Sulitnya Ekonom Menembus Tembok Oligarki

Ilustrasi oligarki
Sumber :
  • vstory

VIVA - Pengamat ekonomi Indonesia saat ini belum ada yang mampu menembus tembok kekuasaan oligarki. Paling hanya segelintir seperti Kwik Kian Gie, Christanto Wibisono (Alm), George Aditjondro (Alm), dan Prof AB Susanto (Alm).

Tanpa bisa melihat akses di balik tembok konglomerat, ya dari luar, kita hanya melihat indikator Indonesia secara Makro. Pengamat seperti Faisal Basri, Rizal Ramli hingga Profesor ahli di Universitas Indonesia pun banyak yang tidak bisa melihat the unseen, isinya di dalam tembok konglomerat.

Ibarat film kungfu, jagoan Ip man berantem di dalam ruangan yang pintu nya ditutup. Gedebak gedebuk kita tahunya salah satu pemenang keluar. Yang bonyok masih di dalam.

Karena mereka ada the missing piece, maka tidak pernah bisa melihat baik. Itu ibarat gambar lukisan tapi kurang satu puzzle.

Kenapa ekonom tidak bisa menembus tembok konglomerat?

Kekuasan dipegang segelintir pemilik kapital. Jumlahnya konglomerat sedikit. Bisa dihitung dengan jari. Sifat kekuasaan mereka adalah keluarga. Walaupun Salim group itu perusahaan raksasa, namun tetap perusahaan keluarga. Jadi kalau bukan keluarga, Walaupun kita profesor pun tidak bisa menembus.

Kedua, hubungan besan di antara mereka pun terbatas. Misalnya besannya Pemilik Astra dan kelompok Kalbe Farma. Atau besannya Djarum Group dengan Wings group. Besannya Lippo group dengan Mayapada dan RS Siloam ABC group.

Apabila pengamat ekonomi tidak menembus tembok kekuasaan oligarki, maka pengamat tidak paham kehendak konglomerat. Sehingga mereka tidak bisa menggambarkan gerakan konglomerat. Otomatis semua gerakan konglomerat berjalan senyap. Luput dari sorotan.

Ekonom Sebut Prabowo Minta Sri Mulyani Lanjut Jadi Menkeu Direspons Positif Investor Asing

Menurut teori Milton Friedman, sekali lagi, rezim moneter sudah melakukan jumlah suplai uang beredar bertambah. Akibatnya pemain bisnis besar akan cenderung terus menerus membutuhkan jumlah suplai uang bertambah besar. Otomatis perilaku mereka mirip dengan orang misqueen. Bedanya yang misqueen lapar. Sedangkan konglomerat terjerat utang.

Bukankah mereka punya public relation?

RI Deflasi 5 Bulan Beruntun, Ekonom Soroti Melambatnya Konsumsi

Itu dulu. Sekarang tugas PR manager di sana adalah menutup berita. Misalnya, sempat Anton Salim memposting hadiah ulang tahunnya yaitu produk baru citato rasa indomie goreng. Langsung bagian PR manager bertugas meredam berita. Sebab launching produk harus melalui izin BPOM.

Selain itu perusahaan menggunakan sejarah lama untuk pemberitaan. Misalnya Harjo Sutanto Pemilik Wings group. Itu sudah 10 tahun lalu meninggal dunia.

Ekonom Sebut PPN Naik Jadi 12 Persen Bisa Biaya Program Makan Bergizi Gratis Prabowo

Tadinya dipikir hubungan konglomerat dengan militer itu usai, atau cerita jadul. Ternyata, dari zaman Tapos sampai sekarang, kisah hubungan dengan militer jalan terus.

Itu sudah sejak zaman Sampek Ingtai, ceritanya juga tentang percintaan yang terhalang oleh Kapiten. Bahkan sejarah uang zaman Romawi, uang dulu digunakan untuk upah tentara.

Kenapa kok Dwifungsi ABRI bisa bubar?

Pada saat reformasi, TNI menarik diri kembali ke barak. Politik tingkat tinggi dimainkan TNI dengan cantik. Daripada tidak dikehendaki rakyat, TNI mundur teratur. Lebih baik mereka back up di belakang.

Lalu kenapa kok banyak tentara yang menjaga bisnis swasta kemudian mundur?

Rupanya intelijen TNI, yaitu Asintel di kodam, korem, kodim mereka menyebar dan melaporkan TNI yang menjaga bisnis swasta . Sedangkan pengawasan Polri mandul. Akibatnya mereka kendor dan bablas.

Pada saat perang, tentara berperang tidak butuh uang. Rakyat pun hanya budak petani. Tidak perlu uang. Tapi saat tentara pulang, mereka diberi upah keping coin emas, reward tentara kaisar.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.