemi bukan hambatan tetapi peluang untuk menciptakan peradaban dunia Baru (New word Civilization).
Banyak kebiasaan yang berubah, dan dunia mengarah pada lompatan-lompatan peradaban dan kebudayaan yang cukup cepat, disertai dengan perkembangan teknologi dan informasi. Dinamika kemanusiaan yang selama ini berkembang secara gradual mulai mengalami lompatan-lompatan serius.
Ingsutan menuju masyarakat informasi dan digital sudah mencapai tahap yang maju, tapi ikatan-ikatan mutual cenderung kurang permanen, kurang enganged antara kelompok masyarakat.
Saat covid kita melihat sebuah masyarakat yang terkunci dalam bilik-bilik individual mereka, dan mengenal dunia luar dalam ruang-ruang digital. Dalam situasi itu ikatan-ikatan mutual cenderung hanya bersifat sementara dan tidak permanen.
Meskipun covid telah membatasi berbagai aktivitas manusia, namun, dengan kesadaran individu itu juga masyarakat diselamatkan dari sebaran pandemi. Kerja sama untuk tidak bersama dalam bentuk fisik ini mampu menghindari laju pandemi.
Tetapi perubahan-perubahan akibat CCovid-19 ini begitu dramatis, di sejumlah negara mengalami pelbagai perubahan kebiasaan dan diikuti oleh krisis di bidang sosial dan ekonomi, sehingga tidak berlebihan kalau ini adalah sebuah era yang disebutkan oleh Francis Fukuyama (1999) sebagai "The Great Distuption".
Di saat dunia mengalami kegoncangan besar, Agama menjadi salah satu tempat untuk kembali. Agama sebagai seruan moral, memiliki posisi penting di tengah masyarakat yang sedang menghadapi krisis mutidimensi.
Dalam ajakan untuk kembali pada agama, Prof. Din Syamsuddin mengutip Al-Quran Surah Ar-Rum ayat 41. Ayat itu merupakan peringatan sekaligus refleksi kemanusiaan atas pelbagai krisis dan bencana yang menimpa umat Manusia. Mulai dari krisis kohesi sosial, krisis iklim, krisis ekonomi dan krisis lainnya yang mengarah pada kehancuran total.
Agama sebagai bagian penting bagi kehidupan manusia, memiliki tempat yang strategis untuk menghindari kehancuran itu. Karena itu dialog antar umat beragama dalam mendakwahkan peradaban dan kemanusiaan menjadi penting.
Membangun polarisasi dan sentimen keagamaan yang menyebabkan perpecahan dan pertikaian apalagi kriminalisasi agama tertentu sudah tidak relevan lagi dalam dunia yang sudah maju saat ini.
Prof. Din Syamsuddin dalam Konferensi Internasional Komunitas SantāEgidio, sebuah komunitas Katolik yang didedikasikan untuk pelayanan kemanusiaan yang didirikan di Roma 1968 itu, menekankan tentang pentingnya kerja sama agama untuk membimbing umat dan masyarakat dunia.
Dalam Pidato tanggal 25 Oktober 2022 yang membahas āLiving Together: Lessons from the Pandemicā (Hidup Bersama: Pelajaran dari Pandemi). Prof. Din mengajak masyarakat dunia untuk membangun harmoni dalam bingkai persaudaraan dan kemanusiaan antar umat beragama.
Bahwa pesan-pesan moral yang terkandung dalam kitab suci, khususnya Al-Quran, mengajak manusia untuk ta'awun, kerjasama untuk kebaikan bersama dan melarang ta'awun dalam keburukan dan perpecahan.
Kerusakan yang muncul dalam kehidupan masyarakat dunia disebabkan karena peradaban dan kemanusiaan berjalan tanpa panduan moral, khususnya panduan agama secara universal.
Menyebarnya keburukan dan meluasnya penyakit serta dicabutnya keberkahan adalah peringatan Allah atas hilangnya nilai-nilai moral yang memandu jalanya peradaban. Peringatan itu berfungsi agar manusia melakulan refleksi atas diri dan lingkungan mereka agar "mereka kembali".
