Siapa Menangguk Untung di Balik Berita Halal-Haram Cuan Vaksin?

Pengurus YKMI saat menunjukkan Lampiran Putusan MA terkait kewajiban Pemerintah menyediakan Vaksin Halal
Sumber :
  • vstory

VIVA – Pada tanggal 14 April 2022, masih suasana bulan Ramadhan, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor 31P/HUM/2022. Isinya mengabulkan permohonan hak uji materiil yang diajukan Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI).

Yayasan itu menggugat uji tafsir Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020. Beleid itu mengatur tentang kewenangan pemerintah dalam menetapkan dan menentukan jenis vaksin yang digunakan untuk vaksinasi Covid-19.

Isi Perppres itu, menurut gugatan YKMI, terlalu luas. Karenanya harus ditafsirkan resmi. YKMI menuntut supaya Pasal itu ditafsirkan merujuk dengan UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU JPH. Dua aturan itu yang dijadikan batu uji.

Di petitum, YKMI menuntut supaya Pasal 2 Perpres itu wajib ditafsirkan bahwa jenis vaksin yang digunakan untuk vaksinasi Covid-19, wajib dijamin kehalalannya. Jadi tak bisa sekadar jenis vaksin belaka.

Sebelumnya, program vaksinasi telah terjalan sejak covid-19 merebak. Pemerintah menentukan jenis vaksin yang digunakan. Berlandas Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) HK.01.07/Menkes/6424/2021 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19), tanggal 21 September 2021, ada 9 jenis vaksin yang digunakan untuk vaksinasi tahap satu dan dua. Jenis vaksin itu adalah Sinovac, Sinopharm, AstraZeneca, Novavax, Moderna, Pfizer, Cansino Bilogical Inc./ Beijing Institute of Biotechnology, The Gamaleya National Center of Epidemiology and Microbiology (Sputnik V).

Sebelumnya, tanggal 11 Januari 2021, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa No.2 Tahun 2021. Isinya menyatakan vaksin jenis Sinovac dinyatakan suci dan halal. Bisa digunakan untuk umat Islam. Sinovac telah mengantongi sertifikat halal.

Kemudian, tanggal 16 Maret 2021, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2021, yang isinya bahwa jenis vaksin AstraZeneca dinyatakan mengandung bahan tripsin babi. Ini dinyatakan haram. Tak layak digunakan umat Islam. Dan, tanggal 28 September 2021, MUI mengeluarkan Fatwa Nomor 53 Tahun 2021, yang menyatakan vaksin jenis Zifivax dinyatakan halal.

Pada tahun 2022 ini, Fatwa halal No.8 juga telah diberikan Vaksin Merah putih, produksi dalam negeri oleh PT Biotis Pharmaceuticals Indonesia dan Fatwa No.9 untuk vaksin jenis Sinopharm diproduksi oleh Beijing Insitute of Biological Products.

Adanya vaksin yang tak halal, mengandung bahan tripsin babi, ini meresahkan kalangan ulama. Kyai Said Aqil Siradj, kala itu saat masih menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (NU) sempat mengeluarkan statement agar pemerintah memberikan vaksin halal bagi umat Islam. Dan Fatwa MUI perihal halal haram vaksin, tak diindahkan pemerintah.

Vaksinasi tahap satu dan kedua selesai. Tanggal 11 Januari 2022, Presiden Joko Widodo menyatakan akan menyelenggaran vaksin tahap ketiga (booster). Esok Menteri Kesehatan menggelar jumpa pers, vaksin untuk booster diberikan gratis. Dan, terbitlah Surat Edaran Direktur Jenderal P2P Kemenkes, tanggal 12 Januari 2022. Nomor HK.02.02/II/252/2022. Isi surat edaran itu, menyatakan jenis vaksin yang digunakan untuk booster hanya ada tiga jenis: AstraZeneca, Moderna, dan Pfizer.

Ini yang membuat berang. YKMI telah mengajukan keberatan administrasi atas terbitnya Surat Edaran itu. Tapi tak ditanggapi. Karena tiga jenis vaksin itu, tak satu pun memenuhi kriteria UU Jaminan Produk Halal.

