Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Bertentangan dengan Pancasila?
- vstory
VIVA – Banyaknya aduan cerita mengenai kekerasan seksual di lingkungan kampus yang tak tertuntaskan dengan seharusnya rupanya telah mengusik pikiran Nadiem Anwar Makarim yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
Hal tersebut dibuktikan dengan lahirnya suatu kebijakan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Sesaat setalah Permendikbud No 30 Tahun 2021 tersebut diundangkan dan salinan Undang-Undangnya mencuat ke publik banyak pro dan kontra terhadap beberapa bunyi Pasal dalam UU aa quo, mulai dari akademisi, politikus sampai pada pakar hukum yang dengan lantang memberikan argumentasinya.
Adapun Pasal yang menjadi perdebatan tersebut tak lain bunyi dari Pasal 5 ayat (2) huruf b yang berbunyi “memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban”. Beberapa kalangan menafsirkan bahwa frasa “tanpa persetujuan korban” membalikkan logika sederhana mereka dengan berarti “adanya persetujuan korban” maka tidak menjadi masalah dan menganggap hal tersebut dibenarkan melalui Permendikbud 30 tersebut bahwa seks bebas di lingkungan kampus merdeka dibenarkan selama adanya persetujuan antar kedua belah pihak.
Lantas, mengapa frasa “tanpa persetujuan korban” tersebut menjadi paling diperdebatkan sehingga menuai pro dan kontra? Dalam hal ini penulis mencoba mencari alasan pembenar dalam kacamata tujuan hukum yang sesuai dengan semangat dan jiwa Pancasila.
Perlu diketahui bahwa frasa “dengan persetujuan” yang sebelumnya didahului dengan frasa “dengan sengaja” telah menimbulkan keetidakpastian hukum dari Permendikbud 30 ini yang tentu patut disayangkan karena mengindikasikan tidak menjamin kepastian hukum mengenai perlindungan bagi kaum perempuan yang seharusnya merupakan objek perlindungan dari Permendikbud 30 ini.
Padahal kita ketahui bersama bahwa tujuan hukum berdasarkan UUD 1945 adalah kepastian hukum yang adil (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945). Selain itu tujuan hukum yang sesuai dengan semangat dan jiwa Pancasila adalah perdamaian untuk semua pihak (justice for peace of all) tanpa terkecuali.
Menurut hemat penulis adanya perdebatan mengenai frasa pada Pasal 5 tersebut merupakan hal yang wajar dan patut disayangkan keberadaannya karena tidak sesuai dengan Pancasila yang merupakan filsafat hidup bangsa Indonesia, mengingat bahwa kondisi nyata masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, etnis, agama, budaya serta hukum adat yang khas sesuai dengan budaya yang dipegang teguh dalam lingkungan masyarakat.
Sehingga frasa “dengan persetujuan” menjadi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila terlebih masih melekatnya budaya koletikvitas yang identik dengan masyarakat Indonesia khususnya mengenai konsep aib.
Karena bagaimanapun seperti yang dikatakan Prof Romli Atmasasmita yang merupakan Pakar Hukum Pidana, ia mengatakan bahwa Pancasila merupakan sistem nilai sekaligus penentu arah kebijakan dan program pembangunan sistem hukum nasional. (Mala Silviani, Mahasiswi Fakultas Hukum, Universitas Pamulang)