Skizofrenia dan Stigma Masyarakat
- vstory
VIVA – Dewasa ini, banyak orang yang sadar betapa pentingnya menjaga kesehatan mental. Tidak jarang kita mendengar, melihat, bahkan menghadiri suatu acara yang membahas topik tersebut.
Gangguan mental yang sering diangkat menjadi sebuah bahasan tentang kesehatan mental adalah depresi, gangguan cemas, ataupun gangguan panik. Namun, terdapat gangguan mental lainnya yang mungkin belum banyak diketahui oleh masyarakat dan cukup penting untuk dikenal oleh banyak orang, yaitu skizofrenia.
Menurut World Health Organization (WHO), skizofrenia adalah suatu gangguan mental yang berkepanjangan yang ditandai dengan gangguan pada proses pikir, persepsi, emosi, bahasa, dan perilaku. Pada tahun 2019, sekitar 20 juta orang di dunia dilaporkan mengalami gangguan mental ini.
Skizofrenia ditandai dengan beberapa gejala. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 5 (DSM-5), gejala-gejala yang dapat dialami yaitu waham, halusinasi, gejala negatif, perilaku katatonia, dan arus pikiran yang terputus.
Gejala yang pertama adalah waham. Waham adalah suatu kondisi ketika seseorang meyakini suatu hal yang tidak benar. Walaupun, sudah diberikan bukti-bukti yang mematahkan keyakinan orang tersebut. Namun, individu tersebut tetap teguh pada keyakinannya. Biasanya keyakinan yang diyakini tidak sesuai dengan norma yang ada pada masyarakat.
Kedua, halusinasi. Halusinasi adalah suatu persepsi palsu yang terjadi padahal tidak ada rangsangan dari eksternal. Terdapat beberapa tipe halusinasi seperti halusinasi pendengaran, penglihatan, ataupun pengecapan. Namun, bentuk halusinasi yang paling sering ditemukan pada penderita skizofrenia adalah halusinasi pendengaran.
Yang ketiga adalah gejala-gejala negatif. Yang dimaksud dengan gejala-gejala negatif ini adalah sikap apatis, respons emosional yang tumpul, jarang berbicara, dan biasanya terjadi penarikan diri dari sosial sehingga penderita mengalami penurunan dalam kerjanya di kehidupan sosial.
Kemudian, terdapat gejala perilaku katatonia. Perilaku katatonia ditunjukkan oleh individu dengan keadaan seperti gaduh-gelisah, mempertahankan posisi tubuh tertentu, hilangnya kemampuan berkomunikasi (mutisme), dan lainnya.
Arus pikiran yang terputus juga menjadi gejala skizofrenia. Pada kondisi ini, penderita skizofrenia akan mengeluarkan suatu pembicaraan yang tidak relevan. Penderita juga bisa membentuk suatu kata atau frasa baru, kondisi ini disebut dengan neologisme.
Untuk mendiagnosis seseorang mengalami skizofrenia atau tidak, maka individu yang memiliki gejala-gejala di atas perlu menemui psikiater.
Penegakan diagnosis skizofrenia ini hanya bisa dilakukan oleh psikiater. Yang kemudian, psikiater akan menentukan keberlanjutan dari kondisi individu tersebut. Dengan mengunjungi psikiater, kondisi individu tersebut bisa membaik dan terkontrol. Maka dari itu, berkunjung ke psikiater bukanlah suatu hal yang memalukan.
Berdasarkan gejala-gejala di atas, hal tersebut yang menjadikan masyarakat memiliki stigma terhadap seseorang dengan skizofrenia. Masyarakat menganggap penderita skizofrenia sebagai “orang gila”. Stigma ini bisa muncul karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap gangguan mental skizofrenia.
Stigma yang dimiliki masyarakat ini nantinya bisa berkembang menjadi bentuk diskriminasi. Bentuk diskriminasi yang mungkin saja terjadi adalah menjauhi individu dengan skizofrenia karena mereka dianggap gila dan berbahaya. Tidak jarang juga, para penderita mendapatkan kekerasan dari lingkungan sekitarnya.
Dengan adanya pandangan negatif ini, penderita skizofrenia mengalami kesulitan dalam mendapatkan terapi. Berdasarkan WHO, pada tahun 2019 terdapat lebih dari 69% orang dengan skizofrenia yang tidak mendapatkan terapi yang tepat.
Padahal, skizofrenia merupakan suatu gangguan mental yang dapat diobati dengan pemberian terapi. Terapi dapat membantu individu tersebut untuk bisa kembali beraktivitas seperti biasa. Kurangnya akses untuk mendapatkan terapi ini adalah suatu masalah yang penting.
Terapi yang dapat diberikan kepada penderita skizofrenia seperti obat-obatan dan dukungan psikososial. Pemberian obat-obatan kepada penderita skizofrenia bertujuan untuk mengendalikan perilaku penderita, mengurangi beratnya gejala yang muncul, dan meminimalisasi risiko.
Selain obat, penderita skizofrenia juga bisa diberikan terapi psikososial seperti social-skill training, terapi ini berfokus untuk melatih pasien agar dapat berinteraksi dengan orang lain. Terapi lainnya yang dapat dilakukan adalah family-oriented therapy, terapi ini bertujuan untuk membantu penderita dan keluarganya untuk menangani gejala-gejala yang timbul.
Tidak hanya memberikan terapi kepada penderita dan keluarganya, perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat luas mengenai gangguan mental yang satu ini.
Pemberian edukasi penting agar tidak terjadi stigma, diskriminasi, maupun pelanggaran terhadap hak yang dimiliki oleh individu dengan skizofrenia. Jika, kepedulian masyarakat terhadap penderita skizofrenia meningkat, maka akan lebih mudah bagi mereka untuk cepat pulih dan kembali ke aktivitas mereka sebelumnya. (Rahma Octaviani, Mahasiswi Fakultas Kedokteran, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)