Upaya Menjadi Manusia Otentik
- vstory
VIVA – Manusia merupakan makhluk sosial dalam berkehidupan. Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu saling mengisi sekatnya sebagai masing - masing pribadi yang menciptakan sisi kolektif. Melalui manusia sebagai makhluk sosial ini pula, peradaban dan keadaban kehidupan muncul menyebar menjadi satu proses panjang kehidupan dunia.
Secara sederhana, manusia sebagai makhluk sosial adalah ihwal di mana manusia selalu membutuhkan orang lain dalam menjalankan dan memenuhi kehidupan. Hal ini tentu merupakan konsep paten yang melekat pada setiap manusia, tak mengenal batas, kondisi, jabatan, atau hal lainnya, kebutuhan seorang manusia atas manusia lainnya itu selalu dan terus akan ada.
Manusia dalam menjalani kehidupan, akan sangat tergantung pada manusia lainnya, ketergantungan inilah yang menjadi cerminan manusia itu sendiri, karena berbagai kelemahan dan ketidakmampuan menjangkau beberapa hal, hidup bersanding satu dengan lainnya adalah wujud nyata apa yang kemudian boleh jadi kita katakan dengan bertahan hidup.
Sebab, melalui ketergantungan ini juga, manusia akan disadarkan kondisi dan perannya sebagai makhluk yang tak mampu berdiri sendiri dan bersikap sombong, mereka yang congkak terhadap status kemanusiaannya dan sombong serta sungkan atas kebersamaan adalah bentuk kefakiran sisi kemanusiaan itu sendiri.
Misalnya, jika kita melihat contoh sederhana, di awal kehidupan saja, manusia terlahir dalam berbagai keterbatasan. Ketika pertama kali lahir di dunia, manusia muncul dengan keadaan tidak memiliki apapun baik dalam arti yang batiniyah maupun lahiriyah. Seiring berjalannya waktu, keterbatasan ini pun berangsur mulai terpenuhi dan berganti dengan kebutuhan lainnya, dan yang terjadi di setiap proses pergantian ini adalah, manusia selalu terlibat dengan manusia lainnya.
Melalui ketergantungan ini pula, manusia senantiasa dilucuti kondisi bahwa dengan berbagai hegemoni yang di takhtakan pada manusia, kemajuan zaman modern yang sentimen atas ilmu pengetahuan, atau jutaan kekuatan teknologi pengatur musim dan pemusnah harapan, manusia sekali lagi tetap saja tidak mampu menjadi pencipta. Manusia hanya akan menjadi objek sang Maha sesungguhnya, yang berdiri kokoh tak terjangkau apapun, yang bahkan oleh kalimat terjangkau sekalipun.
Meski dalam kenyataannya di lapangan, manusia selalu menemui jalannya yang mencerminkan kekuatan super sebagai makhluk yang paling baik diantara makhluk lainnya, bahkan dalam ajaran agama, beberapa legitimasi tentang kedudukan manusia yang diimani umat – umat tertentu yang cenderung disalahpahami tidak benar – benar mampu menciptakan manusia menjadi super juga.
Sebaliknya kalau mau mendalami lebih, setiap kelebihan manusia dibanding makhluk lainnya adalah bentuk penguatan adanya Dzat lain yang satu – satunya menjadi satu, manusia yang kemudian bisa kita istilahkan sebagai hamba ciptaan tak lain adalah laboratorium mandiri agar kita semua mampu melihat dan memahami Dzat yang mulia itu.
Munculnya Konsepsi
Hakikat dari manusia sebagai makhluk sosial adalah munculnya berbagai konsepsi semacam aturan, norma, dan hukum yang hadir sebagai sarana penjagaan terhadap keberlangsungan hidup manusia. Melalui konsepi - konsepi ini setiap manusia membawa nilai yang ada di dalamnya agar mampu menjadi landasan kestabilan serta tujuan mulia kesejahteraan kehidupan.
Konsepsi ini muncul ke permukaan sebagai satu kesepakatan bersama komunitas manusia tertentu, muncul untuk mengatur carut marut kehidupan dunia yang keras dan penuh tumpah ruahnya. Menjalani setiap aturan ini artinya kita ikut memberi sumbangsih kehidupan agar mampu menjadi lebih baik lagi. Dan sebaliknya, keluar dari koridornya adalah bentuk kerdilnnya kesadaran kehidupan bersama kita, yang seringkali membawa petaka di kemudian hari.
Konsepi semacam ini adalah seperangkat aturan baku dan interpretasinya bisa dilakukan sesuai kondisi dan posisi konteksnya, jalannya pun bakal dinamis, berkembang mengikuti pesatnya arus kehidupan manusia itu sendiri.
