RUU Sisdiknas dan Nasib Madrasah
- vstory
VIVA – Di Indonesia, aturan mengenai Sistem Pendidikan Nasional di atur dalam Undang – undang Nomor 3 Tahun 2003, dikenal dengan istilah UU Sisdiknas. Pendidikan wajib memegang beberapa prinsip utama, prinsip ini antara lain adalah ; pendidikan dilaksanakan secara demoktratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi nilai dan hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai budaya, dan sadar akan kemajemukan yang ada di Indonesia dengan menjadi satu kesatuan yang sistemis dengan sistem terbuka multimakna.
Dalam penyelenggaraan sistem, pendidikan ini juga harus dalam suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang nantinya akan berlangsung sepanjang hayat dengan memberi keteladanan, membangun kemauan atau niat dan hasrat yang kuat, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran yang ada.
Melalui pengembangan budaya membaca, menulis, berhitung, bagi setiap peserta didik, lebih luas bahkan bagi seluruh warga masyarakat dan serta memberdayakan semua elemen yang terlibat dengan peran sertanya dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Dalam perjalanannya hadirnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini juga semakin memperkuat kedudukan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional termasuk madrasah.
Hal ini berarti pengelolaan, mutu, kurikulum, pengadaan tenaga, dan lain-lain yang meliputi penyelenggaraan pendidikan nasional juga berlaku untuk pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Sudah tentu pengintegrasian Pendidikan Islam sebagai sub-sistem pendidikan nasional menuntut berbagai penyesuaian di dalam arti yang positif.
Posisi integrasi pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional tercermin dalam beberapa aspek. Pertama, merupakan aspek yang paling penting pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur dan jenis pendidikan.
Kedua, dalam Sistem Pendidikan Nasional, madrasah dengan sendirinya dimasukkan ke dalam kategori pendidikan jalur sekolah. Jika sebelum ini terdapat dualisme antara sekolah dan madrasah, maka dengan kebijakan ini dapat dikatakan bahwa madrasah pada hakekatnya adalah Sekolah.
Wacana Revisi UU Sisdiknas
Namun demikian, pesatnya arus globalisasi dan perkembangan kehidupan sekarang ini pada kenyataannya mengharuskan perlu adanya perubahan penyelenggaraan pendidikan, perubahan yang disesuaikan dengan berbagai kebutuhan dan kesesuaiannya dengan kondisi yang ada di lapangan dewasa ini.
Dari segi dasar hukum misalnya, wacana mengenai pembaharuan UU Sisidiknas pun menjadi perbincangan hangat. Banyak pihak yang setuju akan revisi yang dilakukan ini, ada juga pihak yang menganggap bahwa revisi UU semacam ini bukanlah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi sekarang.
Dilihat dari segi urgensinya, revisi UU Sisdiknas ini dinilai bakal memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia secara fundamental. Revisi UU Sisdiknas bertujuan menyingkronkan seluruh undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan agar tidak ada tumpang tindih antara satu peraturan dengan peraturan lainnya.
Setidaknya ada 23 undang-undang yang berkaitan dalam bidang pendidikan yang perlu disinkronisasi. Di antaranya; UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, UU 43/2007 tentang Perpustakaan, UU 12/2010 tentang Gerakan Pramuka, UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU 11/2014 tentang Keinsinyuran.
Kemudian UU 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran, UU 3/2017 tentang Sistem Perbukuan, UU 18/2019 tentang Pesantren, UU 11/2010 tentang Cagar Budaya, UU 13/2018 Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.
Di sisi lainnya, revisi UU Sisdiknas ini dinilai belum sepenuhnya perlu untuk dilakukan, maka revisi ini akan menjadi kurang optimal outputnya, pada tahapan implementasinya, revisi yang dilakukan juga sarat akan berbagai hal yang belum terpenuhi, misalnya keterlibatan unsur masyarakat yang dinilai masih terlalu sedikit.
Kritik lainnya yang lebih ramai menjadi bahan perbincangan juga ialah tentang hilangnya term madrasah dalam draf RUU Sisdiknas yang ada, hilangnya term madrasah ini menuai polemik karena seakan-akan semakin mendiskreditkan posisi dan peran sekolah keagamaan dalam bingkai pendidikan nasional, padahal integrasi madrasah dan pendidikan keagamaan lain dalam pendidikan nasional ini merupakan hal yang pelaksanaannya perlu dimaksimalkan, tapi mengapa justru malah dihilangkan?
Menanggapi berbagai isu dan polemik yang ada demikian, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melakukan berbagai klarifikasinya. Misalnya dikutip dari siaran pers Kementerian Pendidikan Riset Dan Tekonologi No. 167 /sipers/A6/III/2022, “Dengan mengedepankan semangat gotong royong dan inklusif, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terus berkolaborasi dengan Kementerian Agama untuk mengakselerasi kualitas pendidikan di Indonesia, termasuk selama proses revisi Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Untuk itu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menegaskan satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama (madrasah) akan tetap ada dalam RUU Sisdiknas”
Terkait penghapusan madarasah atau satuan Pendidikan lain dari sistem pendidikan nasional Nadiem Anwar Makariem selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi ( Mendikbudristek ) pun menjelaskan dalam sipers tersebut bahwa hal semacam itu tidak akan dilakukan, bahkan sedari awal tidak ada keinginan seperti itu.
Lanjut Nadeim menjelaskan bahwa hal semacam itu adalah hal yang tidak masuk akal dan tidak pernah terbesit sekalipun di benaknya.
Menteri Nadiem menekankan sekolah maupun madrasah secara substansi akan tetap menjadi bagian dari jalur-jalur pendidikan yang diatur dalam batang tubuh dari revisi RUU Sisdiknas.
“Yang kami lakukan adalah memberikan fleksibilitas agar penamaan bentuk satuan pendidikan, baik untuk sekolah maupun madrasah, tidak diikat di tingkat undang-undang,” tutur Menteri Nadiem.
Nantinya, penamaan secara spesifik seperti Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (Mts), atau Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah (MA) tidak diikat di tingkat undang-undang sehingga lebih fleksibel dan dinamis.
Yaqut Cholil Qoumas selaku Menteri Agama pun ikut mengomentari perbincangan yang beredar terkait hilangnya kata madarsah ini, Yaqut menegaskan, tidak pernah ada rencana penghapusan bentuk-bentuk satuan pendidikan melalui revisi RUU Sisdiknas. Menurutnya, penamaan secara spesifik seperti SD dan MI, SMP dan MTS, atau SMA, SMK, dan MA akan dijelaskan dalam bagian penjelasan.
"RUU sisdiknas telah memberikan perhatian yang kuat terhadap eksistensi pesantren dan madrasah, nomenklatur madrasah dan pesantren juga masuk dalam batang tubuh dan pasal-pasal dalam RUU Sisdiknas," kata Yaqut, Rabu (30/3).
Sejatinya, apa yang menjadi Langkah pemerintah mengenai kebijakan sistem pendidikan nasional ini semoga menjadi fondasi terwujudnya tujuan mecerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Jalinan kerja sama antara kemendikbudristek dan kementerian agama semoga memberikan solusi atas berbagai problematika penyelenggaraan pendidikan kita.
Tak lupa, evaluasi dan sosialasasi yang maif perlu dilakukan dengan serta merta melibatkan elemen lain seperti pakar pendidikan, agama, maupun masyarakat umumnya dalam perbaikan dan penerapan rancangan undang undang sistem pendidikan nasional ini.