Hakikat Kebaikan dan Kebahagiaan
- vstory
VIVA – Sudah menjadi tabiat umum manusia untuk menginginkan kebaikan dan kebahagiaan. Bahagia adalah keinginan dan cita cita semua orang. Untuk mendapatkan itu banyak upaya yang ditempuh manusia. Banyak yang mengembangkan hobi, kesenangan, penampilan, melihat pemandangan, traveling, baju mewah, kendaraan mewah dan lain lain hanya untuk mendapatkan kebahagian.
Terkadang kalau sudah menjadi hobi bagi orang lain seperti tidak masuk akal, sebagai contoh, orang yang mempunyai hobi mancing malam-malam di tengah laut, yang tentu di tengah gelapnya malam hanya untuk mendapatkan ikan, toh kalaupun dimakan pun tidak habis, mungkin bagi penghobi akan memperoleh kebahagiaan dengan itu, akan tetapi bagi orang lain menjadi tidak masuk akal.
Ada yang mendapatkan kebahagiaan dengan gaya hidup (life style) mengkoleksi pakaian yang serba mewah, atau yang mengkoleksi mobil, motor mewah, dll. Itulah gambaran kebahagiaan hidup sementara yang bisa dinikmati di dunia. Ada yang sukanya jalan-jalan, melihat pemandangan baik di pegunungan, pantai, tempat-tempat lain yang dipandang indah, dll.
Meskipun ada sebagian orang merasa gembira dan suka cita saat hidup di dunia akan tetapi ada kecemasan, kegalauan dan penyesalan itu merusak suka ria yang dirasakan.
Orang beriman kepada Allah SWT memandang kebahagiaan itu dalam sikap taat kepada Allah dan mendapatkan Ridho-Nya, menjalankan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangannya.
Bagaimana hakikat sebenarnya dari kebahagiaan itu? Tentu jawaban orang Islam mendasarkan pada Al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Tolok ukur dari semua aktivitas manusia harus dikembalikan pada Allah SWT dan Sunnah Rasulullah sesuai atau bertentangan, kalau sesuai tentu boleh dilakukan namun kalau bertentangan ya jangan dilakukan.
Sebagaimana tersurat dalam QS. Yusuf (Surat 12, ayat 108) yang artinya "Katakanlah (Muhammad), “inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musrik”. Jadi sudah menjadi suatu keharusan bahwa orang yang beragama Islam harus mengikuti jalan dan syariat yang sudah dicontohkan Nabi dan Rasul yang kita cintai Muhammad Salallahu ‘Ala Wasalam. Jadi yang menjadi tolok ukurnya adalah bersumber kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasalullah.
Al khair yang berarti kebaikan atau kebajikan yang tidak terbatas. Dalam Q.S Ali Imran Ayat 104 yang artinya “ Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Ukuran kebaikan dan kebahagiaan yang pertama adalah ridho Allah dan sesuai dengan cara cara yang telah Rasulullah ajarkan dan contohkan. Ukuran yang kedua ada adanya halal dan thoyib, memenuhi prinsip prinsip kepatutan dan kepantasan. Misalkan dalam hal makan, maka makanan yang dikonsumsi berasal dari harta yang halal, serta dari zatnyapun juga yang halal, mengkomsumsinya tidak berlebihan dan harus thoyib tidak mempunyai pengaruh buruk pada tubuh yang mengkonsumsinya.
Ukuran Kebaikan dan kebahagiaan juga harus memenuhi prinsip kepatutan dan kepantasan, untuk memperoleh kebahagiaan juga bisa diukur dari patut dan pantas pada masyarakat (budaya dan adat istiadat). Gaya hidup (life style) yang mengagung agungkan materi (hedon), pamer materi, kekayaan, yang selain dilarang Allah SWT karena termasuk perbuatan yang melampaui batas dan tidak pernah dicontohkan Rasulullah.
