Transformasi Pesantren Melalui Tradisi Baca Kitab Kuning
- vstory
VIVA – Salah satu kontribusi kitab kuning adalah sebagai bahan bacaan untuk merajut budaya literasi di Pesantren. Kitab-kitab yang ditulis para ulama terdahulu menjadi teman yang akrab bagi santri.
Pada dasarnya, kitab gundul atau kitab kuning memang menjadi ikon atau ‘rukun’ di dunia kepesantrenan. Itulah mengapa rasa-rasanya kurang pas jika santri tidak memiliki kemampuan dalam membaca kitab kuning. Karena antara kitab kuning dan santri adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Kitab kuning atau kitab gundul memuat pengetahuan yang ditulis oleh para ilmuan muslim. Namun untuk membaca dan memahami isinya, diperlukan penguasaan ilmu alat seperti nahwu, sharaf, imla’, dan balaghah.
Hal itu dikarenakan kitab gundul ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dan kebanyakan tidak berharokat.
Para Kiai konsisten menjadikan kitab berbahasa Arab menjadi materi ajar karena Islam turun dalam konteks masyarakat Arab. Alquran sebagai mu’jizat dari Allah juga berbahasa Arab. Maka untuk memahami Islam; teks, dan konteks ayat Alquran, diperlukan wawasan dan penguasaan ilmu bahasa Arab.
Meski Pondok Pesantren dikatakan sebagai lembaga pendidikan non-formal karena tidak memiliki kurikulum baku, namun nyatanya kitab kuning mampu menjadi kurikulum pembelajaran yang baik.
Sebab dalam kajian kitab kuning, para Kiai sudah memiliki pengetahuan kitab-kitab yang hendak diajarkan, secara berjenjang. Misalnya dalam bidang ilmu nahwu, pelajar atau santri pemula akan diajarkan kitab yang dasar seperti al-Jurumiyah.
Setelah mendalami kitab tersebut, santri akan disuguhi kitab yang lebih ‘tinggi’ tingkatannya seperti Mutammimah atau al-Fiyah. Begitupun dalam bidang fiqih, tasawuf, hadits, tarikh, dsb.
Masyarakat seringkali menilai, kitab kuning adalah ‘ciri’ untuk pesantren tradisional (salaf). Sedangkan pesantren yang menggunakan ‘kitab putih’ (buku cetak) dianggap sebagai model pesantren modern.
Hal tersebut disebabkan pembelajaran di Pesantren yang terfokus pada pendalaman kitab-kitab Islam klasik dengan pola-pola yang sama sejak zaman dahulu hingga sekarang. Tidak ada yang merubah dan mencoba merevisi sejumlah kitab yang tidak lagi relevan dengan konteks sekarang.
Dengan munculnya pesantren-pesantren bercorak modern, membuat persepsi sebagian masyarakat tentang pesantren seketika berubah. Setidaknya mengetahui bahwa santri di pondok modern keren-keren karena ‘jago’ berbahasa Arab dan Inggris.
Mereka juga terjun dalam berbagai bidang seperti musik, olah vokal, olahraga, tekhnologi, sains, dll yang tidak diselami oleh pesantren tradisional.
Meski demikian, pesantren modern memiliki kekurangan dalam penguasaan ilmu alat dan pengimplementasiannya. Berbeda dengan pesantren tradisional yang memang fokus dalam peningkatan kemampuan membaca literatur kitab-kitab Islam klasik.
Jika kedua kelebihan tersebut dapat disatukan, maka akan terlahir transformasi baru bagi dunia pesantren. Pondok pesantren akan mampu menjawab tantangan zaman dengan skill dan bakat yang terus diasah.
Tentunya dengan penguasaan basic yang cukup yakni ilmu alat. Dengan demikian, hasil bacaan terhadap literatur Islam klasik akan menjadi inspirasi untuk masa depan. Dapat dikatakan transformasi perkembangan pesantren dapat dilihat dari kurikulum, metode mengajar, dan kelembagaan.
Pesantren mengalami transformasi pada abad ke-20 yakni ketika lahir organisasi-organisasi Islam modern seperti Jami’at al-Khair (1905), Persyarikatan Ulama (1911), Muhammadiyyah (1912), Syarikat Islam (1912), al-Irsyad (1913), Persis (1923), dan Nahdlatul Ulama (1926).
Organisasi tersebut mendirikan lembaga-lembaga pendidikan masing-masing. Di antaranya ada yang bermetamorfosis dengan cara mengadaptasi diri dan mengadopsi bentuk madrasah atau sekolah formal. Sehingga terjadilah pencampuran antara sistem pendidikan Islam tradisional yang menggunakan materi ajar kitab kuning dengan sistem pendidikan modern yang berupa kelembagaan formal berkurikulum.
Tidak semua ulama sepakat dengan pengajaran kitab kuning di era modern. Menurut Muhammad Abduh, Rosyid Ridho, Jamaluddin al-Afghani kitab kuning tidak memiliki relevansi dengan permasalahan era modern.
Alasannya adalah problematika yang dihadapi umat zaman dahulu dengan sekarang jauh sangat berbeda. Adapun membacanya menjadi sebuah tradisi di pesantren adalah untuk menghargai karya ulama terdahulu dan melestarikan tradisi membaca.
Berbeda dengan KH. Hasyim Asy’ari dan Syeikh Khatib al-Minangkabawi, mereka berpandangan bahwa kitab Islam klasik masih relevan dengan masa kini. Apalagi dengan bidang agama, hukum, dan politik.
Selain kitab kitab ‘agama’ karya empat imam madzhab, Imam Bukhari, Imam Muslim, al-Ghazali, Fahrudin al-Razi dan lain lain banyak kitab yang masih menjadi rujukan pokok dunia seperti esiklopedia filsafat kitab al-Shifa (the Book of Healing) dan the Canon of Medicine karya Ibnu Sina yang menjadi standar ilmu medis dunia, kitab al-Manazir (Book of Optics) karya Ibnu al-Haytham menjadi rujukan ilmu optik dunia dan lain lain.
Jika demikian, mestinya umat Islamlah yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan ke dalam sains dan teknologi. Sebab, umat Islam khususnya santri lebih banyak membaca literatur kitab Islam klasik di Pesantren dibandingkan dengan yang lainnya.
Dalam sejarah, Barat mampu melakukan transformasi besar-besaran setelah mengkaji, menerjemahkan, melakukan penelitian atas kitab klasik yang ilmuan muslim tulis.
Kontribusi ilmuan muslim dalam peradaban yang tertuang pada kitab kuning sebenarnya besar sekali. Hanya saja, Pondok Pesantren kini lebih sering mengkaji ‘agama’ ketimbang ilmu pengetahuan umum.
Maka untuk melakukan transformasi dalam lingkup pesantren, santri mesti diarahkan untuk membaca literatur kitab klasik yang memuat pengetahuan modern supaya menjadi inspirasi penemuan di masa depan. Tentunya dengan memperhatikan terlebih dahulu kemampuan ilmu alat sebagai jembatan awal memahami teks. Wallahu a’lamu bi al-Shawab. (Alwi Husein Al Habib, Presiden Monash Institute dan Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)