Ingat, dasar hukum program vaksinasi itu hanya setingkat Peraturan Presiden. Keluarnya Fatwa MUI, anjuran ulama dan cendikiawan muslim, tak diindahkan pemerintah. Karena program booster masih menggunakan vaksin yang tak halal. Alias mengandung bahan tripsin babi. Sementara vaksin yang halal, yang suci, telah tersedia.

Dari sini, YKMI pun bergerak. Atas dasar kegelisahan ulama dan cendikiawan muslim, atas sikap pemerintah yang tetap memberikan vaksin non halal pada umat Islam. Karena perintah halal dan haram itu, dasarnya adalah Al Quran dan Sunnah. Konstitusi UUD 1945, juga menjamin hal itu.

Bahwa warga negara berhak menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Umat Islam berhak untuk mendapatkan vaksin halal, karena itu bagian dari ibadah. Agar tak disuntikkan vaksin yang mengandung unsur babi di dalamnya. Ini mutlak jaminan Konstitusi. Artinya, warga negara muslim harus diberi jaminan diberikan vaksin yang halal. Yang tak mengandung unsur babi di dalamnya.

Tanggal 14 April 2022, MA mengetok putusan Hak Uji Materiil itu. Isinya mengabulkan gugatan YKMI. Pasal 2 harus ditafsirkan resmi, bahwa pemerintah wajib menjamin kehalalan vaksin.

Keluarnya putusan MA itu, membuat berang sebagian kalangan. Terutama para broker dan “pemain’ vaksin non halal. Terjadi dialektika.

Putusan MA, penuh dasar hukum kuat. Karena UU Jaminan Produk Halal dan PP No.31/2019 telah menyatakan tegas. Pasal 1 ayat (1) UU JPH menyatakan, bahwa produk adalah barang dan jasa, termasuk di dalamnya makanan, minuman, obat, kosmetik, kimiwai, produk biologi, produk rekayasa genetik dan lainnya, yang digunakan dan dimanfaatkan masyarakat. Ini jadi domain dalam UU JPH.

Lalu Pasal 4 beleid itu juga mengatur, “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia, wajib bersertifikat halal.”

Lalu bagaimana dengan vaksin? Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan No.10 Tahun 2021 menyatakan defenisinya. Vaksin, menurut Permenkes itu, adalah produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup yang dilemahkan.

Nah, dari defenisi ‘vaksin’ Permenkes itu, maka ‘vaksin’ adalah masuk dalam kategori ‘produk biologi.’ Ini masuk dalam jangkauan UU JPH. Artinya, wajib bersertifikat halal. UU dan PP yang mengaturnya. Maknanya, Perpres No. 99 Tahun 2021 yang mengatur jenis dan vaksinasi, wajib tunduk pada aturan diatasnya: UU JPH dan PP 99/2021 tadi.

Maka, sejatinya semua vaksin wajiblah bersertifikat halal. Ini perintah UU JPH dan PP tersebut. Tapi vaksin yang bersertifikat halal hanya ada beberapa jenis saja: Sinovac, Sinopharm, Merah Putih dan Zifivax. Jenis vaksin itu yang dikatakan telah memenuhi UU JPH dan PP 99/2021 tersebut.

Sementara vaksin jenis AstraZeneca telah dinyatakan haram oleh Fatwa MUI. Vaksin jenis Moderna, Pfizer, sama sekali tak memiliki sertifikat halal. Ini tak memenuhi kriteria UU JPH. Ini yang jadi kewajiban pemerintah untuk bertanggungjawab menyediakan vaksin halal.

Keluarnya Putusan MA, memerahkan kuping banyak pihak. Karena menyasar bahwa vaksin yang tak memenuhi kriteria UU JPH dan PP 91/2021 itu, tak layak digunakan umat Islam. Itu semestinya. Tapi vaksinasi tahap ketiga (booster) seperti dikebut. Jadi syarat mudik Lebaran 2022. Alhasil umat Islam, berbondong-bondong banyak disuntik vaksin yang non halal. Padahal Putusan MA telah keluar, dan wajib dipatuhi.

Putusan MA itu, menohok para pemain vaksin non halal tadi. Maka, beberapa hari setelah putusan itu menjadi polemik di masyarakat, muncul opini tentang keunggulan jenis vaksin AstraZeneca, Moderna dan Pfizer. Ketiga jenis vaksin ini, merujuk pada UU JPH dan Putusan MA itu, tak layak lagi digunakan. Karena belum memiliki sertifikat halal tadi.