Semakin berkembangnya kehidupan manusia, artinya semakin ragam pula muncul konsepsi ini, setiap konsepsi akan diikuti oleh masing-masing kepentingannya, satu hal yang perlu dikawal kemudian adalah adanya potensi konsepsi yang diberlakukan justru hanya bedasarkan pragmatisme belaka, konsepsi yang awalnya berjalan guna menggapai kesejahteraan malah jadi legitimasi kekuasaan sepihak yang sarat akan kedzaliman.
Menjalakan konsepsi ini juga jangan sampai salah kaprah penggunaannya, jangan sampai malah atas dasar menerapkan setiap aturan yang ada, penghormatan terhadap koridor lain yang muncul akibat kemajemukan manusia dilewatkan begitu saja. Klaim atas implementasi hukum maupun moral segelintir golongan yang justru mengintimidasi kalangan lainnya yang secara warna, kultur, atau konstruksi latar belakang pemikiran berbeda adalah hal omong kosong berbau bunga.
Di permukaan terlihat mapan dan penuh keharuman, namun realitasnya penuh perilaku ketidakadilan dan diskriminasi. Sekali lagi konsepsi yang bertujuan atas jutaan kebaikan, jika dilakukan dengan salah kaprah akhirnya hanya akan berbuntut pada sentimen dan tendesi yang tak berujung yang mendistorsi mimpi akan kehidupan yang layak atas kebersamaan. Apakah kemudian kehidupan semacam ini layak dihadirkan ?
Kita mungkin belum mampu mengubah dunia dan tatanannya secara keseluruhan, apalagi dengan dominasi kekuasaan yang hari ini sangat sukar untuk sekadar ditelusuri siapa pemeran utamannya, tapi paling tidak dengan memahami bahwa hidup sebagai manusia individu yang membutuhkan individu lain membuat kita mulai menjadi pribadi yang tak terlalu apatis atas realitas sosial dengan segala dinamikannya.
Kita mungkin tak mampu dengan mudahnya menjadikan kelompok kita atau golongan yang kita ikuti sebagai golongan yang sebaik – baiknnya dalam menjalani kehidupan. Namun patut dilangsungkan bahwa mementingkan urusan golongan lainnya juga mesti menjadi jati diri serta nyawa yang menghidupi gerakan kita semuanya, berlomba dalam kebaikan memang perlu dilakukan, tapi outputnya harus menghasilkan kebaikan pula. Kebaikan penghormatan lintas golongan adalah harga mahal yang perlu ditanam dan tumbuh kembangkan terus menerus demi kehidupan yang selalu mencerminkan realitas kebersamaan.
Manusia dalam Konteks Alquran
Manusia dalam konteks Quran, adalah sebaik-baik ciptaan. Misalnya, Laqod kholaqna al-insaana fii ahsani taqwiim. Ini adalah potensi. Potensi itu berangkat dari fakta bahwa manusia dikaruniai akal sehingga bisa mengelola berbagai macam urusan dan ‘lebih powerful’ dibanding makhluk lain, untuk mejadi sebaik-baik ciptaan.
Di sisi lainnya, perlu kita ingat betul juga, bahwa dengan akal pun manusia bisa terperosok pada keadaan asfala safiliin, jatuh pada serendah-rendahnya tempat. Artinya, akal sebagai kelengkapan manusia, masih berupa potensi. Meskipun, tetap kita sepakati bahwa akal adalah satu variabel yang menjadikan makhluk berjalan tegak yang dinamai manusia.
Pada cakupan yang lain, Tuhan juga mengatakan bahwa manusia adalah hamba-Nya. Wamaa kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun. Tak tercipta jin dan manusia, kecuali untuk beribadah, mengabdi, menghamba pada Tuhan penciptanya. Barangkali justru inilah posisi manusia.Â
Dari keduanya seolah kita menemukan dua arah berlawanan atas apa yang Tuhan sematkan pada diri manusia. Pada satu sisi Tuhan memberi keleluasaan manusia dengan segala kelengkapan akalnya untuk menjadi makhluk versi terbaik. Namun di sisi sebaliknya, justru tidak muluk-muluk, manusia dikehendaki Tuhan cukup untuk mengabdi kepadaNya.
Barangkali dengan menemukan akurasi dan keseimbangan antar keduanyalah, manusia bisa menuju titik paling berat. Inni ja’ilun fil ardhi kholifah. Dijadikannya dia sebagai khalifah: pengelola, penyelenggara, dan pada beberapa definisi lain diartikan pula sebagai wakil Tuhan di Bumi. (Muhamad Ikhwan Abdul Asyir, Manajer Program Al Wasath Institute, Formatur DPD IMM Jawa Tengah 2022)