Harga Pangan Jelang Ramadhan dan Lebaran
- vstory
VIVA – Beberapa bulan menjelang bulan Ramadhan dan Lebaran tahun ini sudah terjadi kenaikan harga pangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka inflasi Indonesia pada Januari 2022 sebesar 0,56 persen, yang dipicu kenaikan harga sejumlah bahan makanan.
Kelompok makanan, minuman dan tembakau memberikan andil inflasi pada Januari sebesar 0,30 persen. Tiga komoditas yang memberikan andil inflasi dalam kelompok bahan makanan adalah daging ayam ras dengan andil 0,07 persen, ikan segar 0,06 persen dan beras 0,03 persen.
Sebetulnya kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat sudah terjadi sejak awal triwulan IV tahun 2021, meskipun ada sedikit deflasi pada Februari 2022. Sementara pada Maret 2022 di beberapa daerah sejumlah bahan pokok dilaporkan kian mahal. Harga telur, cabai, beras, daging, minyak goreng dan sejumlah kebutuhan pangan sehari-hari masyarakat mengalami kenaikan.
Harga cabai rawit merah melonjak tajam dari harga normal yang biasanya Rp30 ribu-Rp40 ribu per kilogram (kg), kini menjadi Rp68 ribu-Rp70 ribu per kg. Kemudian daging ayam naik dari Rp33 ribu per kg menjadi Rp39 ribu per kg. Lalu, daging sapi juga dari Rp130 ribuan per kg menjadi Rp140 ribuan per kg. Demikian pula dengan telur, dari biasanya Rp22 ribu-Rp23 ribu per kg sekarang menjadi Rp25 ribu-Rp26 ribu per kg. Â Minyak goreng kemasan juga masih lebih dari Rp25 ribu per liter.
Efek domino
Kenaikan harga berbagai komoditas pangan yang belakangan ini kian mahal, sedikit banyak merupakan efek domino dari kenaikan harga minyak mentah di pasar global dan Perang Rusia-Ukraina. Hal ini menyebabkan rentetan akibat, yang pada ujungnya memicu kenaikan harga berbagai komoditas pangan di dunia tak terkecuali di Indonesia.
Kebutuhan minyak nasional sebanyak 1,4 juta barel per hari, selama ini hanya mampu dipenuhi sekitar 800 ribu barel per hari dari produksi nasional. Sebanyak 600 ribu barel harus dipenuhi dari impor. Akibatnya, ketika harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan imbas perang Rusia-Ukraina ditambah karena faktor lain, maka dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat. Masyarakat mau tidak mau harus menghadapi kenaikan harga pangan.
Saat ini tidak banyak pilihan yang bisa diambil para pelaku usaha berkait pangan. Ketika pangsa pasar usaha ini menurun selama pandemi Covid-19, disadari bahwa daya beli masyarakat memang berubah. Para pelaku usaha berkait pangan tidak lagi leluasa menaikkan harga jual pangan yang dihasilkan seperti masa-masa sebelumnya. Bagi pelaku usaha berkait pangan yang ingin  tetap bertahan di masa sulit seperti sekarang, harus pintar-pintar menyiasati kondisi perekonomian yang labil.
Sejumlah upaya yang dikembangkan pelaku usaha pangan untuk menyiasati situasi seperti ini adalah:
Pertama, ketika harga bahan baku dan biaya operasional naik, tidak sedikit pelaku usaha kini pelan-pelan mulai menaikkan harga komoditi yang mereka hasilkan. Di berbagai daerah, harga produk pangan olahan atau produk akhir mulai naik harganya atau ukurannya manjadi lebih kecil daripada sebelumnya. Dengan demikian kenaikan harga bahan baku pangan di pasaran menyebabkan banyak pelaku usaha produksi pangan terpaksa menyesuaikan harga atau mengurangi ukuran produk yang mereka jual ke pasaran.