Terjadi penggiringan opini. Seolah AstraZeneca dan vaksin lainnya itu, lebih unggul dari sisi medis dan Kesehatan. Ini berlangsung beberapa hari. Karena desakan pemerintah untuk melaksanakan Putusan MA, makin menguat. Panitia Kerja (Panja) DPR yang dibentuk terkait vaksin, juga mendesak pemerintah melaksanakan Putusan MA dan menyediakan vaksin halal bagi umat Islam. Maka, pemain vaksin non halal, makin terjepit. Karena Putusan MA bersifat mengikat dan final. Tak ada banding atau kasasi.

Lalu, terbitlah majalah Tempo, tanggal 16 Mei 2022. Laporan utama dengan judul cover “Halal-Haram Cuan Vaksin”. Isinya sangat provokatif dan terkesan melawan hukum. Karena memberi judul kecil di cover depannya, “Mahkamah Agung memaksa pemerintah memakai vaksin Covid-19 bersertifikat halal. Ada kepentingan bisnis keluarga sejumlah politikus PDI-Perjuangan.”

Tempo telak sekali salah arah. Karena penggunaan vaksin halal, bukan pemaksaan. Melainkan perintah dari UU dan PP 99/2021. Tapi Tempo menggiring opini, seolah vaksin halal ini proyek dari salah satu jenis vaksin: zifivac. Ini kesalahan fatal sebuah media. Karena pemaksaan penggiringan opini. Tanpa data valid dan sahih.

Laporan Utama media itu menurunkan beberapa rangkaian tulisan. Tulisan Pertama berjudul “Keluarga Banteng di Vaksin Halal.” Ini lucu dan menggelikan. Dalam lead beritanya, langsung memberikan opini penggiringan.

“Mahkamah Agung memutuskan pemerintah harus menyediakan vaksin halal. Produsen vaksin Zifivax di Indonesia yang sudah mendapatkan label halal dari Majelis Ulama Indonesia, dikuasai oleh kerabat sejumlah elit PDI-Perjuangan….”

Dari paragraf pertama dan paragraf kedua, tak menyambung. Tapi memaksa, bahwa seolah ‘vaksin halal’ ini demi upaya mengegolkan Zifivax. Dan, Tempo memaksakan itu.

Lalu Tempo menceritakan kisah Zifivax dalam proses melakukan halalisasi vaksinnya. Lalu, tetiba Tempo menuliskan, vaksin Zifivax muncul setelah gugatan YKMI dikabulkan oleh MA. Ini jelas tanpa data sama sekali. Karena dalam gugatan YKMI, disebutkan vaksin halal itu adalah Sinovac, dan Zifivax, sebagai jenis vaksin yang telah mendapatkan sertifikat halal. Tapi Tempo hanya mengutip dan mengarahkan bahwa seolah-olah vaksin halal itu hanya ada satu: Zifivax.

Dan, muncul juga opini dari Tempo: “Gugatan YKMI ke Mahkamah Agung disebut-sebut menguntungkan JBio sebagai produsen Zifivax di Indonesia.”

Ini jelas opini dari Tempo sendiri. Tanpa ada data pendukung. Karena tak ada sumber yang dikutip Tempo perihal tuduhan itu. Murni memasukkan opini penulis dalam beritanya. Ini jelas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Karena kode etik mewajibkan, wartawan dilarang memasukkan opini dalam tulisannya.

Lantas, Tempo mulai mengarah tentang profil Zifivax. Padahal kaitan antara YKMI, gugatan ke MA dan Zifivax, sama sekali tak ditemukan. Tapi Tempo langsung memaksa memprofilkan perusahaan JBio, yang di dalamnya keluarga politikus PDIP Perjuangan. Inikah yang disebut investigasi?

Hal itu, mungkin bisa disambungkan, jika Tempo misalnya, menemukan adanya aliran dana Zifivax kepada YKMI secara langsung. Atau ditemukan adanya dokumen keterkaitan antara YKMI dan Zifivax terkait perjuangan untuk mengegolkan Zifivax agar digunakan oleh Kemenkes untuk vaksinasi. Tempo, tak menemukan apa-apa terkait hal itu. Selain hanya mengarang dan menggiring opini belaka. Tak ada investigasi di dalamnya.