Al-khair adalah nilai kebaikan universal yang datangnya dari Allah SWT, misalnya berbakti kepada orang tua, menolong orang lemah, berlaku adil, kesemuanya adalah sesuatu yang dipandang baik di sepanjang zaman dan semua budaya.
Nabi Shallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Sungguh menakjubkan keadaan orang-orang beriman. Sesungguhnya seluruh keadaan orang beriman hanya akan mendatangkan kebaikan untuk dirinya. Demikian itu tidak pernah terjadi kecuali untuk orang orang beriman. Jika dia mendapatkan kesenangan maka dia akan bersyukur dan hal tersebut merupakan kebaikan untuknya. Namun jika dia merasakan kesusahan maka dia akan bersabar dan hal tersebut merupakan kebaikan untuk dirinya. “ (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Inilah yang merupakan puncak dari kebahagiaan. Kebahagiaan adalah suatu hal yang abstrak, tidak bisa dlihat dengan mata, dan tidak bisa di beli dengan rupiah maupun dolar. Kebahagiaan adalah sesuatu yang dirasakan oleh seorang manusia dalam dirinya. Hati yang tenang, dada yang lapang dan jiwa yang tidak dirundung malang, hati yang qona’ah (selalu merasa cukup atas segala pemberian Allah SWT), itu kebahagiaan.
Bahagia itu muncul dari dalam diri seseorang dan tidak bisa didatangkan dari luar. Kembali di atas, orang yang bahagia karena hobi juga harus dikembalikan sebagai tanda syukur kepada Allah SWT, sudah diberi kesempatan menikmati mobil mewah, menyadang pakaian bagus, melihat pemandangan alam yang indah, untuk selalu besyukur akan karunia ilahi, namun dibatasi koridor tidak berlebihan dan semua yang ada digunakan untuk kebaikan dalam rangka menggapai ridho ilahi.
Imam Ibnu Al Qoyyim mengatakan bahwa tanda kebahagiaan itu ada 3 hal, yaitu bersyukur ketika mendapatkan nikmat, bersabar ketika mendapatkan cobaan dan bertaubat ketika melakukan kesalahan. Beliau mengatakan: sesungguhnya 3 hal ini merupakan tanda kebahagiaan seorang hamba dan tanda keberuntungan di dunia dan di akhirat. Seorang hamba sama sekali tidak pernah bisa lepas dari 3 hal tersebut:
1. Bersyukur ketika mendapat nikmat
Seorang hamba selalu berada dalam nikmat nikmat Allah SWT. Meskipun demikian ternyata hanya orang berimanlah yang menyadari adanya nikmat-nikmat tersebut dan merasa bahagia dengannya. Karena orang berimanlah yang senantiasa mensyukuri nikmat, mengakui adanya nikmat dan menyanjung Zat yang menganugerahkannya.
Oleh karena itu syukur dibangun di atas lima prinsip pokok: a) ketundukan orang yang bersyukur terhadap yang memberi nikmat, b) rasa cinta terhadap yang memberi nikmat, c) mengakui adanya nikmat yang diberikan, d) memuji Zat yang memberi nikmat karena nikmat yang Dia berikan, e) tidak menggunakan nikmat tersebut dalam hal-hal yang tidak disukai oleh yang memberi nikmat.
2. Sabar ketika mendapat cobaan
Manusia dalam hidup pasti mendapat cobaan, ini sudah menjadi sunatullah, semua yang ada ditubuh manusia adalah pinjaman dari Allah SWT, oleh karena itu jika Allah meminta kembali pinjaman yang ada ditubuh manusia, maka manusia wajib rela dan sabar, contohnya: Allah memberi pinjaman manusia tangan dan kaki yang semula normal kemudian qodratullah Allah meminta menjadi kaki dan tangan tidak bisa difungsikan seperti sebelumnya, maka manusia ini yang wajib rela, bersabar dan menerima apa yang Allah takdirkan untuk dirinya.
