Menafsir Ulang Masa Awal Sastra Indonesia Modern
- vstory
VIVA – Menulis sejarah sastra Indonesia memang tidak mudah. Kesulitan terbesar dalam mencatat sejarah sastra, khususnya sastra Indonesia modern, adalah menentukan awal periode kelahirannya.
Menurut beberapa kritikus sastra, sastra Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1920-an. Banyak buku sejarah sastra Indonesia modern mengambil pendapat ini sebagai awal munculnya sastra Indonesia.
Alhasil, meski merupakan produk bangsa kolonial, kemunculan Balai Pustaka pada saat itu menjadi tonggak sejarah penting dalam sejarah sastra Indonesia. Di masa lalu, ketidaktepatan penulis dalam mengumpulkan fakta dan data membuat perjalanan sastra Indonesia tidak lengkap. (Bahtiar, 2018).
Karya yang terbit sebelum tahun 1928 lazim digolongkan pada sastra Angkatan ’20 atau angkatan Balai Pustaka.
Beberapa sastrawan berpendapat karya ini tidak dapat dimasukkan “golongan hasil sastra Indonesia”, melainkan hanya “sebagai hasil sastra Melayu Baru/Modern”.
Alasannya, karya-karya tersebut “bertentangan sekali dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia itu”. Dengan dasar, pembagian sastra Indonesia dengan a) Pra Pujangga Baru atau Pra Angkatan ’33 (1928-1933); b) Pujangga Baru angkatan ’33 (1933 – 1945); dan c) Angkatan ’45, dan seterusnya.
Pendapat lain adalah bahwa beberapa ahli sastra berpendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia Modern adalah pada tahun 1920. Pasalnya, pada saat itu novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar lahir.
Terlepas dari apakah isi novel ini bersifat nasional atau tidak, yang jelas bacaan tersebut adalah karya pengarang Indonesia yang pertama kali terbit di Indonesia dalam bahasa Indonesia.
Selain tokoh dan latar di Indonesia, bentuknya berbeda dengan karya sastra lama sebelumnya. Dengan kata lain, bentuk sastra sudah “modern” dan tidak “kuno” lagi, tidak lagi seperti cerita tentang keraton, legenda atau bentuk sastra lama lainnya. Oleh karena itu, masa itu dijadikan sebagai lahirnya Sastra Indonesia Modern.