Kemudian, yang didapat Tempo hanya mengaitkan antara kegiatan focus group discussion (FGD) yang dibuat YKMI, sebelum mengajukan gugatan ke MA. Disitu memang YKMI mengundang humas dari Zifivax sebagai salah satu narasumber. Tapi FGD itu berlangsung tiga hari. Banyak narasumber diundang, sebagai penguatan bahan untuk mengajukan gugatan. Ada dari MUI, pihak PT Bio Farma (Sinovac), akademisi, ulama dan lainnya.

Tak sekadar mengundang Zifivax. Karena keperluan mengundang Zifivax, untuk mempertanyakan, benarkah stok vaksin halal itu terbatas? Ternyata tidak. Vaksin halal itu mudah dibuat dan stoknya sangat banyak. Karena selama ini pihak Kemenkes selalu berdalih, bahwa stok vaksin yang halal, itu jumlahnya terbatas.

Anehnya, Tempo hanya menyajikan perihal statement dari pihak JBio Indonesia, yang memproduksi vaksin Zifivax. Di sinilah kelihatan keberpihakan Tempo dan memaksakan ‘framing’-nya kepada pembaca beritanya. Karena Tempo sama sekali tak pernah mengutip pendapat dari pihak PT Bio Farma atau pihak Sinovac.

Bahkan tak menyinggung tentang vaksin merah putih, yang juga telah dinyatakan halal. Dan Tempo mengenyahkan tentang keberadaan vaksin Sinopharm, yang juga halal. Tapi terus mencecar dan berusaha menyambung-nyambungkan antara gugatan YKMI dan Zifivax. Inilah bentuk penggiringan opini Tempo, yang jelas bertentangan dengan kode tik jurnalistik.

Lalu mengapa Tempo berbuat demikian?

Pasca Putusan MA itu, memang sejumlah pemasok vaksin yang terancam dengan Putusan MA, yang tak memiliki sertifikat halal, terus menggalang opini. Mereka membuat opini di mass media, --seperti opini yang dibuat oleh Tempo—itu. Bahwa seolah vaksin yang tak halal itu, memiliki keunggulan secara medis dan lebih valid dari sisi sains.

Karena stok vaksin yang belum bersertifikat halal itu, masih bejibun jumlahnya. Putusan MA telah mengancam stok itu terbuang percuma, karena tak lagi bisa digunakan oleh umat Islam, sebagai mayoritas pengguna vaksin di Indonesia. Tentu banyak cuan akan terbuang karenanya.

Hasto Sebut Partai Coklat Masif Bergerak di Pilgub Sumut: Kami Khawatir dengan Pak Edy Rahmayadi

Jalan satu-satunya, adalah memaksa bahwa ‘vaksin tak halal’ itu sebagai juga ‘vaksin halal’. Atau mencari celah tentang Putusan MA, supaya bisa tetap dipergunakan vaksin yang tak halal itu. Dari situlah tampak bahwa seolah mass media dipergunakan untuk operasi vaksin ‘tak halal’ itu untuk memenuhi keinginannya.

Tempo tampaknya menyahuti hasrat itu. Dengan menampilkan bahwa seolah-olah dibalik Putusan MA yang memberi jaminan pada umat Islam itu, ada kongkalikong bisnis vaksin. Padahal salah sama sekali. Justru yang tampak, pemberitaan Tempo itu seolah memberi kesan bahwa media sekaliber itu telah menjadi humas bagi pihak yang dirugikan karena adanya Putusan MA itu. Sayang sekali.

Pemuda Katolik di Jabar Didorong Berpartisipasi Lebih Aktif  Awasi Penyelenggaraan Pilkada

Maka, dapatlah ditarik kesimpulan siapa yang menangguk untung di balik investasi semu “Halal-Haram Cuan Vaksin”. Karena juga ada cuan di baliknya. (Fat Haryanto Lisda, Sekretaris Eksekutif YKMI)

Ilustrasi vaksin COVID-19

Sidang Perkara Vaksin Halal di PTUN Jakarta Masuk Tahap Pembuktian

Vaksin halal disebut sangat penting bagi umat Islam. Oleh karena itu, Yayasan Konsumen Muslim Indonesia belum berhenti memperjuangkannya.

img_title
VIVA.co.id
8 September 2022
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.