Meninjau Fenomena LGBT di Indonesia dalam Perspektif KUHP
- vstory
VIVA – Polemik LGBT di Indonesia sedang hangat-hangatnya menjadi perbincangan belakangan ini. LGBT yang merupakan singkatan dari Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender ini berkembang dengan pro kontra. Kelompok pro dengan pendapat bahwasannya LGBT mempunyai hak yang setara di dalam undang-undang, dan juga mempunyai hak yang sama dari segi kemanusiaan.
Sementara dengan kelompok yang kontra berpendapat jika LGBT melanggar norma masyarakat dan perkawinan sejenis bukanlah hal yang bermoral, terlebih lagi di Indonesia yang menganut budaya ketimuran.
Di Indonesia LGBT sudah merebah ke beberapa daerah dan kota-kota besar. Perilaku yang menyimpang ini begitu meresahkan seluruh elemen masyarakat khususnya yang berada di Indonesia. LGBT ini sudah dianggap merusak peradaban manusia dan menyalahi aturan dalam eksistensi manusia.
Bukan hanya itu, LGBT juga dinilai akan berimbas kepada kejahatan atau kriminalitas yang di mana akan berakibat sangat buruk untuk kemajuan Indonesia. Maka dari itu diperlukan hukum yang tegas untuk mengatur hal seperti itu. Mengenai komunitas LGBT tersebut sebenarnya menuai banyak kekurangan di dalam peraturan hukum, contohnya yang diatur dalam KUHP terdapat dalam Pasal 281 hingga pasal 303 KUHP.
Jika melihat pada Pasal 292 KUHP yang berbunyi “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.”
Maka dari pasal tersebut ditunjukkan kepada korban sesama jenis yang usianya di bawah umur atau masih anak-anak. Jelas ini berbeda dan tidak bisa dijadikan landasan hukum karena berbeda dengan kasus utamanya. Artinya masih terjadi kekosongan hukum di sini yang harus dibenahi oleh pemerintah jika ingin menghilangkan LGBT di Indonesia, dan negara juga harus mengobati para LGBT ini karena LGBT adalah penyakit yang dapat disembuhkan.
Di dalam kitab undang-undang Hukum Pidana Indonesia terdapat satu hal yang menarik bahwasannya peletakan LGBT ini adalah sebuah fakta, sehingga persetubuhan antara sesama jenis yang dilakukan secara suka sama suka antar orang dewasa tidak bisa dimasukan dalam kategori kesusilaan.
Dalam Pasal 292 dijelaskan bahwa hubungan sesama laki-laki (Homoseksual) dan sesama perempuan (Lesbian) yang telah dewasa bukan merupakan tindak pidana. Di dalam hukum pidana Indonesia, hal seperti ini adalah sebuah fakta dan bukan sesuatu yang dapat diatur. Peraturan dan palarangan hanya melindungi anak dibawah umur. Artinya hubungan sesama jenis akan menjadi tindak pidana apabila ada korban yang di bawah umur, dan tujuannya agar anak tersebut tidak terganggu kejiwaannya di masa depan.
Meskipun Pasal 292 KUHP tidak dapat dijadikan landasan dasar untuk menjerat pelaku KUHP karena tidak memenuhi unsur yang terkandung di dalam pasal tersebut, dan korbannya pun di bawah umur, namun jika menelaan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang pornografi menyatakan persenggamaan, termasuk yang menyimpang. Yang dimaksud dengan “Persenggaman menyimpang” adalah persenggaman dengan mayat, oral sex, anal sex, lesbian, dan homoseksual.
Jadi meskipun Pasal 292 KUHP tidak bisa dijadikan landasan untuk menjerat pelaku LGBT , Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 bisa menjadi rujukan untuk menjerat pelaku LGBT. Sanksi pidananya terdapat dalam Pasal 29 dengan pidana paling singkat 6 (Enam) bulan dan paling lama 12 (Dua Belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000.00 (Enam Miliar Rupiah).
Perbuatan LGBT dianggap penyakit yang dapat menular kepada orang lain. Untuk itu, selain merumuskan dengan baik perbuatan itu dengan kebijakan hukum yang sudah ada, juga harus disertai dengan tujuan pemidanaan yang dapat menanggulangi perbuatan tersebut yang juga berorientasi mengobati para LGBT tersebut. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah memperbaiki kerusakan yang bersifat individu maupun sosial. Tujuan pemidanaan harus berorientasi pada pandangan integratif atau pembaharuan, seperti dalam kasus LGBT, tujuan pemidanaan diarahkan kepada perbuatan pelaku dan juga demi perbaikan pelaku LGBT tersebut.
Jadi kebijakan terhadap LGBT jika mengacu pada Pasal 292 KUHP tidak bisa jadikan landasan untuk menjerat pelaku LGBT. Namun jika melihat dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang pornografi dapat menjadi rujukan untuk menjerat pelaku LGBT, dan sanksi pidananya terdapat pada pasal 29 karena merupakan tindakan yang bertentangan dengan pendapat umum terutama pemuka agama di Indonesia banyak yang menolak keberadaan LGBT.
Struktur kebijakan kriminal terhadap LGBT tidak hanya bisa dilakukan dengan pendekatan hukum pidana, karena mempunyai faktor yang cukup kompleks. Sedangkan hukum pidana mempunyai batasan untuk menanggulanginya. Maka untuk mengatasi LGBT diperlukan kebijakan kriminal yang menggunakan pendekatan penal dan non-penal.
Pemerintah perlu membuat payung hukum untuk mengatur masalah LGBT di Indonesia dengan mengancam dengan sanksi pidana dan selama belum ada payung hukum khusus yang mengatur tentang LGBT, pemerintah harus antisipasi seperti melakukan kampanye anti LGBT untuk menghindari generasi yang hilang arah (Lost Generation) di masa yang akan datang. Penanggulangannya harus difokuskan kepada upaya pencegahannya agar tidak ada faktor yang signifikan yang dapat menimbulkan dan membuat peluang bagi terjadinya tindak pidana tersebut.