Kedua, dalam beberapa kasus sebagian pelaku usaha berkait pangan berusaha menyiasati keadaan dengan menekan margin keuntungan. Upaya yang dilakukan dengan cara penghematan biaya produksi, sehingga menurunkan kualitas produk yang dihasilkan. Akan tetapi upaya seperti ini tidak akan bertahan lama. Konsumen yang kritis biasanya tetap menghendaki kualitas produk yang mereka beli  adalah tetap bahkan meningkat. Kejadian ini sering menyebabkan pelaku usaha berkait pangan justru kehilangan pelanggan setianya karena kualitas produknya tidak lagi sama.
Perhatian pada pasokan
Untuk memastikan agar efek domino dari perang Rusia-Ukraina tidak menyebabkan masyarakat harus menanggung beban berat kenaikan harga pangan, peran pemerintah dalam hal ini sangatlah penting.
Kelangkaan pangan di pasar, salah satunya bisa disiasati dengan kebijakan impor. Demikian pula kenaikan harga pangan bisa ditahan dengan mekanisme subsidi. Di luar itu, langkah yang lebih efektif adalah dengan menangani akar masalah kenaikan harga pangan, yakni bagaimana memastikan stok pangan di pasaran bisa dipenuhi dari kemampuan nasional sendiri.
Swasembada pangan adalah harapan yang sudah lama digaungkan. Hingga saat ini harapan itu belum juga terealisasi. Semoga dengan belajar dari masa lalu, pemerintah tidak lagi hanya berkutat pada penanganan yang sifatnya reaktif dan temporer. Di samping itu petani perlu mulai diarahkan untuk menggunakan praktik-praktik budidaya yang efisien, yang lebih murah, dan tentunya lebih ramah lingkungan.
Implementasi sistem perizinan impor otomatis atau automatic licensing import diperkirakan dapat meningkatkan efisiensi dan menjaga ketersediaan pangan di pasar. Efisiensi yang dimaksud dalam hal ini adalah komoditas yang diimpor bermanfaat untuk menstabilkan harga dan bisa menjaga daya beli masyarakat karena diputuskan lewat proses yang singkat.
Selama ini dirasakan keputusan-keputusan strategis dalam kebijakan perdagangan pangan selalu diambil lewat rapat koordinasi terbatas antar kementerian dan juga berbagai persyaratan yang menghabiskan waktu. Sistem perizinan impor otomatis diharap dapat mempersingkat proses tadi dan menciptakan ekosistem perdagangan yang lebih sehat dan kompetitif.
Proses panjang yang terjadi selama ini membuat impor pangan Indonesia sering kehilangan momentum yang tepat yaitu mendapatkan harga di pasar internasional sedang murah. Selain itu proses ini juga tidak cukup cepat merespons adanya kenaikan harga yang terjadi di pasar. Akibatnya saat komoditas yang diimpor memasuki pasar Indonesia, keberadaannya tidak cukup sukses untuk menstabilkan harga di pasar yang sudah terlanjur tinggi.
Masuknya komoditas impor tidak jarang juga berbenturan dengan masa panen petani di mana komoditas tersedia melimpah, akan membuat harga turun, sehingga petani lokal jadi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan.
Selain itu kebijakan perdagangan harus dibarengi dengan kebijakan pertanian yang fokus pada peningkatan daya saing produsen dalam negeri. Faktor domestik yang menyebabkan harga tinggi harus diatasi melalui kebijakan seperti peningkatan penelitian dan pengembangan, akses ke input yang lebih murah, dan perbaikan infrastruktur.
Untuk menghindari lonjakan harga yang kian parah, pemerintah perlu rajin melakukan operasi pasar menjaga harga. Lalu memastikan semua pedagang dan distributor mengeluarkan stok mereka dan tak ditimbun agar harga tidak makin mahal.
Sementara itu rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen akan dimulai pada bulan depan. Kenaikan tarif ini diharapkan tak menyasar pada bahan makanan rakyat, seperti sembako. Hanya memerlukan antisipasi pada  faktor shock (kejut) yang mempengaruhi psikologis pasar kebutuhan pangan.