Ada tiga rukun sabar yang harus dipenuhi supaya kita termasuk orang-orang yang benar-benar bersabar, yakni: a) menahan hati untuk tidak merasa marah terhadap ketentuan Allah SWT, b) menahan lisan untuk tidak mengadu kepada makhluk, c) menahan anggota tubuh untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan ketika terjadi musibah, seperti menampar pipi, merobek baju, dll, insyaAllah jika kita mampu melaksanakannya dengan benar maka cobaan akan berubah menjadi sebuah kenikmatan.
3. Bertaubat ketika melakukan kesalahan
Jika Allah SWT menghendaki seorang hamba untuk mendapatkan kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan akhirat, maka Allah SWT akan memberikan taufik kepada dirinya untuk bertaubat, merendahkan diri dihadapan-Nya dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan berbagai kebaikan yang mampu untuk dilaksanakan.
Ulama salaf mengatakan, “ Ada seorang yang berbuat maksiat tetapi malah menjadi sebab orang tersebut masuk surga. Ada juga orang yang berbuat kebaikan namun menjadi sebab masuk neraka” banyak orang bertanya kepada beliau, bagaimana mungkin hal tersebut bisa terjadi?
Lantas beliau menjelaskan: ”Ada seorang yang berbuat dosa, lalu dosa tersebut selalu terbayang dalam benaknya. Dia selalu menangis, menyesal dan malu kepada Allah SWT. Hatinya selalu sedih karena memikirkan dosa-dosa tersebut. Dosa seperti inilah yang menyebabkan seorang mendapatkan kebahagiaan dan keberuntungan. Dosa seperti itu lebih bermanfaat dari berbagai bentuk ketaatan, karena dosa tersebut menimbulkan berbagai hal yang menjadi sebab kebahagiaan dan keberuntungan seorang hamba. Sebaliknya ada juga yang berbuat kebaikan, akan tetapi kebaikan ini selalu dia sebut-sebut di hadapan manusia (tidak ikhlas). Orang tersebut akhirnya menjadi orang sombong dan mengagumi dirinya sendiri disebabkan kebaikan yang dia lakukan. Orang tersebut selalu mengatakan ‘saya sudah berbuat demikian dan demikian’. Ternyata kebaikan yang dia kerjakan menyebabkan timbulnya ‘ujub, sombong, membanggakan diri dan merendahkan orang lain. Hal-hal ini merupakan sebab kesengsaraan seorang hamba. Jika Allah masih menginginkan kebaikan orang tersebut, maka Allah akam memberikan cobaan kepada orang tersebut untuk menghilangkan kesombongan pada dirinya. Sebaliknya, jika Allah tidak menghendaki kebaikan pada orang tersebut, maka Allah biarkan orang tersebut terus menerus pada kesombongan dan ‘ujub. Jika ini terjadi, maka kehancuran sudah berada di hadapan mata”.
Al Hasan al-Basri mengatakan, “Carilah kenikmatan dan kebahagiaan dalam tiga hal, dalam sholat, berdzikir dan membaca Al Qur’an, jika kalian dapatkan maka itulah yang diinginkan, jika tidak kalian dapatkan dalam tiga hal tersebut maka sadarilah bahwa pintu kebahagiaan sudah tertutup bagimu”.
“Tidak ada kelezatan selezat mengingat Allah,” kata Malik bin Dinar.
Ibrahim bin Adham mengatakan, “ Seandainya para raja dan para pangeran mengetahui bagaimana kebahagiaan dan kenikmatan tentu mereka akan berusaha merebutnya dari kami dengan memukuli kami dengan pedang”. Itulah rasa kebahagiaan dan nikmat dalam Islam, dalam selalu berinteraksi dengan Al Qur’an, tidak lepas dengan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah meridhoi kita untuk menggapai kebaikan dan kebahagiaan baik di dunia dan utamanya di akhirat yang lebih baik dan lebih kekal. Aamiin.