Dampak Pandemi terhadap Penerimaan Pajak Hiburan di Jakarta
- vstory
VIVA – Coronavirus Disease 2019 atau yang biasa kita sebut dengan Covid-19 dinyatakan pandemi oleh WHO pada tanggal 9 Maret 2020. Artinya, virus corona telah menyebar secara luas di dunia.
Istilah pandemi terkesan menakutkan tapi sebenarnya itu tidak ada kaitannya dengan keganasan penyakit, tapi lebih pada penyebarannya yang meluas. Ingat, pada umumnya virus corona menyebabkan gejala yang ringan atau sedang, seperti demam dan batuk, dan kebanyakan bisa sembuh dalam beberapa minggu.
Tapi bagi sebagian orang yang berisiko tinggi (kelompok lanjut usia dan orang dengan masalah kesehatan menahun, seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, atau diabetes), virus corona dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Kebanyakan korban berasal dari kelompok berisiko itu.
Selain memakan banyak korban jiwa, pandemi Covid-19 sendiri mampu meluluhlantakkan beberapa sektor perekonomian yang ada di belahan dunia. Indonesia juga menjadi salah satu diantara banyak negara yang mengalami kelumpuhan perekonomian tertinggi.
Banyak sektor perekonomian yang harus berhenti agar dapat menghentikan penyebaran Covid-19 ini. Pendapatan asli daerah atau yang biasa kita sebut dengan PAD merupakan suatu sektor yang terdampak dari adanya pandemi Covid-19 ini.
Menurut Direktorat Jendral Perimangan Keuangan atau DJPK, pendapatan asli daerah (PAD) merupakan pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD memiliki tujuan yang diantaranya, memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
PAD sendiri merupakan hak pemerintah daerah untuk memperoleh kekayaan bersih yang diperoleh dari adanya pengenaan pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan serta lain-lain.
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak daerah memiliki cabangnya tersendiri yaitu pajak yang dipungut oleh pihak provinsi atau yang disebut dengan Pajak Provinsi dan pajak yang dipungut oleh pihak kabupaten/kota atau yang disebut dengan Pajak Kabupaten/Kota.
Pada pajak provinsi terdiri dari Pajak Kenderaan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama kenderaan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan Bakar Kenderaan Bermotor (PBBKB), Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok.
Pembagian Pajak Provinsi ke Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 95 dengan persentase yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi dan alokasinya dituangkan dalam Surat Keputusan Kepala Daerah.
Dalam Undang-Undang tersebut terdapat sisi kelemahan yaitu tidak adanya sanksi yang diberikan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Provinsi mengenai keterlambatan penyaluran ke Kabupaten/Kota.
Hal ini diperlukan agar Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memiliki kepastian untuk memprediksi arus kas masuk dan dapat digunakan untuk mendukung program kegiatan yang dianggarkan dalam APBD. Apabila tidak terdapatnya sanksi tentu Pemerintah Provinsi melakukan penyaluran tidak sesuai dengan ketentuan sehingga merugikan daerah secara berkelanjutan. Perubahan regulasi tersebut diperlukan agar Pementah memiliki kepastian dalam proses penganggaran dan pelaksanaan.
Sedangkan pada pajak kabupaten/kota terdapat beberapa jenis pajak, di antaranya; Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir, Pajak Mineral Bukan Logam (Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi kewenangan dari Pemerintah Provinsi), Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, PBB Perkotaan dan Perdesaan, serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
11 (sebelas) Objek pajak tersebut dalam pelaksanaan harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah dan besaran persentase pengenaan pajak tidak diperkenankan melanggara aturan tentang Pajak Daerah.
Dalam Pasal 45 UU PDRD, pemerintah telah menetapkan batas pengenaan Pajak Hiburan dengan ketentuan sebagai berikut; Tarif pajak Hiburan paling tinggi adalah 35%; Khusus untuk hiburan seperti penyelenggaraan busana, kecantikan, diskotik, klab, karaoke, permainan ketangkasan, panti pijat, spa tarif maksimalnya adalah 75%; Tarif untuk kesenian rakyat atau tradisional maksimal 10%.
