Mewujudkan Sinergi Pembangunan Ekonomi dan Kelestarian Lingkungan

Ilustrasi Kerusakan Alam yang Timbul Karena Aktivitas Perekonominan. (Foto/ unsplash.com)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Dunia kita saat ini telah terbuai dengan kata pembangunan ekonomi. Semua seolah hanya berfokus pada satu tujuan, yaitu meningkatkan perekonomian. Dari sisi pendidikan, kesehatan, dan keamanan pun fokusnya adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan yang meningkatkan perekonomian.

Indonesia dan Tantangan Emisi Karbon, Mengapa Kita Harus Peduli?

Ekonomi dan lingkungan seakan dua hal yang saling berkontradiksi. Meningkatkan yang satu berarti mengurangkan yang lain. Kita seolah asing dengan kata ekonomi yang berbasis lingkungan. Lingkungan hanya dipandang sebagai objek mati. Alam hanya dianggap sebagai entitas yang tak bermakna.

Modernisasi dan pembangunan terus dilakukan bahkan sampai pada tahap eksploitasi alam. Alam terus dikeruk hingga mencapai akumulasi hasil maksimal. Sehingga pada akhirnya munculah bencana alam yang seringkali timbul akibat ketamakan manusia. Seolah alam bekerja tak berbatas untuk memenuhi keinginan manusia yang tak terbatas.

Olahraga Lari saat Polusi Udara Buruk Bukan Ide Bagus, Begini Bahayanya bagi Kesehatan

Nyatanya, pembangunan ekonomi menorehkan berbagai kekurangan salah satunya kemerosotan alam. Gencarnya industrialisasi memang meningkatkan perekonomian, namun juga meningkatkan berbagai masalah lingkungan. BPS mencatat total konsumsi bahan perusak ozon tahun 2020 sebesar 3.794,20 metrik ton. Angka ini mengalami peningkatan 28 metrik ton, di mana lapisan ozon bumi kita berfungsi sebagai pelindung agar kita manusia tidak terpapar sinar UV-B yang berdampak pada kerusakan sistem perlindungan alami makhluk hidup.

Ekonomi yang hanya berfokus pada peningkatan secara finansial disebut sebagai ekonomi klasik, di mana ekonomi jenis ini hanya melihat perekonomian sekadar transaksi antara penjual dan pembeli tanpa mempertimbangkan pihak lain seperti entitas lingkungan yang berada di sekitar penjual dan pembeli tersebut.

Intip Aksi Hijau yang Dilakukan Marcella Zalianty Jolene Marie Rotinsulu, dan Jola Sharon

Untuk menyelaraskan ekonomi, sosial, dan lingkungan sudah dicanangkan suatu konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Pembangunan berkelanjutan digambarkan dengan Diagram Venn di mana keberlanjutan sosial, pembangunan ekonomi, dan kelestarian lingkungan merupakan himpunan-himpunan yang berbeda dan saling lepas namun terdapat satu ruang berpotongan. Ruang inilah yang ingin dicapai dan disebut sebagai pembangunan berkelanjutan. Namun, konsep pembangunan berkelanjutan dengan Diagram Venn ini masih menciptakan ruang dimana ketiga aspek tersebut berdiri sendiri dan tak saling terkait.

Doughnut economy theory (kue donat teori) pertama kali diinisiasi oleh ekonom Oxford tahun 2012 bernama Kate Raworth. Teori ini tak hanya berhenti dari keberhasilan hanya dilihat dari aspek finansial (model ekonomi klasik), namun juga mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan dan peradaban manusia yang memiliki keterbatasan.

Kate menggambarkan kehidupan kita seperti kue donat, dimana terdapat 2 lingkaran. Lingkaran dalam merupakan kebutuhan kehidupan sosial-ekonomi kita, seperti makanan, pendidikan, politik, sanitasi, kesetaraan gender dan lain sebagainya.

Lingkaran terluar menggambarkan batasan-batasan yang lingkungan kita miliki, seperti perubahan iklim, cuaca, polusi, penipisan ozon, punahnya keanekaragaman hayati, dan perubahan ekosistem lainnya. Sedangkan ruang tengah yang berada di antara lingkaran dalam dan luar adalah ruang aman secara ekologis dan adil secara sosial-ekonomi.

Dari teori ekonomi donat, tujuan yang ingin dicapai adalah melihat kehidupan manusia secara komprehensif serta sejahtera tanpa melewati batasan-batasan yang ada. Ketika manusia cenderung merusak lingkungan, yaitu lapisan donat terluar, maka lapisan tengah dan dalamnya pun akan ikut hancur. Ekonomi donat juga memikirkan bagaimana sumber daya serta ilmu pengetahuan dapat terdistribusikan secara merata.

Perubahan iklim sebagai dampak dari kerusakan lingkungan merupakan konsekuensi yang kita peroleh ketika fokus kita hanya pada model ekonomi klasik.

Sebagai negara dengan kontribusi emisi karbon terbanyak ke-8 di dunia tahun 2020, Indonesia seharusnya sadar bahwa ekonomi klasik lambat laun akan meruntuhkan kehidupan manusia itu sendiri.

Emisi karbon di Indonesia datang dari deforestasi dan sektor energi batubara yang masih menjadi primadona. BPS mencatat dari 11 sumber energi primer yang dihasilkan Indonesia, batubara menempati posisi pertama dengan kontribusi terbesar, yaitu 38,46% di tahun 2020. Sumber energi batubara ini sifatnya terbatas dan menjadi salah satu bahan perusak lapisan ozon yang berimpilkasi pada perubahan iklim.

Sebenarnya, Indonesia sudah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dengan mentransisi sumber energi batubara dengan sumber energi terbarukan yang lebih aman bagi kesehatan bumi kita. Namun, komitmen ini masih terbentur kepentingan beberapa pihak.

Karbon yang merupakan salah satu bahan perusak ozon merupakan salah satu limbah yang kita hasilkan dari berbagai aktivitas kehidupan sosial-ekonomi. Untuk itu, kesadaran kolektif tentang perlunya pembangunan ekonomi yang berbasis pada kelestrasian alam serta industrialisasi yang aman bagi lingkungan tetap harus digaungkan. Jika tidak, maka bencana alam akibat perubahan iklim akan dirasakan anak cucu kita di masa depan.

Kabar baiknya, perubahan iklim bukan sesuatu yang mutlak pasti terjadi namun sesuatu yang bisa kita hindari dengan cara menciptakan sinergi antara kehidupan sosial-ekonomi dan lingkungan, seperti teori ekonomi donat yang mempertimbangkan aspek batasan alam untuk mencapai kesejahteraan. (Dita Christina, PNS di Badan Pusat Statistik)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.