Kata " Mereka kembali" dalam surah Ar-Rum ayat 41 itu ditafsirkan sebagai jalan kembali, bukan jalan mundur. Kembali yang dimaksud adalah sadar (bertaubat) pada perbuatan mereka yang menyebabkan datangnya bencana dan azab itu.
"Kembali" bukanlah mencari jalan baru dengan menempuh jalan yang belum kita kenal sama sekali. Tetapi "kembali" Yaitu, melewati jalan yang telah dikenal, tapi meninggalkan segala keburukan yang pernah dilakukan selama ini.
Pertanyaannya sekarang What to be done?
Dalam Konferensi tahunan yang mengangkat temaĀ The Cry for Peace/Il Grido della PaceĀ (Jeritan untuk Perdamaian)Ā itu Prof. Din dalam pidatonya mengajak umat antar agama untuk membangun Solidaritas kemanusiaan.
Solidaritas kemanusiaan yang terbangun antara umat manusia harus berdasarkan pada rasa saling percaya antara sesama manusia dengan menumbuhkan sikap saling menghormati, saling menjaga dan bertanggung jawab satu sama lain.
Selain solidaritas, perlu membangun kolaborasi antar umat beragama. Kolaborasi lintas agama, Kata Prof Din, tidak berarti mencampuradukkan keyakinan agama-agama, tapi kolaborasi mengambil bentuk kerja sama kemanusiaan.
Solidaritas maupun kolaborasi inilah yang disebut sebagai peradaban baru yaitu peradaban masa depan dalam bentuk yang plural. Peradaban plural yang dimaksud adalah peradaban manusia itu sendiri. Peradaban yang telah terbentang dari Sumeria Kuno hingga Mesir dan peradaban klasik, dari meso Amerika hingga peradaban Islam, Kristen dan perdaban Asia, Afrika dan peradaban Hindu, hingga dalam bentuk-bentuknya yang singular.Ā
Semua peradaban itu dijewantahkan dalam term-term yang saling keterkaitan satu sama lain. Untuk mempertahankan capaian itu, maka kolaborasi antar kebudayaan dan peradaban dalam bentuk singular harus dibangun.
Kegagalan membangun kolaborasi ini menyebabkan perjalanan sejarah peradaban bangkit dan jatuh. Penyebabnya tidak ada harmonisasi dan kolaborasi kebudayaan.
Terjadi ketidakharmonisan secara singular yang menyebabkan runtuhnya peradaban. Hal itu disebabkan dua hal yaitu perang dan otoriter atau diktator, dan atau totaliter.
Kita perlu belajar Sejarah zaman Kegelapan Eropa menyisahkan banyak problem kemanusiaan dan peradaban. Dari 300-1400 Masehi eropa mengalami zaman Kegelapan (the dark age).
Begitu juga pasca perang salib, kita melihat peradaban singular bangkit dan runtuh akibat akibat invansi dan kediktatoran. Seperti yang dikatakan Nietzche dalam Senjakala Berhala dan Anti Krist, penyebab utama hancurnya peradaban dan kultur moor disebabkan karena perang.
Dalam abad 21 Masehi, fenomena diktator, otoriter dan semacamnya telah berakhir, meskipun belum sepenuhnya. Tetapi penggunaan senjata, seperti nuklir, senjata biologis dan lainnya masih menjadi ancaman terhadap peradaban dan kemanusiaan.
Karena itu kolaborasi dan solidaritas harus dibangun sebagai jalan menuju peradaban baru, yaitu peradaban tanpa pertumpahan darah dan korban jiwa. Peradaban yang dibangun dengan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan, sehingga capaian-capaian sains dan tekhnologi yang maju dan berkemajuan tidak berbalik menjadi bencana kemanusiaan.Ā (Furqan Jurdi,Ā Ketua Komunitas Pemuda Madani & Intelektual Muda Muhammadiyah)