Balik kepada permasalahan awal, pandemic sudah berlangsung lebih dari satu tahun, Dampak yang dirasakan oleh masyarakatpun begitu besar, mulai dari dibatasi ruang geraknya dalam berkegiatan di luar rumah, banyak ditutupnya tempat pariwisata, serta dilarangnya berkerumun dalam suatu tempat. Semua itu diperuntukan, untuk memutus mata rantai dari penyebaran virus corona.
Pada analisis kali ini, akan membahas bagaimana dampak yang diberikan oleh pandemi Covid-19 terdahap penerimaan pajak hiburan di Jakarta. Dari banyaknya anjuran dan larangan yang dilakukan pemerintah baik pusat hingga daerah menyebabkan beberapa pemasok penerimaan kas berkurang, salah satunya pada pajak hiburan.
Dilansir dari megapolitan.kompas.com penerimaan pajak hiburan pada tahun 2019 sebesar Rp832 Miliar dan dilansir dari ssas.co.id penerimaan pajak hiburan pada tahun 2020 mengalami penurun yakni penerimaan yang didapat sebesar Rp 220,23.
Itu artinya, DKI Jakarta mengalami penurunan penerimaan pajak hiburan sebesar Rp 611,77 Miliar. Penurunan penerimaan pajak hiburan ini sangat terlihat jelas ketika memasuki bulan Juli pada tahun 2020, penerimaan pajak hiburan yang didapat oleh pemerintah daerah DKI Jakarta baik dari berbagai kabupatan antara lain; Jakarta Barat, Rp 244.455.217; Jakarta Pusat, Rp 1.261.997.273; Jakarta Selatan, Rp 132.916.629; Jakarta Timur, Rp 108.100.190; Jakarta Utara, Rp 306.148.380.
Data ini menurun secara drastis jika dibandingkan dengan data bulan Januari pada tahun yang sama. Dampak lain dari adanya pandemi Covid-19 ini ialah banyak pekerja yang harus kehilangan pekerjaannya karena perusahaan hiburan mengalami penurunan pemasukan pada tahun 2020, bahkan harus ada perusahaan hiburan yang harus bersabar menunggu kepastian dari kebijakan pemerintah untuk membuka kembali lebar-lebar perusahannya.
Kebijakan terus dilakukan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, seperti halnya, dikutip dari ssas.co.id mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 115 Tahun 2020 tentang Pemberian Keringanan Pokok Pajak dan Penghapusan Sanksi Administrasi Tahun Pajak 2020.
Beleid ini disahkan Gubernur DKI Jakarta pada 11 Desember 2020. Kebijakan relaksasi keringanan pokok pajak dan penghapusan sanksi administrasi ini berlaku sejak tanggal 14 Desember 2020. Dengan telah terbitnya kebijakan relaksasi pajak daerah ini, Pemprov DKI Jakarta berharap dapat membantu para pelaku usaha, mencegah pemutusan hubungan kerja dan penutupan usaha, serta mempertahankan ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat.
Pandemi Covid-19 memberikan banyak dampak, mulai dari kesehatan, perekonomian, bahkan hingga kehilangan. Dari adanya pandemi ini, Indonesia banyak mengalami masalah-masalah luar biasa yang membuat banyak bahan evaluasi untuk ke depannya.
Terlebih, Indonesia dengan sistem pemerintahan yang terbagi, seperti adanya pemerintahan daerah untuk mengatur daerahnya sendiri, ini merupakan bahan evaluasi yang cukup agar ke depannya perekonomian Indonesia menjadi lebih baik dibanding sebelumnya.
Pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan pemerintah baik pusat maupun daerah yang akan datang pun dirasakan lebih baik, karena banyak pengalaman dari adanya pandemi seperti saat ini. (Nur Rizka Dewi, Mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)