Perang di Era 4.0 Transformasi Pemimpin dari Homo Deus ke Homo Sapiens

Sumber : Invasi rusia; sumber The Washington Post
Sumber :
  • vstory

VIVA – Masyarakat dunia tengah berduka, Putin menginvasi Ukraina. Semua terkejut, semua terpengarah. Siapa yang membayangkan? Abad 21 yang di mana kita semua menyaksikan maha karya manusia yang dikenal  dengan disrupsi yang sangat cepat di segala bidang nyatanya belum bisa mendisrupsi keserakahan, ketamakan, ego dan arogansi manusia untuk menaklukan bangsa lain.

Persoalan Bangunan Tugu Hotel Tua Jakarta Disorot, Ini Alasannya

Kita semua dibayangi kengerian dan kecemasan  gambaran-gambaran perang masa lalu yang begitu ngeri muncul dibenak kita.  Gambaran-gambaran seram menarik file-file momori kita atas kejadian-kejadian perang besar di masa lalu yang begitu kelam.

Jatuhnya bom di atas kota Hiroshima dan Nagasaki, hancurnya Pearl Harbor, Perang Korea, perang dunia ke II  dan tentu saja bangsa kita dengan sejarah panjang perang-perang melawan era kolonialisme di Indonesia yang terjadi sepanjang umur bangsa ini.

Berkaca dari Komdigi, Komisi III DPR Minta PPATK Pastikan Jajarannya Tak Terlibat Judi Online

Perang hanya menyisakan duka. Makna invasi adalah sesungguhnya pembantaian yang diperhalus. Ada banyak darah yang tumpah dan ribuan  tubuh warga sipil yang terkoyak-koyak. Setiap kali perang terjadi, setiap kali itu juga manusia harus menanggalkan harga dirinya sebagai manusia.

Meskipun dalam skala kecil, serbuan Rusia ke Ukraina menimbulkan banyak spekulasi bahwa dunia  sesungguhya tidak seaman gambaran yang ada dibenak kita selama ini.

Syakir Sulaiman, Pernah Mengadu Nasib di Klub Jepang dan Timnas Kini Mendekam di Penjara karena...

Secara kolektif sebagai penduduk bumi, kita percaya bahwa perang di medan pertempuran sudah berakhir, seiring dengan berakhirnya perang dunia ke II. Kita merasa bahwa manusia abad 21 adalah manusia-manusia modern hanya akan berperang di dunia maya dengan kamajuan teknologi.

Kita mengira, bahwa homo sapiens sudah punah, dan masyarakat dunia saat ini adalah masyarakat homo Deus yang mendewakan teknologi dan menanggalkan tradisi-tradisi homo Sapien yang masih berpikir secara tradisional dan di mana mereka harus berebut dengan alam untuk bisa mempertahankan hidup agar tidak mengalami kepunahan.

Homo Deus dan homo Sapiens adalah dua buku Harari yang menggambarkan kemajuan peradaban manusia dari zaman batu sampai era modern.

Homo Sapien adalah fase-fase berat umat manusia yang kebudayaanya masih sangat primitif dan  hanya untuk bertahan hidup. Alat-alat yang mereka miliki sangat terbatas.

Kekuatan otot menjadi faktor kunci untuk bertahan hidup, membunuh atau dibunuh. Era Homo Deus, manusia sudah sangat  beradab dan hidup dalam tatanan dunia yang lebih stabil yaitu saat ini, era industry 4.0 dan masyarakat 5.0.

Di Era ini, seharusnya membunuh bangsa lain dan sudah tidak lagi terjadi. Banyak perang yang lebih penting untuk dihadapi bersama – sama sebagai warga dunia.

Perang melawan iklim yang semakin mencemaskan, ramalan kota-kota besar dunia yang akan tenggelam, kutub utara yang makin mencair, suhu bumi yang makin tinggi, perubahan musim yang paradox, terorisme yang selalu berganti wajah dan yang terakhir perang melawan virus covid  yang bertansformasi dengan dengan cepat masih belum selesai.

Untuk memahami perang memang tidak mudah. Ada banyak faktor di dalamnya, namun, yang menjadi sorotan selalu pemimpinnya. Bagaimanapun keputusan ada di tangan mereka.

Psikologi seorang pemimpin memang sudah menjadi perhatian sejak lama. Mereka adalah orang-orang yang mengusai hajat hidup orang banyak. Satu kelompok, satu Negara, satu kawasan, satu benua, bahkan satu dunia.

Kepemimpinan menjadi satu kajian khusus dalam keilmuan. Dalam disertasi yang saya tulis, salah satu variabel disertasi saya adalah kepemimpinan.

Saya membaca banyak literature-literatur kepemimpinan. Mereka adalah orang-orang terpilih, yang menentukan wajah dan sejarah peradaban dunia.

Berdasarkan karakter mereka, muncul istilah-istilah kepemimpinan. Dari kepemimpinan transformasional sampai kepemimpinan digital saat ini. Kebanyakan pemimpinan dunia adalah pemimpin yang trasnformasional, namun tidak sedikit juga adalah pemimpin yang otoriter.

