Liberalisasi Pasar Ciptakan Impor Pangan Hancurkan Usaha Pertanian Rakyat

Aktivitas bongkar muat beras impor asal Vietnam di atas kapal Sumber : ANTARA FOTO/Budi Candra Setya
Sumber :
  • vstory

VIVA – Liberalisasi perdagangan di tengah kemampuan sektor pertanian domestik dan daya saing yang lemah di pasar global, telah meruntuhkan banyak usaha pertanian rakyat serta menciptakan ketergantungan pada impor yang tinggi dan permanen.

RI Hentikan Impor Garam Tahun Depan, Menko Zulhas: Harus Swasembada

Liberalisasi pasar pangan telah mendorong impor pangan secara berlebihan, termasuk melalui jalur illegal, sehingga secara jelas merugikan, bahkan menghancurkan pertanian rakyat.

Ada beberapa contoh, misalnya pasca krisis 1997, liberalisasi pasar kedelai dilakukan atas dorongan IMF. Sepanjang 1998 – 2001, impor kedelai melonjak hampir dua kali lipat, dari sebelumnya di kisaran 800 ribu ton, menembus 1,4 juta ton.

Bahlil Benarkan RI Impor Nikel di Tengah Upaya Hilirisasi RI, Begini Penjelasannya

Di saat yang sama (1998-2001), produksi kedelai domestik jatuh drastis dari 1,3 juta ton menjadi hanya kisaran 850 ribu ton, dan sejak saat itu tidak pernah mampu bangkit kembali hingga kini.

Indonesia kini rutin mengimpor kedelai lebih dari 2 juta ton setiap tahunnya. Terakhir, pada 2021, ketika impor kedelai mencapai 2,5 juta ton, produksi kedelai nasional hanya sekitar 425 ribu ton, bahkan disinyalir hanya di kisaran 240 ribu ton.

Impor Daging Domba Disetop kerena Diduga Tekan Harga Peternak Lokal, Kementan Sidak ke 13 Gudang Importir

Bergantung pada pasar pangan global memunculkan kerentanan yang tinggi pada ketahanan dan kemandirian pangan nasional. Kerentanan terbesar datang dari ketidakpastian pasokan dan harga pangan internasional.

Lonjakan harga pangan dunia di tengah ketergantungan tinggi pada impor, memunculkan kerentanan, yang bahkan masih terjadi pada komoditas pangan utama yaitu beras.

Dalam 2 dekade terakhir, sepanjang 2001 – 2021, harga beras impor telah melonjak dari kisaran US$ 200 per ton menjadi US$ 450 ton per dollar. Pada rentang waktu yang sama, Indonesia tercatat beberapa kali melakukan impor beras dalam jumlah signifikan, antara lain tahun 2011 (2,8 juta ton) dan 2018 (2,3 juta ton).

Kewaspadaan menjadi keharusan ketika produksi domestik sangat ringkih. Dalam 4 tahun terakhir, produksi beras Indonesia cenderung menurun, dari 33,9 juta ton pada 2018, menjadi 31,4 juta ton pada 2021.

Dalam kasus impor bawang putih bahkan memberi indikasi bahwa harga pangan global yang murah akan menghancurkan produsen domestik. Sebelum krisis 1997, sekitar 80 persen kebutuhan nasional mampu dipenuhi produksi domestik. Harga bawang putih impor saat itu berada di kisaran US$ 1.000 per ton.

Namun pasca 1997, seiring liberalisasi impor, harga bawang putih impor jatuh secara drastis di kisaran US$ 200 per ton hingga 2005. Seiring itu, ketergantungan pada impor bawang putih melonjak drastis dari kisaran 20 persen pada 1997 menjadi 90 persen pada 2005.

Sejak itu, di atas kehancuran petani bawang putih domestik, sekitar 95 persen kebutuhan bawang putih nasional dipenuhi dari impor. Namun, setelah produksi domestik hancur dan ketergantungan impor sangat tinggi, harga bawang putih impor terus naik secara progresif.

Bila pada 2009 harga bawang putih impor hanya di kisaran US$ 400 per ton, kini pada 2021 telah menembus US$ 1.100 per ton. Di periode yang sama, impor bawang putih terus meningkat dari kisaran 400 ribu ton pada 2009 menjadi kisaran 600 ribu ton pada 2021.

Ketergantungan Indonesia pada gandum pun sangat mengkhawatirkan karena gandum sepenuhnya di-impor dan Indonesia kini, sejak 2019, telah bertransformasi menjadi importir gandum terbesar di dunia. Pada 1970-an, impor gandum hanya di kisaran 500 ribu ton, kemudian melonjak di kisaran 3 juta ton pada 1990-an, dan kini telah menembus 11 juta ton.

Pada krisis pangan global 2022, harga gandum pun terpengaruh dan melonjak hingga 40 persen, dari $ 377 per ton pada Desember 2021 menjadi $ 522 per ton pada Mei 2022.

Arah kebijakan ke depan seharusnya mendorong gerakan pangan berkelanjutan yang dekat dengan konsep ketahanan dan kemandirian pangan. Mempromosikan pengembangan lumbung pangan lokal, usaha pertanian berbasis keluarga, serta akses ke pangan segar dan terjangkau dengan memberi penekanan pada keterikatan desa kota untuk kelancaran arus distribusi pangan.

Dalam kerangka kebijakan ini, mempertahankan lahan pertanian produktif dan pertanian skala kecil, terutama jawa, adalah sebuah keharusan. (Meli Triana, Peneliti Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS))

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.