Ketika Uang Menjadi Sumber Perpecahan Sekaligus Persatuan

Sampul buku "Agama Saya adalah Uang" (koleksi penulis)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Ekonomi adalah salah satu sektor yang mengalami dampak dahsyat akibat sebaran coronavirus disease (Covid-19) yang melanda dunia sejak akhir 2019. Banyak karyawan yang kehilangan pekerjaan karena perusahaan tidak lagi mampu mengimbangi keuangan.

5 Aplikasi Penghasil Uang yang Bikin Dompet Tebal, Sudah Coba?

Tak sedikit usaha mikro yang tutup. Pedagang-pedagang kecil dan menengah harus berkompromi dengan keadaan. Untuk menekan angka penyebaran virus, pemerintah harus melakukan pembatasan-pembatasan yang secara tidak langsung membuat roda perekonomian macet.

Dalam hal ini pemerintah tetap berusaha membantu masyarakat dengan diberikannya Bantuan Sosial Tunai (BST) yang diberikan secara rutin sehingga dapat membantu meringankan beban masyarakat.

Talitha Curtis Bongkar Permintaan Keluarga dari Pernikahan Transaksional, Mulai dari Uang hingga Aset Materi

Meskipun bantuan-bantuan tersebut tidak bisa mencukupi berbagai kebutuhan sehari-hari yang tidak sedikit. Uang sekolah anak, kebutuhan primer dan sekunder, hingga kebutuhan-kebutuhan tak terduga lainnya yang menuntut semua orang memutar otak mencari uang tambahan untuk menopang biaya hidup di tengah krisis.

Namun, sebagaimana penyakit yang menjangkiti oknum pejabat di negeri ini, uang bansos yang seharusnya diberikan utuh kepada masyarakat harus dipangkas dan dikorupsi. Akibatnya, sejumlah pejabat harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Kelompok yang Gulingkan Assad Berambisi Politik Berkedok Agama, Menurut Alumnus Suriah

Dikutip dari kompas.com (23/8/2021), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek di tahun 2020.

Menurut KPK, kasus tersebut bermula dari adanya program pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kemensos tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp 5,9 Triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan 2 periode. Juliari sebagai menteri sosial saat itu menunjuk Matheus dan Adi sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kemensos melalui Matheus.

Buku Agama Saya adalah Uang yang ditulis oleh Nurudin mendedah berbagai permasalahan di negeri ini, terutama yang berhubungan dengan uang dan kekuasaan. Dua hal yang selalu berdampingan. Di mana ada uang di situ ada kekuasaan. Begitu pun sebaliknya.

Dalam pengantar buku ini penulis menjelaskan, uang bisa menjadi segalanya. Hubungan eksekutif dan legislatif, misalnya, bisa disatukan dengan uang. Kegarangan oposisi juga bisa diatasi dengan uang. Uang akan menjadi pemersatu perbedaan di masyarakat. Sebut saja, bahwa dalam soal uang setiap orang punya agama yang sama.

Lewat buku ini, penulis tidak bermaksud mereduksi makna agama di tengah masyarakat. Juga, tidak menyamakan agama dengan uang. Agama adalah media untuk mendekatkan diri pada tujuan hidup. Jika tujuan hidup ini mengabdi pada Tuhan, maka agama dijadikan media untuk meraihnya (hlm. Viii).

Nurudin menyoroti banyak hal secara kritis dalam buku ini. Terutama yang berhubungan dengan permasalahan di masyarakat. Sebagaimana diketahui, pemilihan pemimpin sering kali membuat masyarakat berpecah belah. Masyarakat terbentuk menjadi kubu-kubu yang mengakibatkan gesekan, perpecahan, dan konflik yang tak kunjung selesai.

Jika kita rutin memeriksa laman media sosial, akan dijumpai banyak warganet yang “berperang komentar” menyikapi permasalahan yang muncul. Tak hanya perselisihan di dunia maya, masalah pun dibawa ke dunia nyata. Akibatnya, persaudaraan menjadi renggang. Dua orang yang sebelumnya akrab bersahabat harus bermusuhan karena perbedaan pilihan pemimpin.

Hal ini disinggung Nurudin dalam tulisannya berjudul Dipertemukan FB, Dipererat WA, Lalu Dipisah Pilpres. Bahwa perbedaan politik, dalam hal ini Pemilihan Presiden, selama ini menjadi salah satu sumber perpecahan yang terjadi di tengah masyarakat.

Tak hanya masyarakat awam yang tersulut emosi akibat postingan-postingan di media sosial. Guru, dosen, kiai, dan lainnya, ikut terseret dalam arus permusuhan oleh perbedaan politik. Padahal, kata Nurudin, harusnya para pemikir kalangan akademik berusaha meredakan suasana. Bukan malah ikut-ikutan terbakar, hanya gara-gara perbedaan kubu dukungan (hlm. 110).

Bersatu karena Kepentingan Pragmatis

Terkadang lucu melihat masyarakat kita berperang karena kepentingan para politisi yang memang penuh dengan tujuan-tujuan. Harusnya kita sadar bahwa mereka punya kepentingan tertentu; kekuasaan. Jika sudah berurusan dengan kekuasaan, para politisi sudah tidak bisa berakal sehat.

Mereka pernah disatukan dalam sebuah kepentingan. Jika sudah hilang musuh bersama yang menyatukan kepentingan itu, yang kemudian muncul adalah rebutan pengaruh kekuasaan. Kekuasaan bisa menghilangkan “kejahatan” seseorang. Kekuasaan juga bisa membuat kaya.

Tulisan-tulisan Nurudin yang sebelumnya dimuat terakota.id sepanjang 2019 begitu kaya informasi dan refleksi, terutama yang berkaitan dengan politik, agama, sosial, dan lainnya. Buku yang sangat sangat relevan dengan keadaan sekarang ini.

Lewat buku 182 halaman ini, pembaca akan banyak tahu permasalahan yang terjadi saat ini. Khususnya peristiwa-peritiwa aktual dan faktual yang berkaitan dengan kehidupan sosial, masyarakat, dan agama. Semoga buku ini menjadi refleksi dan solusi atas pelbagai permasalahan masyarakat saat ini. (Untung Wahyudi, Lulusan UIN Sunan Ampel, Surabaya)

  

  

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.