Pemimpin dunia sesungguhya perlu memperlihatkan kecerdasan bertindak dan kepekaan yang tinggi. Berita invasi Rusia ke Ukraina serta merta melejitkan nama Putin dan presiden Ukraina ke trending dunia berhari-hari sampai saat ini.

Kedua pemimpin itu disandingkan di banyak media. Banyak sisi Putin yang terkuak sebagaimana juga presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.

Putin yang mantan KGB dan Volodymyr yang bekas pelawak juga mencuat dipermukaan. Dua hal yang sangat kontras. Tentu saja karakter Putin melekat dengan yang berbau intelijen dan kekerasan sedangkan presiden ukraina adalah orang humoris sepanjang pencarian di Google.  

Namun saat ini, wajah humoris sang presiden selalu penuh duka, terlebih lagi ketika mengucapkan kata “ Kami ditinggal sendirian” penuh dengan kesayuan dan sedikt memperlihatkan tangisan.

Sementara di sisi lain Putin digambarkan dingin tanpa ekspresi dan begitu bernafsu menjatuhkan Ukraina dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Mengapa Putin begitu keukeh menggempur Ukraina? Bukankah harusnya semua bisa dibicarakan dan dirudingkan dengan baik-baik sebagai manusia modern dan beradab?  

Alasanya sesungguhya  dituangkan dalam pidato panjangnya sebelum menginvasi Ukraina pada tanggal 24 Februari 2022.

Putin mengungkit sejarah betapa Rusia yang dulu bernama Uni Soviet menjadi pihak yang kalah dan dirugikan dalam sejarah.

Menurut Putin, sejarah adalah panduan,  Uni soviet pada tahun 1940 dan awal 1941 berusaha keras untuk mencegah perang atau setidaknya menunda pecahnya perang.

Untuk tujuan ini, Uni Soviet berusaha untuk tidak memprovokasi calon agresor sampai akhir dengan menahan atau menunda persiapan paling mendesak dan jelas yang harus dibuat untuk mempertahankan diri dari serangan yang akan segera terjadi.

Ketika akhirnya bertindak, mereka sudah terlambat. Akibatnya, Uni Soviet tidak siap untuk melawan invasi Nazi Jerman, yang menyerang tanah air mereka pada 22 Juni 1941, dan itu terbukti merupakan kesalahan yang harus dibayar mahal oleh rakyat Soviet.

Pada bulan-bulan pertama setelah permusuhan pecah, Soviet  kehilangan wilayah strategis yang luas, serta jutaan nyawa.

Untuk itu, Putin tidak mau dan tidak ingin  membuat kesalahan yang sama  untuk kedua kalinya. Alasan lainnya Putin menyerang Ukraina  adalah untuk mencegah genosida yang akan terjadi di Kiev terhadap orang-orang yang sudah  bertahan mendukung Rusia.

Yang terakhir, adalah untuk membuat jera NATO dan Amerika yang terus-terusan mengadakan provokasi di wilayah Rusia dan sekitarnya. Menurut presiden Putin, dia sudah berusaha menjadi “ Mr Nice Guy” yang hanya mendapat tanggapan yang sinis dari kedua kekuatan itu.

Sehingga Putin perlu menghajar Ukrania mantan wilayahnya yang merdeka di tahun 1991 dengan mengerahkan kekuatan militer menporak-prandakan negara itu, sekaligus  untuk membuktikan bahwa Rusia tidak main-main dengan ancaman-ancaman dari luar ke negaranya.

Ulah presiden Putin ini, tidak pelak lagi menimbulkan kecemasan negara-negara lain di dunia, bahwa negara super power yang punya hak veto bisa melakukan apa saja terhadap negara lain yang  berdaulat.

PBB seolah-olah hanya macan ompong di atas kertas. PBB pun keok berhadapan dengan Rusia. Invasi Rusia ini juga memperlihatkan bahwa  Putin belum selesai dengan fase tahapan homo sapiens dalam dirinya mungkin juga beberapa pemimpin dunia yang lain.

Penggunaan cara-cara kekerasan adalah model –model manusia ketika bertahan hidup di era homo Sapien . Mengingat itu, maka keputusan Menhan Indonesia memborong alat tempur dari Prancis adalah keputusan yang sangat tepat.

Aksi-aksi Cina di kepulauan Natuna adalah aksi-aksi model  pemimpin homo Sapiens yang harus diwaspadai. Kita tidak boleh lagi punya asumsi bahwa perang fisik tidak akan terjadi.

Sebagai bangsa kita harus siap dan tidak boleh mengharapkan PBB, sebab Cina pun seperti Rusia adalah negara yang  punya kekuatan militer besar dan juga punya hak veto. 

Dengan alustita modern, Indonesia bisa sedikt punya power di mata dunia. Invasi Rusia ke Ukraina kiranya tepat dianologikan sebagai satu fase mundur pemikiran pemimpin dunia yang kembali bertransformasi menjadi pemimpin yang homo sapien.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.