Pendidikan yang Berkeadilan Menghadapi Era Metaverse
- vstory
VIVA – Menjadi negara berkembang dengan masalah kemiskinan yang belum selesai adalah masalah utama Indonesia hingga saat ini. Ada 26 juta orang miskin di Indonesia di tahun 2021. Pendidkan dan kemiskinan adalah dua mata sisi yang saling berkaitan erat. Anak usia sekolah di keluarga-keluarga miskin adalah mesin yang dianggap sebagai tenaga kerja yang harus ikut menopang ekonomi keluarga. Menjadi hal biasa ketika angka putus sekolah melonjak tinggi diakibatkan oleh faktor ekonomi di atas.
Data Kemdikbudristek, ada 75.303 angka putus sekolah di semua jenjang pendidikan yang didominasi sekolah dasar. Melihat angka di atas, menimbulkan satu pertanyaan mendasar bagaimana kesiapan kita menghadapi bonus demografi? angka di atas mungkin saja kecil jika dibandingkan usia produktif masyarakat Indonesia dalam angka.
Namun, jangan lupa kemiskinan akan mewariskan kemiskinan yang dikenal dengan istilah kemiskinan struktural. Keadaan akan terus berlangsung sehingga mata rantainya menjadi abadi dan sukar untuk terurai. Angka putus sekolah yang harus segera diselesaikan itu memang menjadi rumit ketika berhadapan dengan sosial budaya dan kondisi masyarakat.
Sampai saat inipun pemerintah gencar untuk menyalurkan segala bentuk bantuan langsung tunai untuk meredam efek kemiskinan termasuk juga menyalurkan PIP. Semua itu hanya bersifat sementara dan tidak memberikan solusi jangka panjang. Program kartu prakerja hanya menyasar sebagian masyarakat berpendidikan dan justru tidak menyentuh mereka-mereka yang rentan mengalami kemiskinan struktural.
Kemiskinan struktural adalah masalah yang dihadapi semua negara berkembang. Namun, Indonesia memiliki sedikit kelebihan dibandingkan dengan negara-negara tersebut. Kekayaan alam yang melimpah ruah sebenarnya bila digunakan dengan adil dan merata bisa memutus mata rantai kemiskinan struktural.
Program transmigrasi juga tidak semarak seperti di zaman Pak Harto. Masyarakat enggan bertransmigrasi, padahal melihat potensi pangan saat ini, dengan perubahan iklim yang tidak mudah terbaca negara ini masih menjadi pengimpor pangan untuk semua bahan baku. Bahkan dari negara yang tidak punya lahan pertanian seperti Singapura.
Menjadi petani memang bukan pilihan, tidak seperti di negara lain, petani menjadi pekerjaan yang makin diminati generasi mileniall sehingga ekonomi menjadi tidak terpusat hanya pada profesi terntentu. Ada begitu banyak lahan tidur di Indonesia. Di Kalimantan saja ada satu juta hektar lahan gambut yang belum diolah maksimal.
Pendidikan seyogyanya akan memutus mata rantai kemiskinan. Menjadi ironis, ketika pendidikan justru menjadi barang mahal yang tidak bisa dicicipi oleh sebagian generasi muda negara ini. Amanat UUD untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi utopia.
Hak warga negara adalah mendapatkan pendidikan dasar dan menengah. Menjadi suatu paradox di tengah dunia yang berlomba-lomba memasuki era metaverse, kita masih saja bergulat dengan angka putus sekolah yang belum menemukan solusi nyata. Mewariskan kemiskinan dan juga kebodohan seharusnya tidak perlu lagi terjadi di tengah-tengah pembangunan infrastruktur yang gila-gilaan.
Pendidikan bukanlah barang mewah. Semua orang harus dan bisa punya akses terhadap pendidikan yang berkualitas. Menjadikan suatu golongan sebagai bagian yang terpinggirkan adalah diskriminasi yang harus diakhiri.